Cerpen
Disukai
0
Dilihat
18,300
Pisau
Drama

Menggunakan pantat cobek batu, Rupiah mengasah pisau. Bagai kening Rupiah saat lajang, pisau itu berkilat. Perempuan berwajah tirus dan kurus itu menyeringai, menyorongkan pisau pada Mbok Giyem. “Sudah tajam,” desisnya.

Mbok Giyem bergidik. Perempuan 60-an tahun itu menyentuh lembut penuh kasih tangan Rupiah.

“Kamu mandi dulu, ya, Rup? Air hangat sudah siap.”

“Tidak mau, Mbok. Aku mau nunggu Kang Badrun,” sahut Rupiah cemberut.

“Boleh. Tapi mandi dulu biar wangi. Kang Badrun datang jam lima. Sekarang masih jam empat.”

Perlahan Mbok Giyem meraih pisau dari tangan Rupiah, lalu meletakkannya di meja dekat kompor gas bantuan pemerintah yang sudah usang.

Meski cemberut, Rupiah menurut ketika Mbok Giyem menuntunnya menuju sumur di belakang rumah.

Seember air hangat telah siap. Mbok Giyem memandikan Rupiah. Pada saat seperti itu, Mbok Giyem terharu; sepasang matanya berkaca-kaca. Setiap hari janda itu merasakan keharuan yang sama.

***

Sekira tiga tahun silam Rupiah melahirkan anak pertamanya. Anak yang sangat dinantikan, tetapi lahir tak bernyawa. Rupiah terguncang. Tatapannya selalu kosong.

Rupiah sering menjerit-jerit atau bicara tak menentu. Berkeliling kampung menghunus pisau. Kepada orang-orang ia berkata dengan mata menyala, “Mana anakku? Mana anakku?”

Kata Bu Bidan, Rupiah kekurangan gizi saat hamil. Sangat buruk bagi janin dalam kandungan. Bila kemudian anak Rupiah mati saat lahir, itu konsekuensi logis.

Beberapa tetangga menyarankan agar Mbok Giyem membawa Rupiah ke Rumah Sakit Jiwa atau psikiater. Mbok Giyem meradang. “Siapa yang bilang anakku gila? Anakku memang kurang waras, tapi bukan gila. Paham, kalian?”

Karseno sang suami juga terpukul. Sepasang matanya bengkak terlalu banyak menangis. Ia menyalahkan dirinya sebagai suami yang tak mampu memenuhi gizi keluarga.

Penghasilan Karseno sebagai tukang ojek memang tak menentu. Sehari membawa pulang uang sepuluh ribu, itu sudah sangat bagus. Penumpang sepi sekali. Orang-orang memilih membeli motor, walau dengan cara kredit, daripada naik ojek. Kalaupun naik ojek, orang lebih memilih ojek online. Apalah daya Karseno yang tukang ojek pangkalan?

Beberapa tetangga mencoba membesarkan hati Karseno. Tak baik berlarut menyesali diri. Karseno harus bangkit memperbaiki nasib. Kemudian Karseno pergi ke Jakarta. Pada mertua, Karseno berjanji akan pulang membawa kesuksesan.

Beberapa bulan telah berlalu, tak ada kabar dari Karseno. Di mana lelaki kurus itu berada? Jangan kau tanyakan pada Rupiah, atau kau akan melihat ia menangis, berlari dan berteriak-teriak menyusuri jalanan kampung, “Kang Seno! Kang Seno! Kamu di mana?”

Seorang tetangga yang bekerja di Jakarta pernah melacak alamat Karseno, tetapi gagal. Karseno sudah pindah entah ke mana. Di kampung merebak berbagai kabar burung; Karseno ke Suriah bergabung dengan ISIS, Karseno berkeliling nusantara ikut jaringan teroris.

Kabar burung itu sampai ke telinga Rupiah. Tetapi, pikiran perempuan berkulit sawo matang itu sudah tak mampu mencerna, hanya mampu menyeringai. Mbok Giyemlah yang marah. Kepada orang-orang, ia berkacak pinggang dan berkata lantang, “Berani kalian menghina menantuku? Hadapi aku! Ayo, hadapi aku!”

Mbok Giyem sangat sayang pada Rupiah; anak bungsu dan satu-satunya anaknya yang perempuan. Mbok Giyem punya lima anak, yang empat hidup di perantauan dan masih waras pikir. Hanya Rupiah yang bertahan di kampung dan bernasib kurang mujur.

Dalam keadaan Rupiah yang sekarang ini, Mbok Giyem seperti punya anak balita lagi. Tiap malam ia menemani tidur di rumah Rupiah. Rumah mereka bersebelahan.

Tiap pagi dan sore, Mbok Giyem memandikan dan mendandani Rupiah. Bila tidak begitu, Rupiah tak mau mandi dan bau tak sedap menguar dari tubuhnya. Mbok Giyem mengasuh Rupiah seorang diri.

Tiap sore Rupiah berdiri di depan rumah. Ia melonjak-lonjak dan berteriak memanggil Mbok Giyem. “Kang Badrun datang, Mbok! Kang Badrun datang!”

Mbok Giyem tergeragap dan bergegas membuka lemari, mengambil uang di bawah tumpukan pakaian. Uang simpanannya makin menipis. Anak-anaknya di perantauan sudah memberi kabar, bila mereka tak mampu lagi mengirim uang. Sebagian dari mereka kena PHK karena pabrik tempat mereka bekerja gulung tikar. Sebagian lagi sibuk memikirkan keluarga masing-masing. Benarlah kata pepatah: seorang ibu mampu mengurus sepuluh anak, tapi sepuluh anak belum tentu mampu mengurus seorang ibu.

Hari ini Mbok Giyem tak punya uang. Bagaimana kalau nanti Kang Badrun datang?

***

Mbok Giyem telah selesai memandikan Rupiah dan memakaikannya daster hijau yang pudar warna. Rupiah tampak begitu kurus, wajahnya semakin tirus. Usia Rupiah masih 25, tetapi wajahnya tampak lebih tua 20 tahun, karena kurang gizi.

Mbok Giyem menuntun Rupiah ke dapur, mendudukkannya di kursi sengon.

“Kuambilkan makanan untukmu,” kata Mbok Giyem, keluar dari rumah Rupiah menuju rumahnya yang berdekatan.

Rupiah duduk sendiri di dapur. Ia melirik pisau di meja dekat kompor gas bantuan pemerintah yang sudah usang. Pisau itu berkilat. Rupiah telah mengasahnya menggunakan pantat cobek batu. Rupiah beranjak dari kursi, mengambil pisau itu, lalu meninggalkan rumah.

Menyusuri jalanan kampung, Rupiah senyum-senyum sendiri. Tangan kanannya menggenggam pisau. Orang-orang yang berpapasan dengannya menyingkir dengan tatapan heran. Seseorang berlari menjauh. Beberapa lelaki tampak mengejar Rupiah.

“Kamu mau ke mana, Rup?” tanya seorang lelaki tetangga.

Rupiah menoleh dan menatap tajam. Tangannya mengacungkan pisau dan berkata lantang, “mau apa kalian?”

Orang-orang mundur beberapa langkah.

Rupiah meneruskan langkah. Ia menuju kios kelontong Hajah Bandiah. Hajah ini orang yang sering menolong Mbok Giyem, sering memberikan utangan.

Rupiah berdiri di dekat etalase. Dari dalam kios, Hajah Bandiah memucat. Bergidik melirik pisau berkilat di tangan Rupiah.

“Ada apa, Rup?” bergetar suara Hajah Bandiah.

Rupiah menyodorkan pisau.

“Masih bagus, masih tajam. Lima ribu. Sebentar lagi Kang Badrun datang. Dia ganteng seperti Kang Seno,” Rupiah menyeringai.

Gugup, Hajah Bandiah mengambil selembar uang sepuluh ribuan dari laci meja. Tangannya gemetar menyerahkan uang itu pada Rupiah.

“Lima ribu saja,” kata Rupiah.

“Tak apa. Ambil saja.”

Rupiah meletakkan pisau ke atas etalase, meraih uang dari tangan Hajah Bandiah. Beberapa saat Rupiah menatap Hajah Bandiah, membuat wanita berhijab hitam itu bertambah pucat.

“Terima kasih,” Rupiah menyeringai lagi.

Hajah Bandiah mengela napas lega.

Rupiah membalik badan. Beberapa lelaki tetangga berdiri menatapnya. Rupiah menatap mereka pula, kemudian mengacungkan uang di tangannya.

“Asyik, aku punya uang,” Rupiah menyeringai dan melangkah, membelah kerumuman lelaki yang menatapnya curiga.

Rupiah berjalan riang, sesekali ia melonjak, menuju selatan kampung. Ia berhenti di gardu ronda. Menunggu seseorang.

Beberapa lelaki tetangga yang mengikutinya berhenti tak jauh dari gardu ronda. Seseorang bertanya, “Kamu mau apa, Rup?”

Rupiah kembali mengacungkan uang di tangannya dan sambil terus-menerus menyeringai, ia berkata, “Asyik, aku punya uang. Sebentar lagi Kang Badrun datang. Hehehe....”

Para tetangga membubarkan diri. Mereka sudah tahu duduk perkaranya dan menganggap Rupiah tidak membahayakan.

Rupiah melihat ke ujung jalan kampung. Tampak Kang Badrun mendorong gerobak bakso, bergerak mendekat. Rupiah melonjak-lonjak, menari-nari dan memejamkan mata. Ia begitu bahagia karena bakso langganannya telah datang.

Rupiah masih melonjak-lonjak, matanya masih memejam. Ia tak melihat, bila Kang Badrun menghentikan mendorong gerobak, kemudian berbalik arah menjauh dan menghilang di sebuah tikungan. Di barat, langit mulai memerah. Rupiah masih melonjak-lonjak, menari-nari.

Ketika membuka mata, Rupiah melihat seorang lelaki kurus dan berwajah tirus seperti dirinya berdiri di hadapannya. Lelaki itu tampak kusam, bercelana dan berkemeja kumal, seperti orang yang kalah menjalani pertarungan hidup.

“Kang Seno? Kamu pulang, Kang?” pekik tertahan Rupiah menatap lelaki yang sekian lama dirindukannya.

Lelaki itu mengangguk lemah.

“Aku gagal, Rup. Hanya baju di badan yang kubawa pulang,” lelaki itu menunduk, sesenggukan.

Rupiah memeluk lelaki itu.

“Jangan tinggalkan aku lagi, Kang. Kalau Kang Seno pergi, aku bisa gila!”

Mereka berpelukan cukup lama, menumpahkan kerinduan yang menyesak di dada masing-masing.

“Janji ya, Kang? Jangan pergi lagi,” terbata-bata Rupiah berharap.

Lelaki itu hanya bisa mengangguk di antara sesenggukan dan air mata yang tak terbendung.

Beberapa pasang mata mengintip dari balik pintu dan jendela rumah masing-masing. Mata mereka merah dan basah karena haru. Seorang ibu, dari balik tirai jendela ruang tamu rumahnya tak kuasa menahan tangis.

Satu yang pasti, para pengintip itu bahagia melihat kebahagiaan Rupiah bertemu kembali dengan suaminya.

SELESAI

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)