Masukan nama pengguna
Bulatan sebesar biji kopi yang terselip di antara ibu jari dan telunjuk itu bergiliran disentuh. Sembari merapal kalimat tasbih, air dari sudut-sudut matanya yang semakin banyak disinggahi keriput itu kembali silih menggenang. Ia teringat Ujang.
"Mak," panggil Ujang pelan.
Anak laki-laki itu berdiri di ambang pintu kamar dengan beberapa buku pelajaran sekolah yang ia peluk di dadanya. Ujang yang menghadap ibunya itu tampak memainkan jemarinya yang masih memeluk buku-buku. Raut wajahnya jelas menunjukkan keragu-raguan. Tetapi, ia memberanikan diri untuk mengajukan permintaan yang sama pada ibunya, entah ke sekian kali. Barangkali hari ini akan terkabulkan.
"Mak, Ujang pengen HP."
Air yang semula hanya menggenang di bibir mata Emak, kini jatuh menghantam mukena yang dipakainya. Dadanya terasa sesak jika mengingat permintaan anak satu-satunya itu. Seolah rasa bersalah tengah membuat sarang dalam hati dan pikiran Emak, sebab ia belum mampu memenuhi kebutuhan Ujang. Lagi-lagi ini masalah ekonomi. Perekonomian yang tidak begitu baik menjadi nikmat yang Tuhan berikan kepadanya.
Emak menghembuskan nafas berat. Entah yang ke berapa kali, meski sebenarnya mengeluh tidak akan menyelesaikan masalah yang Emak hadapi. Perlahan, diliriknya Ujang yang tengah meringkuk di atas kasur lepet dengan tubuhnya yang terbungkus sarung. Seorang anak laki-laki yang harus ia besarkan sendirian dengan penuh kesabaran. Ya, Ujang adalah seorang yatim.
Ayah Ujang meninggal empat tahun silam karena penyakit paru-paru yang dideritanya sejak lama. Keluarga kecil itu tidak mampu membayar pengobatan di rumah sakit, sebab untuk memenuhi kebutuhan isi perut saja harus memeras keringat kuat-kuat. Tidak pernah ada daging yang terhidang di meja makan kayu yang sudah berpuluh tahun menemani keluarga itu, kecuali ketika hari raya Idul Adha.
Tetapi hanya keikhlasan. Keikhlasanlah yang membuat Emak mampu bertahan sampai detik ini. Bertahan menjadi janda di usia yang tak lagi muda. Tentu hal itu adalah sebuah kenyataan yang harus ia terima dengan lapang dada.
"Sepuluh, dua puluh, tiga puluh, tiga puluh lima, empat puluh...."
Emak menghitung lembaran kertas bernominal itu yang ia ambil dari bawah kasur. Uang-uang lepet yang didominasi dengan pecahan dua ribu rupiah itu adalah keringat Emak yang menetes dan menguap menuju Tuhan sebagai kerja keras dan doa.
"Ya Allah," ucap Emak terdengar lemah.
Emak memasukkan kembali lembaran kertas itu ke dalam plastik transparan dan menyelipkannya ke bawah kasur. Ditatapnya kembali wajah Ujang yang tampak damai ketika tertidur. Sesekali ia teringat dengan nasib anaknya yang lahir dengan takdir serba kekurangan. Setiap pulang sekolah —sebelum pandemi, saat sekolah masih beroperasi seperti biasanya—, hanya kerupuk putih dan ikan asin sebagai lauk. Bahkan, ketika akhir bulan, sedang pembagian gaji belum waktunya, Emak hanya bisa menyediakan garam sebagai lauk untuk Ujang. Atau, agar lebih menyenangkan hati Ujang, Emak berkeliling menuju warung-warung dan pulang dengan sekantong kerupuk putih yang sudah ‘melempem’yang diberikan secara cuma-cuma oleh para pemilik warung.
Tetapi, anak Emak yang masih kelas lima SD itu tidak pernah menuntut. Saat teman sebayanya merengek pada orang tuanya agar dibelikan kelereng baru untuk bermain, Ujang hanya mengandalkan kelereng dari kedermawanan teman-temannya yang lain. Ataupun ketika teman sebayanya mempunyai buku tulis baru saat pergantian semester, Ujang hanya bisa memanfaatkan lembaran buku tulis yang masih tersisa dari semester sebelumnya.
Pandemi membuat Emak dan Ujang semakin kepayahan. Sistem pembelajaran yang berubah, adaptasi terhadap hal-hal yang asing dan belum pernah ditemui, kebiasaan baru yang mau tidak mau harus diikuti, dan masih banyak lagi. Jika tidak berteman dengan Raden, mungkin Ujang akan kebingungan ke mana ia harus nebeng belajar. Ya, anak Pak Karsim, sang juragan cabai tempat Emak bekerja itu, memang tidak pernah pilih-pilih teman. Tidak seperti anak-anak lainnya yang tidak bisa menerima apa adanya Ujang.
Ketulusan Raden dalam berteman, turun dari Pak Karsim yang juga seorang dermawan dan tidak pernah mendiskriminasi para pekerjanya. Emak sebagai salah satu buruh pemetik cabai di ladang Pak Karsim yang lahannya berhektar-hektar itu pun turut merasakan kedermawanannya. Wanita itu sering diberi upah lebih karena bekerja dengan giat dan selalu pulang paling terakhir.
"Buat jajan Ujang."
Pak Karsim sesekali menyelipkan uang tambahan dibalik lipatan amplop yang diterima Emak. Laki-laki yang juga telah menduda itu pun tahu kondisi perekonomian Emak tidak baik-baik saja. Pak Karsim sering memergoki Emak tengah meminta kerupuk putih yang sudah melempem di warung-warung atau sedang mengumpulkan sayuran yang sudah layu di pasar.
“Mak, kalau Emak butuh apa-apa bilang saja ke saya. Tidak usah sungkan.”
Entah sudah berapa kali Pak Karsim mengingatkan Emak atas hal itu. Di satu sisi, Emak sangat bersyukur, sebab masih ada orang yang mampu memaklumi keadaannya. Namun di sisi lain, tidak sedikit juga yang seolah tidak senang jika Pak Karsim terlalu baik kepadanya. Seperti misalnya kejadian di sungai tadi pagi yang membuat Emak merasa semakin bersalah kepada Ujang.
"Asih, duit arisan kemaren dipake beli apa?" tanya Mak Karminah, salah seorang buruh juga di ladang Pak Karsim.
"Biasa, Mak. Dipake beli susu buat si dede. Buat beli stok masker juga," jawab Asih sembari terus melanjutkan mencuci baju di atas batu kali yang lebar.
"Nah, iya!" Suara cempreng khas Mak Karminah mendominasi. "Saya juga kalo punya duit, ya beliin kebutuhan anak dulu, lah! Jangan belagu dipake nolongin orang! Sadar diri hidup pas-pasan!" lanjutnya.
Asih hanya tersenyum canggung. Tidak bisa menanggapi.
"Kebutuhan anak kok gak didahuluin. Tega ya, Sih?"
Asih semakin tampak serba salah menanggapi Mak Karminah, sebab Asih tahu siapa yang sedang dibicarakannya. Sementara Emak, yang kala itu bersama keduanya, hanya diam dan tetap melanjutkan mencuci beras di bawah pancuran air. Emak bisa merasakan bahwa yang sedang dibicarakan oleh Mak Karminah adalah dirinya.
Hal itu karena tiga hari sebelumnya Emak menolong Mak Inah, tetangganya, untuk membayar biaya pengobatan anaknya yang kejang-kejang akibat demam tinggi. Alhasil, tabungan yang awalnya untuk memenuhi kebutuhan Ujang, ludes ia pinjamkan. Namun, Emak berusaha untuk tetap bersikap biasa saja di hadapan Asih dan Mak Karminah.
Terkadang, omongan-omongan seperti yang dilontarkan oleh Mak Karminah itu memang terasa sangat menyayat hati. Tapi, lagi-lagi keikhlasan-lah yang mungkin berperan memperkokoh Emak. Juga Ujang, anak semata wayangnya itulah yang membuatnya tetap semangat bekerja. Ujang adalah lentera bagi Emak yang harus diperjuangkan untuk tetap hidup dan berpijar.
Beruntungnya, Ujang tidak pernah menuntut atau menyalahkan keadaan. Tidak pernah menyalahkan Emak atau Tuhan seperti ‘mengapa aku harus dilahirkan?’.Tidak pernah mengeluh saat hanya harus sarapan singkong rebus yang dibaluri garam. Hanya saja, pertanyaan-pertanyaan polos dari anaknya itu harus pandai-pandai Emak jawab.
"Mak, kok tabungan Emak dikasih ke Mak Inah? Kenapa gak buat Ujang beli HP aja?"
"Jang, Mak Inah itu sama kayak kita. Gak punya siapa-siapa selain si Aldo. Coba deh Ujang bayangin kalo Emak juga sakit kayak anaknya Mak Inah, emang Ujang tega pake uangnya buat beli HP daripada nolongin Emak?"
Pertanyaan itu dijawab dengan cepat oleh gelengan di kepala Ujang.
"Nah itu. Mak Inah lebih butuh uang tabungan Emak. Makanya Emak utamakan dulu yang sangat membutuhkan,” nasihatnya yang dibalas anggukan berulang dari Ujang.
“Ujang juga harus tahu, kalau kita meminjamkan pinjaman yang baik, Allah bakal kasih pinjaman yang jauh lebih baik buat kita.”
Kata-kata Emak berikutnya justru membuat kening Ujang mengernyit.
"Emang ... kapan Allah kasih pinjaman ke kita, Mak?"
Pertanyaan polos itu ditanggapi oleh lengkungan sabit di bibir Emak. Ia harus memberikan pemahaman kepada anaknya secara pelan-pelan.
"Gini, Ujang selama ini dikasih pinjem HP sama Raden, lancar gak belajarnya?”
Pertanyaan Emak itu dengan cepat dibalas lagi dengan anggukan.
“Nah, itu salah satu bentuk pinjaman dari Allah.”
“Yang minjemin kan Raden, bukan Allah, Mak.”
“Raden itu hanya perantara, Jang. Allah yang gerakin Raden supaya dia mau kasih pinjem HP-nya buat Ujang. Nah, coba kalau Raden gak mau kasih pinjem, Ujang mau belajar sama siapa?"
Ujang diam.
"Contoh lain, Juragan Karsim selalu kasih uang jajan buat Ujang itu juga bentuk pinjaman dari Allah. Coba kalau Pak Karsim ditakdirin sama Allah jadi orang galak dan pelit, Ujang bisa jajan, gak?" lanjut Emak yang kali ini dibalas gelengan kepala oleh Ujang.
"Nah, sebenernya Allah udah kasih Ujang pinjaman itu. Cuma Ujang-nya yang gak sadar. Jadi, jangan pernah ragu buat menolong orang. Sekali pun kita cuma punya segelas beras, tapi lihat tetangga gak punya apa-apa, ya kita harus tetap berbagi. Allah gak pernah tidur, Jang."
Ujang masih terdiam. Emak tahu Ujang tidak sepenuhnya mengerti, tapi setidaknya ia harus mengajarkan anaknya untuk tetap berbagi dan menolong sesama dalam titik terendah sekali pun.
Malam itu terasa begitu syahdu. Gema takbir kembali terdengar setelah sebelumnya terhenti. Kondisi pengeras suara di masjid memang kurang begitu baik. Jadi, sempat terputus beberapa kali. Esok adalah hari kemenangan. Entah kebaikan yang mana lagi yang akan dipinjamkan-Nya.
Allahu akbar ... Allahu akbar ... Allahu akbar.
Laa Illaha Ilallahu Allahu Akbar.
***
"Mak Utin!"
Mendengar namanya dipanggil, Emak yang menenteng sajadah dan mukena pun menoleh ke sumber suara. Tampak seorang wanita muda menghampiri dengan mukena dan masker yang masih menempel usai melaksanakan salat hari raya.
"Kenapa, Asih?"
"Kemarin Emak ke mana? Kok gak ke ladang?"
"Emak kurang sehat,” terangnya. “Ada yang penting, Sih?" Emak balik bertanya.
"Ini, Mak." Asih menyerahkan sebuah amplop panjang cukup tebal.
"Dari Pak Karsim.”
Dahi Emak mengernyit memandangi amplop yang kini sudah berpindah tangan kepadanya. Asih yang melihat raut kebingungan pada wajah Emak pun tersenyum.
“Kemarin, Pak Karsim bagi-bagi rezeki. Katanya sih anak keduanya menangin proyek gede-gedean, Mak. Terus, tau gak, Mak?” jelas Asih dengan mata yang berbinar.
“Apa?” tanya Emak penasaran.
“Coba dibuka amplopnya, Mak.”
Emak kembali memandangi amplop tersebut. Emak bisa menebak bahwa isinya adalah uang. Namun, terlalu tebal jika hanya diisi beberapa lembar uang saja. Perlahan, Emak membuka amplop bertuliskan “untuk Mak Utin” yang masih rapat tersegel itu. Matanya terpaku pada isi amplop saat segel terbuka dengan sempurna.
Amplop berwarna coklat itu tampak sesak dipenuhi lembaran-lembaran kertas merah dengan nominal seratus ribu. Sepuluh, dua puluh, tiga puluh, sampai bilangan Emak berhenti pada angka lima puluh. Emak masih terdiam. Pada kelopak matanya, lagi-lagi cairan bening mulai tergenang.
Asih yang melihatnya pun ikut berkaca-kaca. Ia bisa merasakan bahwa bagi seorang yang hanya berprofesi sebagai buruh pemetik cabai, menerima uang dengan jumlah nominal yang besar terasa seperti mimpi. Emak pun begitu, ia masih termangu dan belum mengeluarkan sepatah kata pun kepada Asih.
‘Pak Karsim gak tanggung-tanggung ya,Mak, kalau ngasih ke orang,” ujar Asih memecah keheningan. “Juragan lain di kampung kita, mana ada yang rela ngasih para buruhnya masing-masing lima juta. Kalau nereka dapat rezeki lebih, ya pasti dimakan sendiri,” jelas Asih.
Emak mengangguk setuju. Keduanya mengucap hamdalah dan rasa syukur tiada tara atas pinjaman dari Tuhan hari itu.
Air mata Emak yang semula menggenang, kini jatuh.
"Ujang ... Insya Allah ini rezeki Ujang."
—Maka, nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan?—