Masukan nama pengguna
Keringat di dahi dan leher Marwan berangsur menguap, setelah dikipas berkali-kali oleh penutup kepala yang beberapa menit lalu sudah berpindah ke tangannya. Ia menyandarkan punggungnya sejenak, pada dinding kayu sebuah rumah yang belum mampu ia renovasi. Selain karena tidak ada biaya, biarlah rumah itu menjadi saksi atas alur hidupnya bersama Karmini, sang Ibu.
Marwan mengalihkan pandangannya, mengintip dari balik jendela, sampai sorot matanya jatuh pada sosok wanita paruh baya yang tengah duduk berselonjor dengan kaki terhimpit kayu. Tatapan wanita yang akrab disapa Mak Karmini itu lurus dan kosong. Banyak kehampaan yang tertumpuk di pelupuk matanya. Mulutnya seperti ingin menyampaikan sesuatu, tetapi yang keluar hanyalah komat-kamit tidak jelas atau bahkan malah teriakan dan tangisan.
Seperti halnya hari itu. Marwan yang sedang bekerja di pabrik minyak kelapa milik Juragan Saleh, harus disusul oleh tetangganya karena sang Ibu kembali berteriak-teriak histeris, hingga nyaris mencelakai seorang anak SD. Tidak hanya sekali dua kali, dalam satu tahun terakhir, sudah lebih dari sepuluh kali Mak Karmini bertingkah seperti itu saat penyakit kejiwaannya kambuh. Dan hanya Marwan. Hanya Marwan yang mampu menenangkan sang Ibu.
Hal itu juga yang pada akhirnya membuat Marwan dikeluarkan dari tempatnya bekerja sebagai staff administrasi di salah satu perusahaan. Tidak lain karena Marwan sering melakukan kesalahan dan tampak tidak fokus saat bekerja usai ibunya divonis menderita gangguan jiwa. Satu bulan lebih Marwan menganggur dan mengurusi ibunya dengan sisa uang yang ia punya di rekening tabungan. Untungnya, kebaikan juragan Saleh yang menjadi penolong bagi Marwan, yang menawarinya untuk menjadi buruh pengupas sabut kelapa di pabriknya.
Memang tidak seberapa upah yang didapatkan Marwan. Namun, itu sudah lebih dari cukup untuk sekadar mengisi perut yang keroncongan. Tabungannya habis digunakan untuk pengobatan sang Ibu walau pada akhirnya tidak mengubah apa pun. Beberapa saran datang dari warga agar Mak Karmini dititipkan di Rumah Sakit Jiwa supaya Marwan bisa fokus bekerja atau bahkan mencari pekerjaan yang lebih layak dari seorang buruh pengupas sabut kelapa. Namun, Marwan bersikeras menolak.
“Tidak semua rumah sakit jiwa itu mengurus orang seperti Emak dengan tulus,” alasannya.
Bukan asal menuduh atau beralasan tanpa dasar. Hanya saja Marwan pernah mengunjungi sebuah Rumah Sakit Jiwa saat mengantar temannya menjenguk sang paman. Alangkah terkejutnya Marwan saat ODGJ di rumah sakit itu diperlakukan dengan tidak layak. Ruangan yang disebut kamar itu dipagari tiang-tiang kecil dari besi, persis seperti penjara. Para pasien tidur beralaskan tikar tipis. Mereka diberi makan dengan nasi yang dibungkus kertas atau daun pisang, yang lauknya sudah dikoyak-koyak dengan nasi. Seperti memberi makan anjing! batin Marwan.
Tubuh para pasien pun sangat tampak tidak pernah diurus. Kotor dan bau. Marwan tidak ingin ibunya diperlakukan sama seperti itu, meskipun ia tahu tidak semua Rumah Sakit akan bertindak sama. Marwan hanya takut ibunya makin tersiksa dan jiwanya semakin terguncang.
“Atau coba bawa saja ke dukun, barangkali kena santet atau kiriman dari orang, Wan!” saran lain yang sampai di telinga Marwan.
Tidak akan pernah Marwan lakukan. Menurutnya, itu hanya buang-buang waktu dan uang saja. Lagipula, tidak ada hubungannya. Sebab Marwan tahu, yang menyebabkan jiwa ibunya tergoncang adalah kepergian ayahnya. Pak Mustobi, suami Mak Karmini. Bukan, bukan pergi menuju tanah merah basah yang diatasnya ditaburi bunga, melainkan pamit menuju tanah rantauan untuk bekerja, katanya. Namun, lelaki itu tidak pernah pulang. Tidak pernah bisa dihubungi. Tidak pernah diketahui keberadaannya.
Tepat 3 tahun semenjak kepergian Pak Mustobi itu, Mak Karmini mulai berperilaku aneh dan sering bicara sendiri. Saat mengobrol dengan para tetangga sekitar rumah, seringnya Mak Karmini tidak nyambung dengan apa yang tengah dibicarakan. Mak Karmini juga kerap melamun, lalu tertawa atau menangis secara tiba-tiba. Saat itulah Ambu Hasih, salah satu tetangganya memberitahu Marwan yang sedang bekerja di kota tentang kondisi ibunya.
“Sebaiknya diperiksakan dulu, Wan. Takutnya memang benar dan semakin parah,” saran Ambu Hasih saat Marwan pulang dan melihat ibunya yang memang tampak berbeda.
Sudah. Sudah Marwan lakukan. Hasilnya memang demikian. Pikiran dan jiwa ibunya sedang tidak baik-baik saja. Berbagai pengobatan pun sudah Marwan coba demi kesembuhan sang Ibu. Namun, hal itu justru membuat Mak Karmini semakin tertekan. Mak Karmini menolak dianggap sebagai seorang yang memiliki gangguan jiwa. Rasa tertekan itu membuat emosinya semakin tidak stabil. Semakin ia menolak, semakin semrawut pikirannya.
Khawatir akan bertambah parah, Marwan menghentikan usahanya untuk membawa Mak Karmini berobat. Bukan menyerah, tetapi berserah. Sekuat apapun ia berusaha, jika Tuhan tidak meridai ibunya untuk kembali seperti semula, tetap akan sia-sia. Saat ini, hanya kekuatan doa yang mampu ia andalkan. Hanya sajadah panjang yang mampu menyampaikan bisikannya pada Tuhan di sujud-sujud malam. Memasrahkan apa yang akan terjadi di esok kemudian.
Tidak lupa, Marwan juga kerap menyelipkan nama lelaki yang mengikat janji dengan ibunya itu agar dibukakan hatinya untuk kembali pulang. Menjenguk keluarga kecil itu yang sudah ditinggalkannya selama tujuh tahun. Melihat bagaimana Ning tumbuh kurus kering karena tidak mendapat sentuhan layak dan perhatian dari sang Ibu. Ya, adik perempuan Marwan yang masih berusia tujuh tahun itu persis seperti anak yang kekurangan gizi.
Pertumbuhan Ning terhambat. Ia tidak semampai dengan kawan-kawannya yang lahir di tahun yang sama dengannya. Tubuhnya hanya kerangka tulang yang berbalut kulit. Saat berbicara pun, ucapannya tidak begitu jelas. Itulah mengapa Marwan tidak menyekolahkan Ning, sebab Ning butuh sekolah dengan perlakuan istimewa yang tidak bisa disamakan dengan siswa lainnya. Selain itu, lagi-lagi masalah biaya yang menjadi hambatan. Sementara upah Marwan hanya lima belas ribu untuk satu karung penuh sabut kelapa yang dikupasnya.
Sehari-hari, hanya ikan tanjan atau ikan teri yang akan menemani nasi sebagai lauk ketiganya. Jika Juragan Saleh memberi upah lebih, barulah Marwan dan keluarganya bisa merasakan kembali nikmatnya ikan pindang atau dadar telur yang dicampur tepung. Atau jika Ambu Asih memasak sayur yang sekiranya berlebih, diberikanlah pada Marwan. Begitulah Tuhan mengatur rezeki bagi tiap hamba-Nya yang terus bersyukur dan berusaha. Yang tidak pernah khawatir tentang esok akan makan apa.
Marwan kembali mengintip dari balik jendela. Terlihat mata ibunya yang sudah terpejam. Artinya, Mak Karmini sudah mulai tenang. Marwan memasuki rumahnya dan membuka kayu yang menghimpit kaki ibunya. Pergelangan kaki Mak Karmini menghitam sejak pasung itu dipasang. Hati anak mana yang tidak menangis ketika harus memasung surganya sendiri?
“Dipasung saja kalau bisanya hanya bikin kerusuhan!”
“Kami terganggu! Anak-anak hampir celaka karena dia!”
“Kalau tidak dipasung, bawa saja ke rumah sakit jiwa!”
“Pasung saja!”
“Iya benar! Pasung!”
Begitulah demo terang-terangan warga di halaman depan rumah Marwan kala itu. Pak Lurah yang saat itu turut digandeng warga mencoba menenangkan dan bicara baik-baik dengan Marwan. Dengan berat hati, Marwan menyetujui meskipun sebelumnya sempat menolak. Mak Karmini pun ikut mengamuk saat beberapa warga hendak memasangkan pasung di kakinya. Lagi-lagi Marwan yang berhasil membujuk dan menenangkan gejolak kekecewaan ibunya.
Setetes air mata jatuh mengenai kasur lepek yang menjadi alas tidur Mak Karmini. Marwan mengelus kepala perempuan itu penuh sayang dan kehati-hatian agar tidak membangunkannya. Wajah bidadarinya itu, semakin lusuh dan muram dimakan usia dan pikiran yang tidak lagi normal. Rasanya sudah sangat lama, Marwan tidak lagi melihat senyum mengembang di bibir Mak Karmini. Tidak ada lagi kebahagiaan yang tergambar dari kerutan di wajahnya. Bagaimana ia menjaga surganya agar tetap bersinar dan menjadi tempat paling nyaman?
Marwan membentangkan selimut untuk menutupi tubuh ibunya. Ia harus segera kembali ke pabrik Juragan Saleh untuk melanjutkan pekerjaannya. Waktu masih menunjukkan pukul lima sore. Jadi, Marwan masih memiliki tiga jam untuk mengupas sabut kelapa sebanyak-banyaknya. Sebelum itu, Marwan mampir menjenguk Ning yang selalu dititipkannya pada Ambu Asih selagi ia bekerja. Tidak setiap hari, sebab jika Ambu Asih pergi ke kebun, Ning terpaksa harus ikut Marwan ke pabrik.
“Ning anteng, Wan. Tadi bantuin Ambu juga ngupasin kacang panjang.”
“Syukurlah. Kalau begitu, saya lanjut kerja dulu ya, Mbu. Maaf merepotkan,” ujar Marwan sesopan mungkin yang diangguki oleh Ambu Asih.
Marwan memang harus giat bekerja, sebab ada dua bidadari yang kini menjadi tanggungjawabnya. Meskipun sebenarnya ia juga masih menjadi tanggung jawab ayahnya jika ayahnya peduli. Marwan tidak benci pada Pak Mustobi. Hanya saja, ia kecewa atas keputusan ayahnya yang tiba-tiba dan tidak memikirkan konsekuensi ke depannya. Sempat tersiar kabar burung bahwa ayahnya yang berada di tanah rantauan itu menikahi seorang janda pemilik pabrik sawit tempatnya bekerja. Hanya saja, Marwan sudah tidak ingin mendengar segala hal lagi tentang ayahnya. Ia sudah memutuskan untuk menjadi tulang punggung keluarga itu, menggantikan peran sang ayah.
Marwan kembali pada pekerjaannya. Mengupas sabut kelapa demi membeli sebuah senyuman. Senyuman saat Ning makan dengan lahap dan senyuman Mak Karmini yang tak pernah diperlihatkan, namun Marwan yakin ibunya senang.
“Wan, nanti malam mampir dulu ke rumah saya, ya. Ada yang mau saya bicarakan,” ujar Juragan Saleh yang segera diangguki Marwan.
Barangkali istri Juragan Saleh masak banyak atau ada gaji tambahan yang akan didapatkan Marwan dari Juragan Saleh. Tentu tidak dapat ia tebak dengan pasti. Marwan mengetuk pintu depan rumah Juragan Saleh dan duduk setelah disilahkan.
Raut wajah Juragan Saleh mendadak serius, pertanda bahwa apa yang akan dibicarakannya saat itu juga serius. Juragan Saleh tidak segera berbicara, seperti tengah menimang-nimang kata yang pas untuk memulai.
”Begini, Wan,” ujar Juragan Saleh membuka percakapan.
Marwan menajamkan telinganya, agar tidak ada kalimat yang perlu diulang oleh pemilik pabrik minyak kelapa itu. Sesekali kening Marwan mengernyit dan kepalanya tertunduk mendengar apa yang menjadi topik percakapan malam itu. Juragan Saleh menyodorkan sebuah amplop putih berukuran sedang pada meja di hadapannya. Untuk Marwan.
“Maaf ya, Wan. Sebetulnya berat bagi saya mengambil keputusan ini dengan kondisi kamu sekarang. Tapi kondisi pabrik juga sedang tidak stabil dan tidak mungkin saya mengeluarkan orang-orang yang sudah berpuluh tahun mengabdi di pabrik. Semoga apa yang ada di dalam amplop itu bisa membantu meringankan sampai kamu mendapat pekerjaan baru.”
Begitulah. Malam itu kakinya terasa seperti tidak bertulang. Ternyata memang kebaikan orang itu ada batasnya. Seperti halnya Juragan Saleh yang Tuhan takdirkan untuk membantunya sebatas itu. Mungkin, Tuhan sedang mempersiapkan orang baru untuk membantunya. Namun, bagaimana ia akan menceritakan itu pada ibunya?
Marwan mengetuk pintu dan mengucap salam. Ning yang sebelumnya ia jemput di rumah Ambu Asih, kini sudah berpindah memeluk punggungnya dengan mata terpejam. Lelaki itu membaringkan Ning di ruangan lain di sebelah kamar ibunya. Sejenak Marwan pandangi adik perempuannya itu. Lantas, ia teringat dengan janjinya kepada Ning yang akan membelikannya baju baru selepas ia menerima gaji. Tentu saja agar gadis itu tidak lagi memakai baju bekas atau baju dengan tambalan berkali-kali.
Lagi-lagi, apa yang harus Marwan sampaikan pada Ning jika ia tak mampu menepati janjinya? Bagaimana ia harus menyampaikan bahwa amplop putih yang diselipkan di saku bajunya itu adalah gaji terakhir yang harus ia terima? Pemuda itu memijit keningnya berkali-kali, berharap agar apapun yang membuat kepalanya begitu lelah dan terasa akan pecah itu bisa mereda.
“Ya Allah.”
Hanya kata itu yang mampu Marwan keluarkan setelah mengeja satu persatu masalah yang menerpa hidupnya. Ia mengeluarkan amplop yang sedari tadi bertengger di saku bajunya dan mulai menimang-nimang. Ia sudah bisa menebak berapa harga ia bekerja pada Juragan Saleh selama 4 bulan mengupas sabut kelapa. Bahkan, untuk menutupi hutang pinjamnya saja masih belum bisa.
Marwan meneguk segelas air putih di teko yang tersisa seperempat itu. Pada bakul nasi yang terhidang di papan kayu sebagai meja itu, masih tersisa sekitar satu genggam nasi jagung yang diberikan Ambu Asih sebelum ia berangkat bekerja. Namun, perutnya sudah tidak lagi menggerutu, sebab memang sudah bukan waktunya. Semua yang menyita pikirannya hari itu, sudah cukup mengenyangkan. Apalagi ketika ia harus menceritakannya pada ibunya. Ya, mau tidak mau. Meskipun sebenarnya, tanpa ia bercerita pun, ibunya akan tetap diam dengan tatapan penuh kekosongan.
Marwan mendekati Mak Karmini yang ternyata masih tertidur. Dielusnya rambut yang tidak lagi kuat menancap pada kulit kepala itu. Pasung di kakinya, Marwan biarkan terbuka. Setidaknya agar kakinya dapat bernafas walau hanya semalam. Pun agar tidak lagi menambah bekas kehitaman yang membuatnya seperti mengenakan gelang.
“Maafin Marwan ya, Mak.”
Entah ratus ke berapa Marwan menggenggam tangan Mak Karmini seraya mengucapkan kata-kata yang sama. Lelaki itu menunduk, menyodorkan amplop yang sebelumnya ia timang-timang ke samping ibunya yang tengah berbaring.
“Mak, Juragan Saleh minta Marwan untuk istirahat dulu,” jujurnya. “Tapi Marwan janji akan segera cari pengganti, biar Marwan bisa beli obat untuk Emak dan belikan baju baru untuk Ning.”
Seperti biasanya. Tidak ada tanggapan apapun. Terlebih posisinya Mak Karmini sedang terpejam. Sudah bisa Marwan tebak bahwa ibunya pasti kelelahan setelah mengamuk di siang harinya. Maka, dengan penuh kelembutan, Marwan mencium punggung tangan yang terasa dingin itu. Tubuhnya Marwan selimuti dengan selembar kain tipis yang angin sepoi-sepoi pun dapat menyibaknya kapan saja. Tetapi setidaknya, dapat mengurangi rasa gigil yang menggigit kulit.
Marwan hendak beranjak untuk menyimpan upah dari Juragan Saleh, sesaat sebelum tangannya menyentuh leher dan sebagian pipi Mak Karmini yang juga terasa dingin. Tidak seperti biasanya. Marwan pun baru menyadari bahwa posisi tidur ibunya pun tidak berubah semenjak ia meninggalkannya untuk melanjutkan pekerjaan di pabrik. Bahkan, air minum di cangkir yang ia letakkan di samping pembaringannya pun masih utuh. Pikiran Marwan mulai tidak baik.
Segera Marwan mengecek leher dan pergelangan tangan ibunya, kemudian beralih memeriksa deru nafas dan kembang kempis perutnya. Ternyata, dingin malam itu, tidak menjadi dingin paling gigil bagi Mak Karmini, melainkan bagi Marwan. Tubuh Marwan semakin lemas, seakan benar tidak ada lagi tulang yang mampu menopangnya.
Amplop yang semula berada di genggaman Marwan jatuh begitu saja. Bukan saja ia kehilangan pekerjaannya, tetapi juga ia kehilangan separuh hidupnya. Ia, baru saja berbicara pada surga yang tidak bisa lagi diperjuangkan. Sudah selesai.
Air mata Marwan luruh. Mulutnya seakan terkunci dan tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya mampu mendekap Mak Karmini serta mengutuki dirinya sendiri yang tidak berhasil membuat surganya kembali tersenyum bahagia. Ia menjadikan surga-nya surga paling sengsara.
“Ma-apa-ba?”
Ning berdiri di ambang pintu kamar Mak Karmini dengan menggigit jari-jari tangannya. Di usianya yang ke-7, gadis itu tentu sudah bisa mengerti bahwa ada sesuatu yang tidak diinginkan sedang terjadi. Sementara Marwan hanya menggigit bibirnya kuat-kuat, untuk tidak terlihat rapuh di hadapan Ning.
Marwan memeluk Ning.
“Maafin Marwan ya, Mak.”
***