Masukan nama pengguna
"Dimas, duduklah!" Mirna berucap pada anak semata wayangnya sambil menepuk pelan samping sofa yang ia duduki.
"Ada apa, Ma?" tanya Dimas. Remaja berseragam putih abu-abu itu baru saja pulang sekolah. Melihat ayah dan ibu duduk serius di ruang tamu, membuatnya penasaran.
"Cepat, katakan!" desak Tomi kepada Mirna. Pria berkumis tebal itu menatap tajam ke arah istrinya.
Mirna mengangguk ragu, lalu menoleh ke arah Dimas. "Dim, Mama dan Papa akan bercerai." Wanita berambut ikal itu tertunduk lesu.
"Ada apa ini?" Bingung, Dimas menatap ke arah ibunya, kemudian beralih kepada sang ayah. "Pa, ada apa ini? Kenapa kalian tiba-tiba memutuskan untuk bercerai? Bukankah minggu ini Papa berjanji akan mengajak kami liburan?"
Tomi menatap anaknya dengan sorot mata tajam. "Maafkan Papa, Dim. Papa terpaksa. Dan mulai saat ini, kamu akan tinggal bersama Mama."
"Dimas akan tinggal sama Mama saja? Tanpa Papa? Tapi, kenapa? Apa alasannya?" Anak itu masih belum terima. Namun, percuma. Ayahnya sudah tidak peduli.
Pria berbadan kekar itu bangkit dari sofa, berlalu ke luar rumah. Ia meninggalkan anak laki-lakinya yang masih bingung serta istri yang mulai menangis.
Beberapa bulan berlalu. Selepas perceraian orang tua, sikap Dimas perlahan berubah. Murid yang awalnya rajin, kini menjadi nakal.
"Dimas, mana tugas yang Ibu berikan minggu lalu?" bentak Bu Halimah, salah satu guru di sekolah.
Sudah tiga kali wanita berjilbab itu menanyakan lembar tugas. Namun, seperti tidak fokus, Dimas hanya diam sambil memainkan pena. Dengan sangat terpaksa, Bu Halimah membentak untuk menegur Dimas yang masih terdiam dengan pandangan kosong.
"Dimas!!!" Bu Halimah geram. "Kalau tidak niat belajar, lebih baik kamu keluar!"
Bu Halimah tidak tahan lagi. Ia sudah berusaha keras menahan emosi. Sikap tak acuh Dimas membuat kesabarannya hilang.
Bentakan Bu Halimah membuat seisi ruangan hening. Namun, Dimas masih pada posisinya. Remaja itu seolah-olah tidak mendengar apa pun. Dimas hanya fokus pada benda hitam yang ia pegang.
Bu Halimah makin kesal. "Dimas, keluar!"
Dimas memukul bangku sekuat tenaga seraya mendengkus kesal. Wajahnya tampak sangar. Tatapan tajam ke arah wanita yang berdiri di hadapannya. Tanpa sepatah kata, ia meraih ransel, berdiri, dan keluar. Ia kembali membuat suara keras dengan membanting pintu.
Bu Halimah mengelus dada sembari beristighfar. Ia terperangah. Dimas yang ia kenal cerdas dan sopan, dalam beberapa hari terakhir bisa berubah jadi begundal. Sebenarnya, apa yang terjadi pada muridnya?
***
"Hei, Dimas!" seru Willi, remaja seumuran yang sedang merokok di ujung jalan. Ia bersandar ke tiang listrik sambil sesekali menghisap rokok yang diselipkan di sela jari. Sudah hampir setahun ia dikeluarkan dari sekolah karena berperilaku buruk. Usut punya usut, dia adalah korban broken home yang sudah tidak diperhatikan lagi oleh orang tua.
Orang tua Willi sama-sama menikah lagi. Pasangan baru mereka seperti kompak, tidak mau menampung Willi. Hanya jatah bulanan yang rutin mereka berikan, tidak dengan perhatian dan kasih sayang. Remaja yang seharusnya masih sekolah itu jadi hidup sebatang kara. Ia bebas melakukan apa pun yang diinginkan, tanpa ada yang melarang atau mengingatkan.
Langkah Dimas terhenti. Ia yang masih berseragam lengkap menghampiri Willi. "Sini! Aku ingin coba." Dimas meraih benda yang dipegang Willi dan langsung mengarahkan ke bibir.
"Hmm ... lumayan," komentar Dimas, setelah mengembuskan asap dari mulut.
Willi heran dengan sikap Dimas yang tidak biasa. "Lo kenapa, Bro? Tumben banget merokok. Mana masih pakai seragam lagi. Jangan bilang, lo diusir dari kelas!" terka Willi sambil memicingkan sebelah mata.
Dimas bernapas kasar sembari menyemburkan asap dari hidung. "Iya, gua emang diusir dari kelas Bu Halimah. Puas lo!" sentak Dimas sambil membelalak. Entah mengapa, ia seperti merasa punya teman untuk berbagi.
"Eh, eh, kenapa? Ada apa dengan Dimas yang aku kenal pintar dan selalu jadi kebanggaan?" tanya Willi, penasaran. Saat masih sekolah dulu, ia memang sempat iri dengan kepintaran Dimas.
"Nanti sajalah. Sekarang bawa aku ke rumahmu. Aku ingin menenangkan pikiran." Dimas berkilah.
Seperti mendapat durian runtuh, Willi yang selalu kesepian karena terus sendirian, langsung mengiakan. "Ayo! Rumahku nggak jauh dari sini, kok."
Hanya butuh lima menit, langkah kedua remaja itu sudah berhenti di depan rumah petak yang agak sempit.
"Kamu tinggal di sini?" tanya Dimas sambil menutup hidung karena mencium bau menyengat.
Willi meringis. "Bau ya? Maaf, aku jarang buang sampah." Remaja berambut gondrong itu segera memungut beberapa plastik bekas mi instan dan membuangnya ke tong sampah depan.
"Kamu tinggal sendirian?" tanya Dimas lagi seraya menghempaskan tubuh ke kursi.
"Iya, sendirian. Mau sama siapa lagi? Ayah dan ibuku sudah sibuk sama dunia mereka sendiri." Willi menjawab santai. Ia menghampiri Dimas, lalu duduk di sampingnya.
Dimas menoleh dengan pandangan menyelidik. "Maksudmu apa?"
"Iya. Ayah dan ibuku sudah lama berpisah. Mereka ... sudah sama-sama menikah lagi." Willi berujar dengan nada penuh kekecewaan.
"Apa?" Dimas memekik pelan. Kenapa bisa sama?
Karena merasa senasib, kedua remaja itu saling berbagi cerita. Dimas tidak merasa sendirian lagi. Ia menemukan jalannya sendiri untuk mendapatkan kebahagiaan. Mereka saling meluapkan kesedihan, kekesalan, hingga kekecewaan.
Dimas baru tahu jika Willi melakukan semua tindakan brutal karena hal ini. Dimas menyimpulkan, jika Willi bisa bahagia dengan cara seperti itu, maka ia pun bisa. Mereka saling bercerita hingga senja menyapa.
"Eh, Dim. Apa kamu mau ikut denganku?"
"Ke mana?" tanya Dimas, datar. Sebenarnya, hati kecil masih mencerna beberapa argumen yang ia dapatkan.
"Kita akan bersenang-senang. Daripada suntuk di rumah, aku biasa melakukan ini." Willi bangkit dari duduk, lalu meraih jaket kulit yang tergantung di balik pintu.
"Kamu mau ke mana?" Dimas mulai penasaran, ikut berdiri menghampiri temannya.
"Adalah .... Yuk!" Willi mengeluarkan motor dan menyuruh Dimas segera naik ke jok belakang.
Dimas menurut. Remaja yang masih menggendong ransel itu dibonceng mengitari jalan raya. Bukan tanpa tujuan. Willi mengajak Dimas ke geng motor yang biasa melakukan balap liar.
"Weee, datang juga lo!" sapa seorang pemuda bertubuh kekar, menghampiri Willi dan Dimas yang masih duduk di atas motor.
"Baru juga sehari nggak nongol, sudah dicari," sahut pemuda lain. Sepertinya, Willi cukup populer di kalangan geng motor ini.
"Ya iyalah. Kan, dia bos kita. Kalian semua harus patuh sama dia. Btw, Bos, sudah lama kami nggak jajan, nih!" Pemuda bernama Reno itu meletakkan lengan kanan ke bahu Willi dengan santai.
"Jajan?" Willi menoleh ke kiri, menatap tajam.
"Yoi!" Reno berbisik, "Jajan bubuk putih. Bos nggak lupa, kan?"
Willi berdecak kesal. Ia baru ingat tentang janji pada sekawanan pemuda berjaket kulit itu. "Oke, aku jajanin kalian. Tapi, dengan satu syarat. Kalahin aku dulu." Willi menyalakan motor, menantang balapan.
"Tunggu, woi!" teriak Reno, menerima tantangan Willi. Dalam hitungan detik, mereka sudah saling berpacu.
"Pokoknya kalau aku menang, hari ini juga, kamu jajanin kami!" teriak Reno sambil memberi kode, jempol ke bawah.
Willi merasa terpancing. Ia menambah kecepatan, hingga melebihi batas normal.
"Hati-hati, Wil!" teriak Dimas, mulai merasa takut. Wajar, ia belum pernah melakukan aksi menegangkan seperti itu.
"Santai aja, Dim. Kita nggak bakalan jatuh. Pokoknya, kita harus menang!"
Belum sampai ke garis finish, mereka dicegat beberapa polisi yang sedang berpatroli. Dimas gugup. Ia sangat takut. Willi terpaksa berhenti.
"Turun!" titah polisi kepada dua remaja itu.
Willi turun terlebih dahulu, disusul Dimas yang turun dengan sangat ragu-ragu. Tubuh remaja berseragam itu gemetar, sedangkan di sebelahnya malah santai, cengar-cengir.
"Ini jam berapa? Kenapa masih pakai seragam sekolah?" cecar polisi sambil geleng-geleng. Pandangan makin menelisik ke wajah Dimas.
"Masih sekolah, kenapa sudah berani trek-trekan di jalan? Mau jadi apa kamu?" bentak polisi itu lagi seraya memukul pelan punggung Dimas dengan tongkat patroli.
Dimas menunduk takut.
Polisi pindah mendekati Willi. "Hebat sekali kamu. Sudah melanggar peraturan, malah cengengesan!"
Tidak perlu waktu lama, polisi membawa dua remaja itu ke kantornya. Bersamaan dengan itu, orang tua Dimas dan Willi pun dipanggil. Mirna sangat terpukul mengetahui kenakalan putranya. Ia tidak menyangka jika anak laki-laki yang selama ini dibanggakan bisa melakukan hal di luar dugaan.
Selesai mendapat teguran dan wejangan, Dimas diperbolehkan pulang bersama ibunya. Jangan tanya bagaimana Willi. Karena tidak ada orang tua yang menjemput, ia harus menginap di kantor polisi. Ia tampak baik-baik saja, malah menyunggingkan senyum saat Dimas menoleh ke arahnya. Tampaknya, jeruji besi sudah sangat familiar bagi Willi.
"Dimas, kenapa kamu melakukan hal ini? Mama sangat kecewa!" Emosi Mirna kian membuncah saat tiba di rumah.
Mirna menghempaskan tubuh ke sofa dengan mulut terus mengomel. Wanita itu kalap. Sesekali ia menjerit sambil memaki-maki. "Apa kamu mau jadi seperti papamu yang selalu menyakiti Mama?"
Makian demi makian menyerang Dimas yang hanya berdiri mematung di hadapan ibunya. Seperti penjahat yang sedang dirundung massa, Dimas merasa hancur. Bagaimana tidak, satu-satunya tempat untuk berkeluh kesah dan meminta perlindungan, malah mencecar dengan ucapan tajam. Anak yang seharusnya mendapat perhatian khusus itu makin frustasi.
Dimas berjalan gontai menuju kamar. Ia menutup pintu, lalu mengunci dari dalam. Ia mencari sesuatu di laci meja belajar.
Dapat!
Tanpa berpikir panjang, Dimas meraih benda pipih tajam, lalu menggoreskannya, tepat di urat nadi. Perlahan, tetapi pasti, cairan merah mengucur deras, membuat tubuh Dimas perlahan melemas. Kepala terasa pusing dan ia jatuh tersungkur.