Masukan nama pengguna
Plak!!!
"Dasar anak tak tahu malu! Kamu sudah membuat Mama sangat kecewa!"
Tamparan keras dari telapak tangan seorang ibu mengena tepat di pipi Nina. Gadis berambut cepak itu langsung menangis tersedu-sedu sambil sesekali mengusap pipinya yang terasa panas.
"Pokoknya Mama nggak mau tahu! Kamu harus mau Mama antar ke pesantren, sekarang juga!" teriak sang ibu lagi dengan sangat histeris. Melihat anaknya salah pergaulan membuatnya frustasi.
Bagaimana tidak? Pasalnya, anak gadis Lidya itu selalu pulang larut malam setiap hari. Bukan hanya sekedar jalan-jalan. Namun, Lidya mengetahui jika putri semata wayangnya kerap berboncengan mesra dengan seorang pemuda. Seperti hari ini, putrinya ketahuan bermesraan di atas motor dengan kekasihnya. Entah anak siapa, tapi yang pasti Lidya sangat malu karena para tetangga sudah hampir tahu semua.
"Kamu ini sudah membuat Mama malu, Nin. Jadi anak gadis mbok ya yang pinter, di rumah saja, nurut sama Mama, dan jangan kelayapan aja kerjanya."
Lidya bersungguh-sungguh dengan niatnya. Wanita itu segera mengemasi beberapa pakaian milik putrinya ke dalam tas jinjing yang berukuran besar. Ia meninggalkan anaknya yang masih duduk menangis di ruang tamu.
Sambil mengumpulkan barang milik sang putri yang akan dibawanya ke pesantren, Lidya masih saja terus mengomel. Wanita berjilbab lebar itu sangat geram dengan apa yang telah dilakukan putrinya. Berharap sang anak yang duduk di ruang sebelah bisa mendengar kegundahan hatinya dan mau berubah.
"Kamu itu tidak kasihan sama Mama, ya? Papamu sudah meninggal, bukannya jadi anak baik yang selalu mendoakan, ini malah jadi anak nakal. Seneng banget bikin Mama naik darah!" omel Lidya lagi. Sepertinya beban di dalam hatinya sudah sangat menumpuk, hingga sampai kapan pun dikeluarkan, tetap saja belum berkurang.
Nina yang duduk di ruang tamu masih terus menangis sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Sudahlah sakit pipinya kena tampar, masih terus ditambah dengan omelan yang sangat mengena perasaan. Namun, bukannya sadar akan kesalahan, Nina malah menggerutu sendirian.
"Mama cerewet banget! Nggak bisa lihat anaknya seneng! Mana mau kirim aku ke pesantren?? Ck! Males!" Gadis yang memakai kaos oblong itu bangkit dari duduk, melangkahkan kaki dengan cepat keluar rumah. Entah kenapa, mendengar siraman rohani yang tiada henti dari sang ibu membuatnya semakin jengah.
Lidya yang terus menyelesaikan aktivitasnya di dalam kamar tidak sadar jika anaknya pergi. Ia masih saja menyiapkan semua barang milik putrinya sambil mengomel tiada henti. Hingga, tiga puluh menit berlalu akhirnya persiapan selesai, dan wanita itu pun keluar dari kamar sang putri.
Mendapati sang anak tidak lagi di tempat semula, ia masih merasa biasa-biasa saja. Lidya pikir Nina pasti di dapur, kalau tidak ya di kamar mandi. Wanita itu meletakkan satu tas besar yang berisi semua perlengkapan putrinya ke atas meja ruang tamu.
Lama menunggu sang anak yang tidak segera muncul, Lidya mulai gelisah. "Nina ini ke mana sih? Kenapa belum keluar juga?" Wanita itu bangkit dari duduknya berniat mencari sang anak di dapur dan kamar mandi.
"Nin! Nina!" panggilnya berulang kali, tapi yang dipanggil tak kunjung menjawab.
"Nina!" Suara Lidya semakin lantang. Namun, masih tetap sama. Sang putri belum juga menampakkan batang hidungnya. Jangankan datang menghampiri sang ibu, menjawab panggilannya saja tidak. Seperti ditelan bumi, ketiadaan Nina yang tiba-tiba membuat Lidya cemas dan khawatir.
Wanita itu sudah mencari putrinya di setiap ruangan rumah, tapi tetap tidak ketemu. Ya wajar saja, karena yang dicari sudah keluar sedari tadi. Sampai kapan pun mencari di rumah itu tidak akan menemukannya. Lidya panik. Ia segera menghubungi nomor putrinya dengan perasaan bercampur aduk.
***
Di tempat lain, tapi masih di kota yang sama. Nina mengetuk pintu rumah seseorang. Gadis tomboi itu tampak menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan sekelilingnya. Ia tampak seperti maling yang sedang dikejar massa, dan mencari tempat persembunyian.
Pintu rumah terbuka, muncul seorang pemuda berambut gondrong dari balik pintu. Jika dilihat dari kedua matanya yang mengerjap dan diuceknya beberapa kali, sudah bisa dipastikan bahwa ia baru terbangun dari tidur.
"Sayang, ada apa?" sapa pemuda itu dengan lesu. Tampaknya dia masih sangat mengantuk. Padahal saat ini sudah jam sebelas siang.
Bukannya menjawab pertanyaan sang kekasih, Nina malah mendorong tubuh Freddy untuk kembali masuk ke dalam.
"Ada apa ini, Nin?" Freddy bingung melihat sang kekasih yang tampak ketakutan. Ia segera mengajak Nina masuk dan menutup pintu dari dalam.
"Gawat ini, Sayang. Aku akan diantar ke pesantren sama Mama. Kamu harus melindungi aku di sini," jawab Nina cemas.
Freddy menghampiri kekasihnya, dan menuntun gadis itu untuk duduk di sofa. "Kamu nggak usah khawatir. Kamu aman di sini. Karena ayah dan ibuku masih di luar negeri, untuk sementara waktu, kamu bisa bersembunyi di sini."
"Tapi, bagaimana jika Mama mencariku?" tanya Nina ragu. Sebenarnya hatinya berat untuk menentang sang ibu, tapi perasaan ingin bebasnya mengalahkan semua itu.
Pemuda yang hanya memakai celana pendek itu memeluk tubuh Nina dengan sangat erat. "Sudah kubilang, kan? Jangan khawatir, kamu aman di sini."
Nina mendongakkan wajah, menatap nanar wajah tampan Freddy. "Kamu yakin?"
Sang kekasih mengangguk penuh keyakinan. "Iya, Sayang." Pemuda itu menatap wajah Nina dengan penuh kasih sayang.
Dalam sekejap, sepasang kekasih itu saling meluapkan rasa. Seperti sudah terbiasa, Nina menyambut perlakuan lembut pemuda itu dan malah membalasnya. Dering handphone yang terdengar berkali-kali sudah tak dihiraukannya lagi. Nina semakin terbuai oleh suasana dan kedamaian dari sang kekasih yang berjanji akan menjaganya. Dan anehnya, hanya dengan ucapan itu mampu membuatnya merasa nyaman. Sudahlah cuaca panas, mereka menambah kepanasannya dengan aktivitas mereka. Hingga, entah bagaimana caranya, dua sejoli itu sudah tertidur pulas di atas ranjang. Tubuh keduanya hanya tertutup selimut tebal, tanpa sehelai benang.
"Astaghfirullahalazim, Nina!!!" Lidya berteriak histeris saat mendapati putrinya tengah tidur di pelukan pemuda dengan tanpa busana.
Sontak Nina membelalakkan mata karena saking terkejutnya. Dari mana ibunya bisa tahu kalau dia berada di rumah sang kekasih? Dalam kondisi dan situasi seperti ini pula.
Amel, teman main Nina yang berdiri di samping Lidya tampak menyeringai puas. Tidak salah lagi, pasti dialah yang sudah memberitahu tempat persembunyian Nina pada sang ibu.
Melihat sang putri berlagak bodoh, membuat Lidya semakin geram. Berkali-kali wanita itu beristighfar seraya menjerit histeris, dan kembali mendaratkan telapak tangannya pada pipi sang putri.
"Cepat pakai bajumu!" titah Lidya sambil menunjuk ke lantai tempat kaos oblong, celana jeans dan dua barang onderdil milik Nina tercecer di sana.
Nina beringsut, begitu juga kekasih gondrongnya. Pemuda itu tampak lebih cepat sudah memakai celana pendeknya dan berdiri mematung di tepi ranjang. Sementara Nina masih harus memungut empat barang miliknya dulu, baru mulai memakai satu per satu pakaiannya dari balik selimut.
Tidak sampai satu menit, Nina sudah berpakaian lengkap. Gadis itu duduk menunduk di tepi ranjang. Dia merasa sangat takut pada ibunya yang kini sudah tahu perbuatannya dengan sang kekasih.
Lidya kembali mendaratkan telapak tangannya di wajah lesu sang putri. "Dasar gadis tak tahu malu! Kenapa kamu bisa melakukan perbuatan ini? Hah?"
Nina masih terus menunduk, sementara hatinya sangat takut. Ia mulai terisak.
"Ya Allah ... ampuni hamba-Mu yang telah gagal mendidik putrinya ini, ya Allah ...," tangis Lidya pecah. Berkali-kali ia menjerit histeris dan merutuk dirinya sendiri.
Melihat reaksi sang ibu yang di luar dugaannya, seketika membuat Nina merasa bersalah. Hatinya sedikit terbuka dengan tangisan kecewa sang ibu padanya. Gadis itu bangkit dari posisinya, menghampiri sang ibu dengan mata berkaca. Ia menyesal.
"Maafkan Nina, Ma," ucapnya seraya hendak memeluk tubuh sang ibu. Namun, dengan cepat Lidya menepis tubuh putrinya yang menurutnya kotor karena telah berkumpul dengan pemuda yang sedang bersandar di dinding itu.
Lidya bangkit dari posisi. "Mama sudah sangat kecewa padamu, Nin. Sampai kapan pun Mama tidak bisa memaafkanmu," ucap Lidya dengan penuh penekan. Wanita itu sangat terluka mengetahui putrinya sudah benar-benar terjerumus ke dalam kemaksiatan. Hati Lidya sangat sedih, dan kecewa. Putri semata wayang yang dijaganya dengan susah payah seolah telah menusuk hatinya dengan ribuan sembilu. Ia memutar badan, melangkahkan kaki, hendak pergi. Berlama-lama melihat sang putri membuat hatinya semakin perih.
"Tidak, Ma! Jangan tinggalkan Nina!" Gadis berambut cepak itu menarik kuat lengan sang ibu.
Langkah Lidya terhenti. Dengan kasar ia menepis tangan Nina dari lengannya. "Lepaskan Mama! Jangan hiraukan Mama lagi! Mulai saat ini, hiduplah semaumu!"
"Tidak! Nina ingin tetap bersama Mama! Jangan tinggalkan Nina, Ma!" Gadis itu menangis histeris. Ia kembali menarik lengan sang ibu, berharap masih ada kesempatan yang diberikan untuknya.
"Kenapa kamu menghentikan Mama? Bukankah ini yang kamu inginkan? Hidup bebas tanpa aturan dari Mama! Hah?" cecar Lidya dengan sangat kesal.
"Tidak, Ma! Tidak!" Nina semakin histeris dengan penolakan yang diberikan ibunya. Seperti boomerang, ia berhasil menyakiti hati ibunya. Namun, ternyata hatinya lebih sakit saat sang ibu memilih melepaskannya. Tangan Nina semakin kuat menarik lengan sang ibu.
Hingga beberapa menit berlalu, posisi kedua wanita itu masih sama. Namun, sang kekasih dan teman Nina sudah tidak tampak. Sepertinya kedua orang tadi telah keluar lebih dulu. Nina masih tertunduk menangis berharap sang ibu mau memaafkannya.
Hati ibu mana yang tega jika benar-benar harus berpisah dari sang anak? Apalagi perjalanan hidupnya yang selama ini sudah cukup terjal karena harus membesarkan putrinya seorang diri tanpa suami. Hati Lidya luluh.
"Mama akan memafkanmu, tapi dengan satu syarat!" ucap Lidya pada sang putri yang langsung mengangguk setuju.
"Baik, Ma. Apapun syaratnya Nina akan lakukan," jawab Nina penuh keyakinan.
***
Seminggu berlalu.
Di pondok pesantren At-Taubah.
Lidya tampak tersenyum bahagia melihat sang putri berpakaian sopan dengan kerudung lebar yang menutupi kepala.
"Assalamu'alaikum, Ma. Bagaimana kabar Mama?" tanya Nina yang ternyata sudah menjadi santri di pondok pesantren itu.
Nina tampak sangat cantik dengan balutan kerudung lebar yang dipakainya. Gadis itu sudah mengubur dalam-dalam kenangan masa lalunya demi mendapatkan maaf dari sang ibu.
Ya, syarat yang diajukan oleh Lidya pada putri adalah bertaubat dan masuk ke pesantren dengan suka rela. Setelah satu minggu berlalu, kini ibu dan putrinya itu saling bertemu kembali.
"Alhamdulillah, Mama baik, sehat. Kamu sendiri bagaimana?" Senyum bahagia terukir indah di wajah Lidya. Sedalam apapun ia merasa kecewa dengan apa yang telah diperbuat putrinya, tapi sebagai ibu dia harus memberi kesempatan pada putrinya untuk berubah. Wanita itu sudah memaafkan kesalahan Nina, dan berharap putrinya bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Yang lalu biarlah berlalu, karena saat ini adalah waktunya untuk bertaubat dan kembali menata hati.
"Alhamdulillah, Nina juga baik, Ma," jawab Nina seraya tersenyum.
"Sebentar lagi bulan puasa, kan? Kira-kira putri Mama ini sanggup tidak, ya?" sindir Lidya pada putrinya yang selalu bolong-bolong jika diajak puasa.
"Insya Allah sanggup, Ma. Kan di sini banyak temen."
"Serius?" Lidya memicingkan sebelah mata, menunggu kepastian dari sang putri. Mengingat selama bulan Ramadhan di rumah, putrinya itu selalu mengeluh tidak kuat dan sering nyolong minum, membuat Lidya sedikit khawatir.
Nina mengangguk yakin. "Iya, Ma. Percaya deh sama Nina." Gadis itu kembali tersenyum manis yang membuat sang ibu gemas dan langsung menjentik hidung mancungnya.
Sepasang ibu dan anak itu mulai berbagi kabar dan bercerita, hingga waktu kunjungan santri berakhir. Dengan perasaan bahagia dan haru, Lidya berpamitan pulang pada sang putri.
"Mama pulang dulu, ya. Belajar yang bener, jangan nakal-nakal. Mama berharap kamu benar-benar bisa menjadi wanita yang lebih baik," pamit Lidya pada sang putri dengan sedikit nasihat.
"Iya, Ma. Mama hati-hati, ya." Nina meraih tangan sang ibu dan menciumnya. Sepertinya, seminggu di dalam asrama membuatnya benar-benar sadar bahwa sangat wajib menghormati orang tua, apalagi seorang ibu.
Dengan mengulas senyum, Lidya meninggalkan putrinya pulang ke rumah.
Beberapa hari berlalu, dan bulan yang ditunggu-tunggu para santri dan ummat Muslim lain akhirnya tiba juga. Bulan Ramadhan, bulan penuh ampunan.
"Nina! Jadwal kita mengantar takjil di Mushola putra pada hari ke tiga, ya?" seru Kamila, teman satu asrama Nina itu tampak heboh di depan papan pengumuman.
"Padahal aku santri baru, kok sudah dikasih tugas?" Nina yang memiliki watak semaunya sendiri itu sedikit mengeluh.
Kamila berdecik bingung. "Kamu ini gimana, sih? Nggak semua santri putri dapat jadwal ini, lho." Gadis itu mengarahkan wajahnya ke telinga Nina. "Di sana nanti kita bisa sekalian cuci mata," bisiknya sambil terkekeh menahan tawa.
"Cuci mata? Maksudmu apa??" Nina benar-benar tidak mengerti. Maklum santri baru, semua hal tentunya baru juga untuknya.
Kamila kembali berbisik, "Bisa cuci mata liat yang ganteng-ganteng." Gadis seumuran Nina itu memperjelas maksudnya dengan tersipu.
Mendengar ucapan temannya membuat Nina melongo. "Ish! Kamu ini! Ingat kata Kyai Toha! Jaga pandangan! Jangan jelalatan. Apalagi pas bulan puasa. Batal pahala puasanya, mau??" Seperti sudah lama nyantri saja si Nina ini, pintar betul menceramahi temannya.
"Hehe, iya. Iya." Kamila menyeringai malu.
Malam satu bulan Ramadhan. Setelah sholat Maghrib berjamaah di Masjid, seluruh santri melanjutkan dengan pembacaan surah Al-fath secara bersama-sama yang dipimpin oleh kyai Toha langsung, sesepuh dan pendiri pondok pesantren ini. Kemudian, setelah itu disambung dengan sholat Isya' dan Tarawih yang diimami oleh Ustadz Dzulfikar, putra dari sang Kyai Toha yang baru pulang dari menuntut ilmu di Kairo, Mesir.
Pembacaan surah yang begitu indah dan syahdu membuat hati para jamaah tergetar. Tidak terkecuali Nina. Dalam hati gadis itu menjalar rasa yang sulit untuk diungkapkan, yang seketika membuatnya teringat akan dosa-dosa yang pernah dilakukan. Hati gadis itu sangat menyesal, hingga tak terasa, air mata luruh dari kedua pelupuknya. Seperti hanyut dalam perasaan ketika mendengarkan suara indah itu, Nina benar-benar menikmati setiap gerakan sholatnya.
Setelah semua ibadah selesai, semua santri putri kembali ke asrama untuk melanjutkan tadarus di aula khusus.
"Eh, Nin. Kamu tahu nggak Ustadz Dzulfikar yang ngimamin sholat tadi?" tanya Kamila pada Nina sesaat setelah mereka berdua masuk asrama. Padahal banyak santri lain yang sudah lebih dulu masuk, tapi Kamila tidak berusaha mengecilkan suaranya. Yang otomatis hampir seluruh santri bisa mendengarnya juga.
"Eh, Mil! Baru aja selesai sholat, kok sudah bahas ikhwan? Pahalamu dicoret malaikat lho, entar," celetuk Siti sambil menyeringai mengejek.
"Iya nih, Kamila. Jangan bahas ikhwan. Nanti ketahuan Ustadzah Husna, kamu kena sentil!" Beberapa teman santri yang lain ikut menimpali.
Seperti sudah menjadi peraturan, bahwa santri putri dilarang membahas santri putra, apalagi anak sang Kyai. Agar mereka hanya fokus pada pelajaran dan ibadah mereka saja, tanpa memikirkan hal lain yang berhubungan dengan lawan jenis.
"Kan cuma penasaran, masa nggak boleh, sih?" sahut Kamila santai. Ia menarik lengan Nina dan mengajaknya keluar asrama.
"Kamu ini kenapa sih, Mil?" tanya Nina yang bingung karena tiba-tiba tangannya ditarik oleh temannya.
Kamila membawa Nina di teras asrama. "Aku mau nerusin apa yang aku bilang tadi. Kalau di asrama pasti mereka nanti melaporkanku pada Ustadzah Husna. Bisa dapat hukuman beneran aku nanti."
"Kalau nggak mau dihukum ya jangan melanggar. Gitu aja repot," sahut Nina cemberut kesal. Sebenarnya dia juga tidak tertarik dengan pembahasan temannya itu. Namun, karena menghargai, dia sangat terpaksa manut. Toh, cuma jadi pendengar baik saja.
"Kalau bahas ikhwan yang satu ini nggak bisa ditahan mulutku, Nin," sahut Kamila lagi sangat enteng. Kamila melanjutkan kalimatnya dengan nada sepelan mungkin, tetapi masih bisa didengar oleh lawan bicaranya, "yang ngimamin kita sholat tadi namanya Ustadz Dzulfikar, Nin. Dia adalah putra dari Kyai Toha," jelas Kamila antusias. Namun, yang diajak berbicara hanya merespon dengan anggukan.
"Kamu ini kenapa sih, Nin? Jawab dong? Kok cuma angguk-angguk doang??" Kamila merasa kesalahan karena tidak begitu direspon oleh temannya.
"Hehe, emangnya kamu suruh aku jawab apa, Mil??" Yang ditanya malah balik bertanya.
"Ya, paling tidak kamu penasaran dengan ikhwan yang kuceritakan ini, Nin. Biar aku lebih bersemangat ceritanya." Kamila bergumam nyaring sambil melengos ke arah kiri. Sepertinya gadis yang masih memakai mukena itu benar-benar kesal pada temannya.
"Mil, untuk saat ini aku tidak berselera dengan laki-laki," jawab Nina yang membuat bulu leher temannya meremang.
Seketika, kedua mata Kamila melebar sempurna. "Maksudmu apa, Nin? Jangan bilang kamu ...." Kalimat gadis itu terhenti.
Nina paham pembicaraan Kamila. "Apa? Kamu pikir aku LGBT? Lesbi?" tanya Nina memperjelas kalimat temannya.
Kamila mengangguk pelan, sedangkan kedua matanya masih melotot penasaran. "Iya, apa kamu benar-benar les ...."
Pertanyaan Kamila membuat Nina terpingkal. "Kamu ini lucu, Mil! Mana mungkin aku lesbi. Apa kamu lupa bagaimana caraku bisa masuk ke pesantren ini?"
"Kamu bilang karena kamu ketahuan pacaran. Ya, kali aja pacaran sama sesama jenis," jawab Kamila enteng. Nina memang bercerita tentang itu, tapi dia menyembunyikan fakta bahwa dia sudah pernah melakukan hal intim dengan kekasihnya.
"Yee enggak, lah. Aku masih normal kalau masalah jenis kelamin!" Nina menyenggol bahu temannya. "Hanya saja, untuk saat ini aku ingin fokus belajar demi Mama. Aku tidak ingin membuatnya kecewa lagi." Nina mengatakan itu dengan menundukkan wajah. Terlintas di benaknya tentang kejadian memalukan itu yang membuat hatinya tergetar ingin benar-benar bertaubat.
***
"Nin! Cepetan!" seru Kamila pada Nina yang berjalan agak jauh dari tempatnya berdiri. Kedua gadis itu membawa masing-masing sekotak makanan takjil di tangan mereka.
Ya, hari ini adalah hari ke tiga Ramadhan, hari di mana Nina dan Kamila mendapat giliran mengantar takjil ke Mushola putra.
Kamila, gadis berkerudung biru muda itu tampak sangat bersemangat. Terbukti dari langkah kakinya yang super cepat hingga Nina tertinggal jauh di belakangnya.
"Nin! Cepetan!" seru Kamila lagi dengan cemberut kesal. "Kamu ini jalan apa ngesot, sih?"
"Iya, iya, Mil. Semangat banget sih yang mau ketemu ikhwan," sahut Nina sembari menyindir. Langkah kaki Nina memang terasa berat dari biasanya. Entah karena belum terbiasa puasa atau kenapa, perut gadis berkerudung lebar itu terasa keram sedari pagi.
Nina berusaha mempercepat langkah menghampiri temannya yang menunggu di sisi jalan. Ketika keduanya bertemu, tiba-tiba seorang pemuda tampan berkopiah putih melintas di depan mereka. Pemuda itu menoleh sekilas kemudian segera menunduk. Ia terus berjalan menuju tempat yang sama dengan yang dituju dua gadis itu.
"Subhanallah, Nina. Dia Ustadz Dzulfikar. Ganteng banget, kan?" bisik Kamila dengan pandangan takjub. Berkali-kali gadis itu memuji paras pemuda yang barusan melintasi jalan tempat mereka berdiri.
Berbeda dari temannya yang heboh, respon Nina biasa saja. "Istighfar, Mil," ucapnya sambil menyenggol bahu sang teman.
"Astaghfirullahalazim ... tapi beneran ganteng, Nin. Bersyukur banget aku hari ini," sahut Kamila sambil terkekeh. Kedua gadis itu meneruskan langkah menuju bangunan yang sudah tampak di depan mata.
"Ini Akhy," ucap Kamila pada seorang santri putra yang bertugas menyiapkan takjil di Mushola itu. Ia meletakkan kotak yang dibawanya ke lantai seraya mengedarkan pandangan, mencari sosok yang sempat dijumpainya beberapa menit yang lalu.
"Terima kasih, Ukhty," balas remaja putra yang berdiri di hadapan Kamila.
Nina mengikuti langkah temannya. Ia juga meletakkan barang bawaannya ke lantai Mushola.
"Kamu ngapain, Mil? Cari siapa?" tanya Nina heran melihat tingkah temannya yang celingukan seperti mencari seseorang.
"Nin, kamu di sini dulu, ya. Aku mau ke sana sebentar." Bukannya membalas, Kamila malah berniat meninggalkan Nina di depan Mushola.
"Kamu mau ke mana?" tanya Nina semakin bingung.
"Sudah, kamu tunggu di sini dulu. Aku mau ke sana sebentar." Gadis berkerudung biru muda itu benar-benar meninggalkan temannya seorang diri.
Entah pergi ke mana Kamila, ini. Cukup lama Nina menunggu, tapi Kamila tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Untung suasana Mushola masih lumayan sepi, hanya ada beberapa santri putra yang bertugas di sana. Sebagian ada juga yang sedang mengaji.
"Afwan Ukhty? Sedang menunggu siapa?" Suara lembut seorang pemuda mampu membuat Nindi terhenyak. Seketika ia menoleh ke arah belakang, di mana pria yang dicari temannya sedang berdiri di sana.
"Ah," kaget Nina. "Anu ... saya sedang menunggu teman, Ustadz," jawab Nina ragu. Baru kali ini dia bertegur sapa dengan seorang ikhwan selama ia di pesantren. Dan tidak tanggung-tanggung, yang menegurnya adalah Ustadz Dzulfikar yang amat dikagumi sebagian besar santri putri.
Pemuda berkopiah putih itu tersenyum kecil. "Ooh, sedang menunggu teman yang jalan berdua tadi?" Ternyata Ustadz muda itu mengamati juga dua gadis yang dilewatinya tadi.
Nina mengangguk kaku. "Iya, Ustadz."
"Lalu ke mana perginya teman Ukhty? Jangan-jangan, dia sudah balik ke asrama?" terka Dzulfikar. Karena untuk beberapa menit yang lalu, saat ia berwudu di samping Mushola, pemuda itu tidak melihat seorang santri putri pun di sana.
"Masa, sih?" Nina menautkan kedua alis. "Awas kamu, Mil ...." Entah kenapa ucapan ustadz muda itu seperti kenyataan bagi Nina. Gadis itu bergumam sendiri sambil cemberut kesal, yang membuat pemuda di hadapannya merasa lucu.
"Ini cuma dugaan ana saja, ya? Kalau anti mau tetap menunggu, ya silakan. Tapi, yang pastinya sebentar lagi para santri putra bakalan datang ke sini."
Ucapan ustadz muda itu semakin membuat Nina bingung. Bagaimana jika saat rombongan santri putra tiba, Kamila belum juga datang? Tanpa menunggu kemunculan temannya, Nina memutuskan untuk kembali ke asrama.
"Baiklah, Ustadz. Saya mau balik ke asrama dulu," pamit gadis berkerudung itu sembari mengulas senyum pada sang ustadz.
Dzulfikar mengangguk setuju. "Silakan, Ukhty."
Entah setan apa yang sedang berbisik di telinga pemuda berkopiah itu, yang membuatnya terus menatap lekat kepergian Nina. Ada desir aneh yang mengganggu hatinya. Melihat senyum manis santri putri itu membuatnya tergoda.
"Astaghfirullah ...." Dengan cepat, Dzulfikar menepis rasa yang baginya hal itu adalah sebuah larangan. Ia kembali teringat akan perjodohan yang sudah diatur untuknya oleh ayahnya dengan gadis shalehah bernama Husna.
***
"Nina! Kenapa kamu ninggalin aku??" Kamila menghampiri Nina sambil bersungut marah.
"Lho? Kamu baru balik??" Nina malah bingung.
"Iya, lah. Kamu pikir aku di mana? Kan tadi sudah kubilang tungguin aku sebentar, kenapa malah ditinggal?"
"Iya, Maaf, Mil. Tadi kata Us ... eh, ada yang bilang kamu sudah balik ke asrama. Jadi aku ya ikutan balik juga." Nina memberi alasan, tapi tidak berterus terang bahwa yang memberitahunya adalah idola temannya. Ia takut Kamila akan semakin heboh ketika tahu tentang ustadz muda yang menegurnya.
"Au ah! Ini buktinya aku baru datang." Kamila semakin cemberut kesal.
"Memangnya kamu tadi habis dari mana?? Aku lama lho nungguin kamu." Nina tidak mau kalah, karena ia juga merasa jenuh menunggu.
"Tadi, aku ee ...." Gadis berkerudung biru muda itu gagap tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Yang sebenarnya terjadi adalah dia melihat sosok ustadz muda yang diidolakanya sedang berjalan sepintas menuju ke belakang Mushola. Kamila mencari sosok pemuda itu hingga mengelilingi seluruh Mushola, tapi tidak juga menemukannya.
"Mil! Koq malah bengong?!" Nina menyenggol lengan Kamila yang tampak melamun.
Kamila terhenyak, lalu menoleh ke arah Nina. "Sudah, ah. Mari kita ke aula! Ini sudah hampir Magrib. Nanti kita terlambat berbuka." Gadis itu menggandeng lengan Nina mengajaknya ke bangunan besar di depan asrama.
Para santri putri sudah tampak duduk berbaris keliling membentuk huruf O di ruangan itu. Kalau di pesantren, cara duduk ini biasa disebut halaqah/halaqoh. Hidangan takjil juga sudah siap di hadapan masing-masing dari mereka. Sekiranya lebih memudahkan nantinya jika beduk Magrib sudah ditabuh.
Karena terlambat datang, Nina dan Kamila duduk di barisan paling pinggir, dekat dengan pintu. Sembari menunggu Adzan dikumandangkan, mereka membaca Yasin Tahlil beserta beberapa wirid yang memang sudah menjadi kebiasaan para santri di pondok pesantren ini.
Saat beduk Magrib benar-benar ditabuh, serta Adzan benar-benar dikumandangkan, Nina dan Kamila bersama seluruh santri mengucap rasa syukur mereka, seraya melafalkan doa berbuka puasa, mereka langsung menyantap hidangan takjil yang sudah tersedia.
Alhamdulillah, tidak terasa sudah tiga hari mereka menjalankan ibadah puasa.
***
Bakda sholat Subuh.
Seluruh santri putri sudah berkumpul di aula tempat dilaksanakannya pengajian rutin setiap pagi. Tidak seperti biasanya, entah kenapa subuh ini, Kyai Toha belum tampak juga.
Ada yang bergumam sakitkah beliau sehingga belum juga datang? Ada juga yang berpikir mungkin beliau sedang mengisi pengajian lain diluar pesantren. Mengingat Kyai Toha merupakan pemuka agama yang sering diundang untuk mengisi tausiah di beberapa Masjid sekitaran pesantren.
Hampir sepuluh menit berlalu, suasana yang riuh karena mempertanyakan sang pengisi pengajian, tiba-tiba senyap. Ya, seorang pemuda berkopiah putih ternyata sudah duduk di atas mimbar tempat biasanya Kyai Toha memulai pengajian.
Dzulfikar duduk di depan para gadis dengan pandangan menunduk dalam-dalam. Ia sedikit grogi. Walaupun ilmunya tinggi, tapi baru kali ini pemuda itu menggantikan sang ayah mengisi pengajian di majelis santri putri. Terlebih, ada calon istri yang duduk di ujung barisan depan. Walaupun tidak menatap langsung gadis berkerudung putih itu, tapi Dzulfikar sudah bisa melihat wajah ayu yang tampak malu-malu di sana.
Setelah mengucap salam, Dzulfikar menyampaikan permintaan maaf dari sang ayah yang berhalangan hadir dikarenakan tengah sakit. Dan untuk beberapa hari ke depan, ustadz muda itulah yang akan menjadi pengisi di majelis itu.
Mendengar sang Kyai sakit membuat seluruh santri merasa bersedih. Mereka semua membacakan doa untuk kesembuhan Kyai Toha.
Pengajian pun dimulai. Dzulfikar pagi ini membahas tentang taubat. Bahwa, sebesar apapun dosa hamba, Allah akan mengampuninya jika hamba itu benar-benar bertaubat. Dengan catatan taubatannasuha, yaitu taubat yang bersungguh-sungguh, berniat dalam hati untuk tidak melakukan perbuatan dosa itu lagi.
Seluruh santri mengangguk paham, kecuali Nina. Entah kenapa gadis itu malah menunduk dalam-dalam. Tidak ada yang tahu, ternyata ia tengah menangis. Seperti yang dikatakan oleh ustadz muda itu, hati Nina benar-benar ingin bertaubat dengan sebaik-baiknya.
"Afwan, kenapa yang di tengah itu terus menunduk? Ngantuk, kah?" tanya Dzulfikar sambil menunjuk ke arah Nina yang memang masih dalam keadaan menunduk. Seketika seluruh tatapan mata tertuju ke arahnya.
"Nin? Ada apa?" bisik Kamila seraya menyenggol lengan temannya. Gadis itu merasa cemas karena saat ini teman yang duduk di sampingnya sedang menjadi sorot perhatian.
Nina terhenyak, lalu mengangkat wajah. Ada bekas air mata di sana yang langsung cepat ia seka menggunakan ujung kerudungnya.
"Anti kenapa? Ngantuk??" tanya Dzulfikar lagi dengan wajah datar. Entah apa yang sedang dipikirkan.
Nina mengangguk ragu. "Iya, Ustadz." Tidak mungkin juga ia mengaku sedang menangis. Apalagi mengaku jika tangisannya karena perbuatan yang memalukan.
Mendengar pengakuan Nina membuat hampir seluruh santri tertawa pecah. Lucu memang mengantuk saat pengajian, tapi sebenarnya itu adalah hal yang dibenci oleh Allah.
"Sudah, diam!"perintah Dzulfikar dengan tegas. Pemuda itu kembali menunjuk ke arah Nina. "Kamu, segera keluar dari ruangan ini. Berwudulah, agar kantukmu hilang."
Nina kembali mengangguk ragu. "Baik, Ustadz." Sesuai perintah dari ustadznya, gadis itu beranjak keluar aula menuju tempat wudu. Setelah berwudu, Nina kembali ke aula untuk melanjutkan kajian. Namun, saat ini ia memilih duduk di barisan paling belakang.
Di posisi ini, gadis berkerudung lebar itu bisa melihat dengan jelas wajah ustadz tampan yang sedang mengisi pengajian. Sesekali pandangan mereka bertemu, dan dengan cepat keduanya memalingkan ke arah lain. Nina tidak berani menunduk lagi. Ia menghindari lamunannya kembali hanyut seperti tadi. Jika sampai ketahuan lagi, akan membuatnya semakin malu pada teman-temannya.
Sebisa mungkin Nina fokus pada pengisi majelis. Walaupun sesekali ia tampak seperti ketahuan curi pandang pada ustadz muda itu, tapi bukankah masih diperbolehkan jika memandang seorang guru yang sedang mengajar?
Berbeda dengan Nina. Hati Dzulfikar terasa semakin bergetar ketika pandangannya kembali bertemu pada wajah manis yang ditemuinya tempo hari.
Padahal, sejak awal dia sama sekali tidak ada perasaan ini, tapi begitu ustadz muda itu menegur salah satu santrinya yang tampak mengantuk, ia baru menyadari bahwa wajah itu yang kemarin singgah di hatinya.
Begitu Nina kembali dari berwudu, hati Dzulfikar semakin penasaran. Bukannya curi pandang kepada sang calon istri, kedua netra Dzulfikar asyik mencari celah untuk menatap wajah Nina. Seperti ada daya tarik tersendiri dari wajah manis itu, yang membuat Dzulfikar berulang kali menatapnya.
'Astaghfirullah ... sadar, Dzul,' gumamnya dalam hati. Pemuda itu segera menepis perasaan itu kembali.
Dzulfikar melanjutkan kajiannya hingga jadwal waktu yang sudah ditentukan.
Siang harinya, Nina yang tengah mengaji di dalam asrama dipanggil seorang teman sesama santri.
"Ada apa, Ukhty?" tanya Nina saat Amanda menghampirinya.
"Ada yang berkunjung," jawab Amanda memberi tahu.
"Berkunjung? Siapa? Mama?" tanya Nina penasaran.
Amanda menggeleng cepat. "Bukan, tapi seorang pria muda. Katanya dia kakakmu."
"Kakak?" Nina bingung. Padahal dia anak tunggal, tapi dia juga penasaran. Siapa yang datang untuk mengunjunginya?
"Iya, kakak laki-lakimu," jelas Amanda lagi yang langsung ditanggapi anggukan oleh Nina.
"Makasih ya, Manda." Nina bangkit dari duduknya, lalu keluar asrama menuju ruangan yang berada di luar pagar. Ruangan khusus untuk kunjungan santri.
Langkah kaki Nina terhenti saat ia melihat siapa yang sedang duduk di kursi tunggu. "Freddy??" Nina memekik pelan. Bagaimana bisa pemuda itu tahu tempatnya saat ini.
Begitu melihat Nina, Freddy langsung bangkit dan menarik lengan sang gadis. Ia ingin memeluknya. "Sayang, aku kangen banget." Bukan hanya memeluk, pemuda itu juga ingin mencium pipi Nina.
"Lepaskan aku, Fred!" Nina mendorong kasar tubuh pemuda yang pernah tidur bersama dengannya itu. Dulu, karena sekarang Nina sudah berubah.
"Jangan begitu, Sayang. Aku sudah bersusah payah mencari keberadaanmu. Tapi setelah kita bertemu, kenapa reaksimu malah seperti ini??" Freddy kesal karena mendapat penolakan dari sang kekasih. Benar saja, antara keduanya memang belum terucap kata putus.
"Maaf, Fred. Kita tidak bisa seperti dulu lagi. Anggap kita sudah putus. Karena aku benar-benar ingin berubah," jawab Nina pelan, tapi pasti.
Freddy malah berdecik. "Ck! Aku tidak percaya kamu bisa berubah hanya dalam hitungan hari. Aku kenal kamu, Nin." Pemuda itu kembali mendekati Nina sembari menyeringai. "Apa kamu sudah melupakan aksi panas kita?"
Ucapan Freddy berhasil membuat Nina melebarkan kedua mata. "Freddy! Diam! Jangan katakan itu!" Gadis itu takut jika ada yang mendengar ucapan Freddy. Juga, dia sangat malu pada dirinya sendiri.
"Kenapa? Apa setelah aku mengucapkan kalimat itu bisa membuatmu kembali ingin melakukannya??" Freddy semakin tertantang dan kembali mendekati tubuh Nina.
"Jangan dekati aku, Fred!" teriak Nina dengan suara agak nyaring sehingga menghentikan langkah seseorang yang tak sengaja melintasi bangunan itu.
"Kenapa? Kamu malu jika melakukannya di sini? Apa kita perlu menginap di hotel?" Freddy terus mendekati Nina, sementara Nina berusaha terus menghindar. Hingga tubuh gadis berkerudung itu terpojok.
"Tolong hentikan, Fred!" Sekali lagi Nina berteriak, tapi semakin membuat Freddy bersemangat. Pemuda itu meraih kasar tubuh Nina dan ingin memeluknya. Namun, tiba-tiba seseorang berhasil memutar tubuh Freddy dan,
Buk!
Tampak pemuda berkopiah mendaratkan satu kepalan tangan di perut Freddy yang membuatnya langsung hilang keseimbangan, hingga jatuh ke lantai.
"Siapa kamu?! Jangan ikut campur!" sungut Freddy benar-benar marah. Ia bangkit dari posisi hendak membalas.
"Saya anak Kyai di sini. Jika kamu berani menyentuh santri kami, kami tidak akan tinggal diam. Kami akan langsung memanggil polisi," ucap Dzulfikar dengan sangat tegas. Sekilas ia melirik ke arah gadis yang tampak menangis di belakangnya.
"Ck! Beraninya main keroyokan!" balas Freddy sambil berdecik seolah berani, padahal sebenarnya ia takut. "Oke, oke. Aku tidak akan mengganggu Nina lagi. Aku sudah cukup puas bermain-main dengannya," ucap Freddy lagi sebelum ia akhirnya beringsut pergi.
Kalimat yang dikatakan Freddy membuat Dzulfikar bertanya-tanya. Apa maksud pemuda gondrong itu yang berkata puas bermain-main dengan Nina??
"Terima kasih, Ustadz," ucap Nina sesaat setelah memastikan Freddy pergi. Gadis itu mulai melangkahkan kaki hendak keluar dari ruangan itu.
"Tunggu, Nina!" seru Dzulfikar yang tak sengaja memanggil nama gadis itu setelah ia mengetahuinya dari pemuda yang baru saja dilawannya.
Langkah Nina terhenti. "Ada apa, Ustadz?" Tubuh Nina seketika gemetar. Ia takut jika akan mendapatkan sanksi atas apa yang terjadi. Mengingat yang memergoki kejadian ini adalah anak dari kyainya sendiri.
"Apa anti terluka?" tanya ustadz muda itu yang mampu membuat Nina menoleh ke arahnya. Pandangan mereka bertemu, dan dengan cepat gadis itu kembali menunduk.
"Tidak, Ustadz. Saya baik-baik saja.
Dzulfikar yang masih menatap Nina mengangguk paham. "Baiklah, kalau begitu kembalilah ke asrama. Ana akan pastikan pemuda itu tidak akan mengganggumu lagi."
"Sekali lagi Terima kasih, Ustadz." Nina membungkukkan badan kemudian berlalu pergi.
***
Jam tiga dini hari. Kamila menyenggol tubuh Nina yang tidur satu ranjang dengannya untuk mengajaknya makan sahur bersama.
"Nin, bangun," ucap Kamila yang mulai menepuk pelan bahu temannya.
Nina mengerjap, lalu memindah posisi tubuhnya menghadap Kamila. "Aku mau izin nggak puasa boleh nggak, ya? Perutku sakit sekali, Mil," sahut Nina sambil memilin pelan perutnya.
"Perutmu sakit?" tanya Kamila ingin memastikan.
Nina mengangguk yakin. "Iya, Mil sakit banget."
"Ya sudah, aku bilang ke Ustadzah Husna dulu, ya. Biar beliau yang kasih solusi. Kalau aku nggak berani mengizinkan kamu nggak berpuasa. Puasa kan kewajiban, nggak boleh dibuat enteng. Jadi, lebih baik kita bertanya pada yang lebih tahu, ya?" Kamila memberi saran yang langsung ditanggapi anggukan oleh Nina.
Kamila bangkit dari posisi. Gadis itu keluar menuju asrama lain tempat di mana Husna, santri yang sudah menjadi ustadzah itu tinggal.
Tidak perlu waktu lama, Kamila sudah kembali bersama Husna di sampingnya. Keduanya menghampiri Nina di asramanya.
"Kalau cuma sakit keram kamu tetap wajib puasa!" sentak Husna pada Nina. Gadis yang dijodohkan dengan Dzulfikar itu memang terkenal tegas dalam menerapkan hukum agama.
Kamila cemas setelah mendengar keputusan dari Husna. "Tapi, Ustadzah. Nina kan masih santri bar–"
"Nggak ada tapi-tapian! Sekali wajib puasa, ya wajib!!" sentak Husna lagi penuh ketegasan dan penekanan yang membuat Kamila terdiam seketika. Sang ustadzah muda itu berbalik badan dan keluar dari asrama, meninggalkan Nina dan Kamila yang masih bingung.
"Gimana Nin?? Kamu kuat enggak? Aku khawatir kalau kamu kenapa-kenapa," cemas Kamila seraya duduk di tepi ranjang.
Yang dikhawatirkan Kamila malah tersenyum. "Tidak apa-apa, Mil. Bismillah. Kalau kata Ustadzah Husna tetap wajib puasa, aku harus puasa," jawab Nina sembari meringis menahan sakit perutnya. "Sudah yuk, kita ke kantin. Nanti keburu imsak, malah nggak sempat sahur."
"Ya sudah, ayo." Kamila mengangguk setuju. Kedua gadis berkerudung itu keluar dari asrama menuju ruang makan yang terletak tidak jauh dari asrama.
Nina dan Kamila pun makan sahur bersama teman santri yang lain. Seperti biasa, setelah itu mereka bersih diri, kemudian menunggu adzan Subuh di aula. Sholat Subuh pagi ini diimami oleh Husna, santri senior yang memang diberi tugas langsung oleh Kyai Toha untuk memimpin setiap kegiatan peribadatan. Selepas sholat Subuh, mereka semua mengikuti majelis pengajian yang kali ini diisi oleh sang kyai sendiri.
Pengajian berlangsung hingga jam tujuh pagi. Selepas pengajian semua santri istirahat sejenak hingga jam delapan untuk mengikuti kelas rutin pagi pembacaan kitab yang diisi oleh Ustadzah Annisa yang masih keponakan dari Kyai Toha sendiri.
"Nin, kamu yakin kuat?" tanya Kamila ketika melihat wajah pucat Nina. Mereka saat ini sedang menuju aula; tempat dilaksanakannya kelas pagi.
Nina tersenyum ke arah sahabatnya. "Insya Allah kuat, Mil," jawabnya, padahal perutnya semakin lama terasa semakin keram.
"Alhamdulillah, yuk masuk." Kedua gadis itu terus melangkahkan kali memasuki ruang belajar.
Kajian pembacaan kitab dimulai oleh seorang wanita bercadar yang bernama Annisa. Sang pengisi kajian menjelaskan tentang beratnya dosa perzinaan. Yang mana, perbuatan zina merupakan dosa besar setelah menyekutukan Allah, dan pembunuhan. Jadi, hukumannya pun sangat besar bagi pelaku zina tersebut.
Mendengar penjelasan dari sang ustadzah membuat Nina kembali merasa bersalah. Hatinya kembali tersayat saking ia merasa malu pada Allah, juga pada semua orang di sekelilingnya. Gadis itu seketika menunduk menangis, seakan ia adalah seorang pendosa yang duduk di antara para malaikat di sekitarnya.
Semakin gamblang penyampaian kajian itu, semakin dalam Nina merasakan penyesalan. Perutnya yang terasa keram pun semakin menjadi hingga gadis berkerudung itu tidak bisa menahannya lagi. Tubuh Nina lunglai menimpa bahu Kamila yang duduk di sampingnya.
"Astaghfirullah! Nina!" Kamila menjerit, dan seketika kajian langsung terhenti.
Semua santri yang ada panik melihat tubuh Nina yang sudah berbaring di tempatnya duduk. Sang ustadzah pun bergegas menghampiri Nina untuk segera memeriksa.
"Cepat panggilkan dokter Amalia!" titah Annisa pada sebagian santri putri yang berkerumun.
"Baik, Ustadzah." Beberapa santri putri setengah berlari menuju ke luar pondok untuk memanggil dokter yang dimaksud. Di pesantren ini memang sudah disediakan jasa kesehatan seorang dokter untuk merawat santri yang sakit.
Tidak berapa lama sang dokter datang dengan satu tas perlengkapan kesehatan di tangannya. Semua santri diperintahkan keluar ruangan oleh sang dokter, agar pemeriksaan bisa lebih maksimal.
Sang dokter mulai memeriksa perut Nina, karena sebelumnya ia diberitahu oleh salah satu teman pasien bahwa gadis yang tengah pingsan itu mengeluh sakit perut sejak dini hari.
"Astaghfirullah," gumam dokter wanita itu seolah terkejut.
"Ada apa, Dokter?" tanya Annisa, sang ustadzah yang menemani Nina di ruangan itu.
Wajah dokter wanita itu tampak belum yakin, ia kembali memeriksa keadaan Nina, dan kembali beristighfar untuk yang ke dua kalinya.
"Ada apa, Dokter? Sakit apa santri kami??" tanya Annisa dengan wajah cemas.
Dokter wanita itu mendekati Annisa, lalu berbisik. "Dia tidak sakit apa-apa, Ustadzah. Tapi dia sedang hamil."
"Astaghfirullah!" Annisa memekik seraya menutup mulut dengan kedua tangan. "Bagaimana bisa???"
***
Sudah satu minggu semenjak Nina dinyatakan hamil oleh dokter Amalia, dia selalu mengurung diri di asrama. Sebenarnya dia sudah disuruh pulang oleh semua pengurus pesantren, tapi Nina bersikeras untuk tetap tinggal. Ia juga memohon agar semua orang tidak memberitahukan hal ini pada ibunya. Nina takut jika sampai ibunya tahu, ia tidak akan dianggap anak lagi.
Padahal, kehamilan bukanlah satu hal yang bisa ditutupi karena semakin hari akan semakin kentara. Tapi entah apa yang dipikirkan gadis itu, hingga ia bersikeras untuk tidak memberitahu ibunya.
Hari-hari Nina selalu sendiri dan dikucilkan oleh temannya, termasuk Kamila. Teman yang selalu ada untuk Nina itu selalu menghindar jika Nina berniat mendekatinya. Hidup di tengah-tengah banyak orang, tapi Nina seperti hidup sendiri di gurun sahara. Semakin hari, gadis itu semakin merasa terpuruk. Malu, menyesal, bingung, dan khawatir. Semuanya bercampur aduk menjadi satu. Meskipun begitu, Nina masih mengikuti semua kegiatan santri sesuai jadwal.
Siang ini, saat jadwal santri kosong, Nina berjalan keluar asrama menuju kolam ikan milik Kyai Toha yang ada di samping pagar. Sepertinya gadis itu ingin mencari hiburan. Wajar, karena tidak ada yang mau menegurnya saat berada di dalam asrama membuat hatinya semakin bersedih.
Nina mulai berjongkok sembari memperhatikan beberapa ikan yang berenang. Gadis itu tersenyum sendiri melihat segerombol ikan yang langsung lari saat ia memasukkan tangannya ke dalam kolam.
"Seneng banget jailin ikan." Suara seorang pemuda berhasil membuat Nina terkejut. Gadis itu langsung bangkit dari posisinya.
"Ustadz." Nina terkejut melihat sosok pemuda yang menegurnya. Gadis itu menundukkan pandangan. Dalam hatinya malu, karena pemuda yang berdiri di hadapannya saat ini pasti juga tahu tentang kehamilannya.
Ya, pemuda itu adalah Dzulfikar, anak sang kyai.
"Kenapa?" tanya Dzulfikar menelisik wajah gadis berkerudung itu.
"Ah, tidak apa-apa, Ustadz. Saya pamit kembali ke asrama." Nina berbalik badan hendak melangkahkan kaki. Namun, perkataan Dzulfikar mampu menghentikan langkahnya.
"Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan."
Nina menunduk dalam-dalam. "Tapi, dosa saya terlalu besar, Ustadz. Apakah Allah mau memaafkan saya?"
Dzulfikar semakin lekat menatap wajah gadis itu. "Bukankah ampunan Allah sangat luas? Dengan catatan bersungguh-sungguh, dan tidak mengulanginya lagi."
"Iya, Ustadz. Saya pernah mendengar tentang itu. Tapi, semua ini memang konsekuensi yang harus saya terima karena dosa saya," balas Nina lagi. Gadis itu. Mengangkat wajahnya menghadap sang ustadz muda sembari tersenyum. "Terima kasih sudah mengatakan itu, Ustadz," ucapnya. "Doakan saya agar bisa bersungguh-sungguh dalam bertaubat, dan saya kuat untuk melewati semua ini."
"Tentu, Ukhty ... insya Allah." Dzulfikar mengangguk penuh keyakinan.
Nina pun kembali melangkahkan kaki menuju asrama.
Tidak ada yang berubah. Kepedihan Nina semakin berlanjut, hingga pada malam 27 Ramadhan. Saat semua santri beribadah di Musola dan sebagian lagi sibuk dengan kegiatan malam, sepertinya kegelisahan Nina semakin membuncah. Gadis itu meraih obat nyamuk cair yang ada di sudut asrama. Tanpa berpikir panjang, dengan cepat dan penuh keyakinan, ia menenggak cairan itu hingga habis tak bersisa. Perlahan tapi pasti, mulut Nina mulai mengeluarkan busa, sementara tubuhnya lunglai jatuh ke lantai.
Gadis itu berpikir, mungkin dengan cara ini Tuhan dan semua orang yang ada di sekelilingnya mau memaafkannya.
"Astaghfirullah! Nina!!!" Kamila, orang pertama yang menemukan tubuh Nina tersungkur di lantai itu berteriak sekeras-kerasnya. Ia panik, menghampiri tubuh temannya seraya menangis pilu.
"Nina! Bangun!" teriaknya lagi. Gadis itu kembali bangkit dari posisi. "Tolong!!!" Kamila terus berteriak dan mencari pertolongan. Hingga, semua santri yang mendengar teriakan Kamila datang menghampirinya. Dengan menggunakan mobil ambulance, Nina dilarikan ke rumah sakit terdekat.
***
"Apa? Anak saya keguguran???" pekik Lidya, ibu dari gadis yang tengah terbaring lemah di atas ranjang pasien.
"Iya, Bu. Syukurlah pasien segera dibawa ke sini, kalau tidak bisa membahayakan nyawanya juga," jelas dokter rumah sakit yang menangani Nina.
"Astaghfirullah, sebenarnya apa yang sedang terjadi???" Lidya sangat terkejut dan sedih. Bagaimana bisa putrinya yang hamil tidak memberitahunya, dan saat ini ia malah mengambil tindakan nekat dengan rencana bunuh dirinya. Wanita itu menangis di samping tubuh putrinya yang masih tak sadarkan diri.
"Assalamu'alaikum, bagaimana keadaan Nina, Bu?" tanya seorang pemuda yang baru saja datang menghampiri Lidya.
Wanita itu menoleh ke arah pemuda berkopiah yang kini sudah berdiri di sampingnya. "Maaf, kamu siapa?" Bukannya menjawab, Lidya malah bertanya. Melihat wajah cemas dari sang pemuda membuat Lidya berpikir keras. Jangan-jangan, putrinya berpacaran lagi di dalam pesantren.
"Ohh, saya Dzulfikar, Bu. Anak dari Kyai Toha," jawab pemuda itu sembari menyatukan kedua telapak tangan di dada.
"Ooh, Gus Dzulfikar."
"Iya, Bu. Saya mewakili Abah karena beliau sedang ada pengajian di kota lain," jelas Dzulfikar lagi. Seharusnya Nina diantar oleh Husna atau Annisa, sang ustadzah muda yang bertanggung jawab atas setiap santri. Namun, karena kesibukan atau apa, keduanya tidak bisa menemani gadis pingsan itu ke rumah sakit. Setelah Dzulfikar tahu tentang hal itu, dia berinisiatif sendiri untuk memastikan kondisi Nina sebagai perwakilan dari pengurus pesantren.
Lidya mengangguk paham. "Terima kasih, Gus, karena sudah cepat membawa Nina ke rumah sakit," ucap Ibu dari Nina itu pada Dzulfikar. "Syukurlah, nyawa Nina masih bisa diselamatkan, walaupun dia harus kehilangan bayinya."
"Apa? Nina keguguran??" Dzulfikar memekik terkejut. Pemuda itu masih tidak percaya jika gadis yang dikenalnya sangat berani mengambil keputusan yang mengerikan seperti ini. 'Begitu dalamkah lukamu sehingga kau ingin melenyapkan dua nyawa sekaligus?'
Setelah beberapa jam, akhirnya Nina sadar. Lidya sang ibu tak henti-hentinya bersyukur kepada Allah dan menciumi putrinya.
"Kenapa kamu tidak berterus terang pada Mama, Nin?" tanya Lidya pada Nina sesaat setelah keadaan hati keduanya sama-sama tenang.
"Maafkan Nina, Ma. Nina takut kalau Mama akan meninggalkan Nina," jawab Nina. Kedua netranya sudah penuh dengan air mata.
"Mana mungkin seorang ibu akan meninggalkan putrinya yang sudah berusaha baik? Mama tahu kamu bersungguh-sungguh dalam penyesalanmu, tapi kenapa kamu malah memilih jalan ini??" Lidya sangat menyayangkan keputusan putrinya yang berimbas pada kehilangan nyawa calon sang cucu.
"Maafkan Nina, Ma." Nina kembali menangis. Dalam hatinya saat ini sangat menyesal. Kenapa hanya janin yang dikandungnya saja yang meninggal, sementara dia masih selamat?
"Sudahlah, yang lalu biarlah berlalu. Jangan terlalu hanyut pada kesedihan." Dzulfikar ikut menimpali percakapan Nina dan ibunya.
Nina menoleh ke arah Dzulfikar. "Ustadz, kenapa sampean di sini??" tanya Nina bingung.
"Oh, Gus Dzulfikar datang karena diperintah Kyai Toha, Nin. Beliau sudah di sini, menemani Mama sejak beberapa jam yang lalu." Lidya menanggapi kebingungan putrinya.
"Benarkah? Terima kasih, Ustadz," ucap Nina lagi sembari tersenyum.
Dari perbincangan mereka, Lidya memutuskan untuk meminta izin pada sang anak kyai untuk membawa pulang putrinya. Ya, Lidya takut jika Nina berulah lagi. Wainta itu akan merawat dan menjaga putrinya di rumah saja. Dzulfikar setuju saja dengan permintaan itu, karena menurutnya akan lebih baik jika Nina di rumah dari pada di asrama. Pasti para teman asramanya akan semakin mempertanyakan tindakan nekatnya.
***
Ramadhan telah berlalu. Gema takbir, tahlil dan tahmid pun sorak-sorai dikumandangkan.
Malam satu Syawal, semua hati berbahagia karena merayakan kemenangan. Setelah sebulan penuh berpuasa, kini saatnya bersyukur atas nikmat kesucian yang telah digapai dengan penuh suka cita.
Namun, berbeda dengan Dzulfikar. Pemuda itu seperti kehilangan separuh hatinya, padahal tanggal pernikahannya dengan calon istri sudah ditetapkan. Entah kenapa, semakin ia berusaha melupakan wajah manis Nina, ingatannya semakin kuat saja. Seperti sudah terhipnotis, pemuda itu selalu melihat Nina dalam mimpinya.
Berulang kali ustadz muda itu melakukan sholat Istikharah untuk kembali menetapkan hatinya pada gadis pilihan sang ayah. Namun, wajah Nina-lah yang semakin jelas menghiasi hatinya.
"Abi, ada yang ingin ana sampaikan," ucap Dzulfikar pada sang ayah.
"Apa itu, Dzul? Hari ini baru tanggal satu Syawal, pernikahanmu masih lima belas hari lagi," jawab sang ayah diselingi tawa renyah. Menebak apa yang sedang dipikirkan putranya.
Dzulfikar tertunduk sesaat, kemudian kembali menatap Kyai Toha. "Bukan itu, Bi." Dzulfikar masih ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
"Lalu apa?" tanya Kyai Toha lagi. Saat ini pandangan keduanya saling bertemu.
Dzulfikar memantapkan hatinya. "Ana ingin membatalkan pernikahan ini."
"Apa??" Kyai Toha sangat terkejut mendengar penuturan putranya. Bagaimana mungkin rencana pernikahan yang sudah dirancang beberapa tahun yang lalu akan dibatalkan?
"Maafkan Dzul, Bi. Hati Dzul memilih gadis lain."
Kyai Toha benar-benar tidak habis pikir dengan pengakuan putranya. Pria paruh baya itu menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan. "Lalu, siapa gadis yang kamu maksud?"
Dzulfikar semakin menundukkan pandangan. "Gadis itu bernama Nina."
"Nina? Santri putri yang hamil itu??" Sang ibu yang berjalan dari arah dapur menyahuti pengakuan Dzulfikar.
Pemuda itu semakin menunduk ragu. "Iya, Ummi."
"Kamu ingin melepas Husna yang shalehah demi mendapatkan Nina? Nggak salah, Dzul???" Istri Kyai Toha mendekte putranya. Ibu mana yang tidak ingin melihat putranya mendapatkan istri yang terbaik di antara yang baik? Begitu juga Bu Fatiyah. Istri dari Kyai Toha itu bersikeras menolak keputusan Dzulfikar.
"Jangan bicara seperti itu, Ummi," sahut Kyai Toha pada sang istri. Berbeda dari Bu Fatiyah, tampaknya sang Kyai lebih berpikiran terbuka.
"Lalu bagaimana dengan Husna, Bi? Ummi tidak tega menyakiti hati gadis shalehah itu."
Kyai Toha tertegun sesaat seperti sedang memikirkan sesuatu. Pria bersurban itu menoleh ke arah putranya. "Dzul, apa kamu yakin? Sudah beristikharah?" tanyanya pada Dzulfikar yang masih menundukkan kepala.
"Iya, Abi. Dzul sudah sholat Istikharah berulang kali," jawabnya.
"Baiklah, kalau begitu kita harus menyelesaikan masalahmu dengan Husna dulu. Dan setelah itu, kita akan melamar Nina." Dengan sangat terpaksa, Kyai Toha menuruti keinginan putranya. Bagaimanapun, Kyai Toha juga ingin anaknya bahagia.
Tentang Nina yang pernah melakukan zina hingga dia hamil? Allah saja Maha Pengampun bagi hambanya, siapalah kita yang berhak memandang hina seorang hamba??
Husna, gadis shalehah itu sangat terkejut saat Kyai Toha bersama Dzulfikar datang ke rumahnya untuk membatalkan pernikahan. Gadis itu menangis tersedu-sedu di pangkuan sang ibu karena merasa sangat kecewa. Namun, Husna adalah gadis yang kuat. Walaupun hatinya sangat terluka, tapi lambat laun ia bisa berlapang dada.
***
Sebulan berlalu.
Di rumah Lidya. Nina tampak sedang mengaji di dalam kamar. Gadis itu sudah sangat berubah dari Nina dulu yang terkenal tomboi dan bergaul bebas, susah diatur dan juga pemarah. Saat ini, Nina selalu di rumah dan rajin beribadah. Cukuplah satu pelajaran berharga yang mampu mengubah hidupnya.
Pintu diketuk, dan setelahnya terucap salam. Lidya yang sedang memasak di dapur segera menuju pintu dan membukanya. Wanita itu sangat terkejut setelah mengetahui tamu yang datang adalah Kyai Toha bersama dengan istri dan putranya.
"Mari, silakan masuk, Pak Yai." Lidya mempersilakan ketiga tamu itu duduk di sofa, kemudian kembali ke dapur untuk membuatkan hidangan, dan dengan cepat wanita itu kembali lagi dengan nampan berisi beberapa gelas minuman lengkap dengan camilan.
"Maaf, Bu Lidya. Jika kedatangan kami sangat mengejutkan," ucap Kyai Toha membuka pembicaraan.
"Nggeh, tidak apa-apa, Yai. Tapi, kalau boleh tahu, sebenarnya ada apa?" tanya Lidya sangat penasaran. Wanita itu takut jika selama Nina di pesantren dulu ada sangkutan atau kesalahan yang harus dibayar.
Kyai Toha tersenyum, begitu juga dengan istrinya. Sementara Dzulfikar tampak menundukkan pandangan tanpa berkata-kata. Mereka dengan sangat jelas bisa mendengar suara Nina yang sedang mengaji di dalam kamar.
"Selain kami ingin bertemu sampean, kami juga ingin bertemu dengan Nina," ucap Kyai Toha lagi yang membuat Lidya semakin penasaran. Sebenarnya ada apa ini?
"Baiklah, Yai. Saya panggilkan Nina dulu." Wanita itu bangkit dari duduk menuju kamar sang putri yang masih terus mengaji.
Tak sampai lima menit, Lidya berjalan beriringan dengan putrinya kembali ke ruang tamu.
Nina terkejut melihat tamu yang kata ibunya ingin menemuinya. Gadis itu duduk di samping sang ibu sembari tersenyum ke arah Kyai Toha dan istrinya. Jangan tanya Dzulfikar. Pemuda berkopiah itu semakin tertunduk malu. Kenapa harus menunduk bukanlah dia yang ingin melamar?
"Baiklah, karena kita sudah di sini. Sudah di hadapan Nina dan ibunya, maka katakanlah," titah Kyai Toha pada putranya yang langsung mendongakkan wajah, menatap bingung pada sang ayah. "Abi?"
"Kenapa? Jadi, enggak?" bisik Kyai Toha pada Dzulfikar sambil terkekeh menahan tawa. Ternyata, sang kyai itu bisa juga menjaili putranya.
Dzulfikar menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan.
Pemuda itu menoleh ke arah Lidya, kemudian berganti pada Nina. "Jadi, kedatangan kami ke sini ...." Kalimat Dzulfikar terhenti yang membuat Nina dan ibunya semakin penasaran.
"Ana mau meminang anti untuk menjadi istri ana." Dzulfikar mengatakan kalimat itu dengan penuh keyakinan dan tatapannya tajam menatap gadis yang ada di hadapannya.
"Apa??" Nina memekik tak percaya. Bagaimana mungkin sang ustadz muda itu sampai bisa melamarnya? Apa mungkin pemuda itu sedang sakit, atau apa??
"Ana serius. Maukah anti jadi istri ana??" tanyanya lagi yang masih belum mendapat respon apapun dari Nina.
Sang ibu pun begitu. Saking terkejutnya, wanita itu melebarkan matanya dengan sempurna. "Apa ini nyata, Yai?" tanyanya.
Sang Kyai mengangguk pelan. "Benar. Kami datang ke sini memang dengan niat melamar Nina untuk menjadi istri putra Kami, Dzulfikar."
"Tapi? Bukankah Yai dan Gus Dzulfikar tahu tentang masa lalu Nina??" tanya Lidya lagi ingin memastikan.
"Iya, kami tahu, Bu. Semoga Nina benar-benar sudah bertaubat dan menjadi wanita yang lebih baik lagi." Senyum mengembang di wajah Kyai Toha yang membuat Lidya berulang kali melafalkan syukur tak terhingga.
Dia tidak menyangka jika putrinya yang hina bisa dipersunting oleh pemuda berakhlak mulia.
"Bagaimana, Nina? Mau tidak??" tanya Bu Fatiyah, istri dari Kyai Toha dengan senyuman di wajahnya. Pada awalnya wanita ini memang menolak keputusan sang putra, tapi bagaimanapun, kebahagiaan putranyalah yang lebih utama.
Nina bingung, khawatir, dan ragu. Ia masih terdiam. Memandang wajah tampan pemuda berkopiah yang datang melamarnya membuat hati Nina tergetar juga. Ia tidak pernah membayangkan bahwa ustadz muda yang menjadi idola hampir seluruh santri putri itu datang melamarnya.
"Bagaimana, Nina?" Kali ini Kyai Toha yang bertanya. Semua orang sangat antusias menunggu jawaban dari Nina.
Gadis itu menunduk dalam-dalam. Bismillah, ia ingin memutuskan. "Baiklah, saya bersedia."
TAMAT