Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,078
Persimpangan di Stasiun Kereta
Slice of Life

Suara pengumuman singgahnya kereta telah berkumandang entah ke berapa kalinya. Bau menyengat, baik itu wewangian dengan beragam aroma hingga peluh akibat lautan manusia yang saling berdesakan itu menusuk ke dalam hidung. Raut kantuk, bahagia, sedih, hingga marah terpaut pada setiap wajah yang berlalu-lalang. 

Seorang perempuan dengan tatapan yang terfokus pada satu titik di depannya itu telah berdiri berjam-jam di sana. Tatapan iba hingga aneh tak pernah dilewatkan setiap orang yang melaluinya. Dia bukan pengemis seperti beberapa orang yang diciduk oleh petugas. Dia juga seorang penumpang yang telah memiliki tujuannya. Namun, tiket itu hanya menggantung dalam genggaman tangannya.

Bersama setiap pergantian kereta yang singgah di sana, pikirannya terus membuat keputusan yang berbeda. Satu langkah ke depan seperti akan menjadi pilihan terpenting dalam hidupnya. Satu keputusan yang salah akan memberikan sesuatu yang sangat buruk sepanjang hidupnya.

Ia sangat takut dengan semua pilihannya sendiri. Ia bisa mengekspektasikan masa depannya, bahkan menahan rasa sakitnya untuk masa lalu. Ia tahu semua resiko kedua pilihannya. Tetapi, baik ke depan atau pun kembali, langkah itu terasa sangat berat. Seperti sebuah bumi yang dipasrahkan pada seonggok manusia biasa. Jika tak menyakiti dirinya, itu berarti akan menyakiti banyak orang lain. 

“Hai,” Sebuah sapaan itu meruntuhkan semua pergulatan yang ada dalam pikiran perempuan itu.

Perempuan itu menoleh ke arah kanannya, senyuman lelaki itu seolah merubah seluruh fokusnya.

Harusnya ia tak mengindahkannya, harusnya ia tak menoleh, harusnya ia tak membiarkan matanya berfokus pada mata itu, harusnya … harusnya … dan harusnya ….

“Kau mau pergi ke mana ?” Tanya lelaki itu.

“Aku ?” Perempuan itu menunjuk dirinya sendiri.

Anggukan antusias itu membuat perempuan itu merasa sungkan jika tak menjawabnya.

“Jakarta.”

“Kau orang Jakarta atau … “ Lelaki itu menggantungkan ungkapannya.

“Aku mau merantau ke sana.”

Anggukan berkali-kali lelaki itu mengakhiri percakapan di antara keduanya. Hening itu tak bisa dihindari. Dua orang asing itu mungkin saling merasakan rasa aneh di antara keduanya. Namun, semua kembali pada mereka hanyalah orang yang tengah menunggu kedatangan kereta.

“Kau tahu, keretaku masih datang pukul 12 malam nanti. Masih kurang 6 jam lagi, konyol bukan ?”

Sepertinya lelaki itu tak suka keheningan diantara mereka. Perasaan terganggu yang -menurutnya- terlihat cukup jelas di wajah perempuan itu sepertinya tak dianggap sama sekali, atau bahkan lelaki itu tak dapat menilai suasana orang lain dari wajahnya.

“Kau tidak sendirian.” Suara pelan itu menyahuti ujaran sang lelaki itu.

“Maksudmu ?”

Hembusan napas itu sepertinya pertanda bahwa sang perempuan benar-benar merasa kesal dan tak ingin mengulangi pernyataannya lagi.

“Tiketku juga jam 12 malam.” Jelas perempuan itu singkat.

“Kupikir… sepertinya aku bisa menilai orang,”

Ujaran lelaki itu membuat sang perempuan menoleh heran. Ia kira ia sudah merasa cukup jelas bahwa pembicaraan di antara mereka itu tak diinginkan oleh sang perempuan. Bagaimana bisa ia dengan percaya dirinya mengatakan hal itu.

“Aku bisa menilai ketololan orang dari raut wajahnya. Itu terbukti sekarang.” Lanjut pria itu.

“Tunggu, apa kau hobi sekali mengatai orang asing dengan sebutan tolol ?” Perempuan itu mengernyitkan dahinya tak suka.

“Tidak semua orang asing, tetapi orang gila mana yang menunggu keretanya yang datang 6 jam sebelum keberangkatannya. Kurasa itu bukan sebuah kebodohan, kata tolol sepertinnya lebih tepat untuk menggambarkannya.” Lelaki itu terkekeh di akhir kalimatnya.

Aneh, kata itu satu-satunya yang terpatri dalam pikiran perempuan itu. Ia tahu kata-kata lelaki itu tak sepenuhnya salah. Tetapi mengatai seseorang yang baru ditemuinya pertama kali di sebuah stasiun kereta dengan kata tolol, bukankah itu terlalu aneh.

“Kau tahu,” Lelaki itu kembali berujar.

Setelah tak mendapat respons apapun dari seseorang di sebelahnya, lelaki itu meneruskan kalimatnya.

“Aku sedang menunggu seseorang yang sangat penting dalam hidupku, sebelum kepergianku.” Nadanya merendah di bagian akhir kalimatnya.

“Kau akan menetap di Jakarta ?” Sebuah pertanyaan dari perempuan itu cukup membuat sang lelaki kembali bersemangat akan ceritanya.

“Benar, aku ingin lingkungan yang baru. Orang-orang di sini tak lagi memandangku dengan cara yang sama, bahkan seseorang yang paling berarti dalam hidupku. Dia pernah mengatakan aku adalah dunianya, aku adalah satu-satunya orang yang mencintainya, hanya aku yang selalu ada untuknya.”

“Dulu ? Sekarang dia tak melakukannya lagi ?”

“Dia sudah menemukan dunia barunya.” Senyum getir itu terlihat sangat jelas di raut wajah lelaki itu.

“Selingkuh ?”

“Dia hanya tak mendapat percikan itu lagi ketika bersamaku. Dan orang lain memberikan itu padanya.”

Perempuan itu mengangkat sedikit bibirnya.

“Kenapa orang-orang semudah itu jatuh cinta.”

“Kenapa ? Kau tak percaya adanya cinta ?”

“Bukan,”

“Lalu ?”

Setelah sekian detik melakukan pertimbangan dalam inernya sendiri, perempuan itu pun akhirnya memutuskan.

“Seseorang yang kusukai, dia bahkan tak pernah melihatku. Berkali-kali ia jatuh cinta pada orang lain, tapi tak pernah untukku.” Air mata itu sedikit menumpuk di pelupuk mata perempuan itu.

“Kau pernah mengungkapkan perasaanmu ?”

“Satu kali.”

“Dan dia masih tak pernah melihatmu ?”

Anggukan lemah itu sungguh membuat perempuan itu terlihat semakin buruk. Bukan buruk dalam artian yang lain, hanya saja ia terlihat begitu menyedihkan.

“Mungkin ia tak ingin merusak hubungan baik di antara kalian.” Hibur sang lelaki.

“Kuharap begitu.” Tetapi senyuman aneh di wajahnya terlihat mengatakan sesuatu yang sebaliknya.

“Tenang saja, ia bukan satu-satunya lelaki di dunia ini. Kau bisa menemukan seseorang yang lebih baik darinya.”

“Omong kosong. Semua orang mengatakan itu dan aku tak pernah menemukannya.”

“Apa kau perlu petuah dariku ?”

Tatapan yang menggoda itu dibalas dengan desahan kesal dari seseorang di sampingnya.

“Berikan itu pada seseorang yang sedang menunggu dengan ketidakpastian di stasiun ini.”

“Benar, kita berdua seperti orang idiot.” Kekehan itu keluar bersamaan dengan sang lelaki melipat kedua tangannya di depan dada.

Tanpa aba-aba, keduanya menghela napas besar secara bersamaan. Yang mana hal itu membuat keduanya saling menatap dan menertawakan hal itu bersama. Dua orang yang konyol karena cinta.

“Apa yang akan kau lakukan jika ia tak datang ?” Suasana di antara keduanya kini sudah cukup cair, rasa canggung itu seperti sirna begitu saja. Aneh memang.

“Merelakannya. Itu adalah satu-satunya pilihanku.”

“Ku harap aku bisa melakukan itu juga.”

“Mungkin itu akan sulit nanti, tetapi manusia itu sangat dinamis, melupakan suatu hal adalah keahlian alami manusia.”

Setelah itu, percakapan keduanya mengalir dengan sangat menyenangkan. Sesekali tawa terselip di antara keanehan yang terucap dari mulut mereka. Pertemuan ini mungkin tak pernah ada dalam perhitungan perempuan itu, tetapi entah kenapa ia merasa nyaman berada di sini.

“Tunggu, setelah berjam-jam kita mengobrol, aku bru ingat bahwa kita belum berkenalan. Ini sedikit terasa canggung, tapi tak ada salahnya kita berkenalan secara resmi, bukan ? Aku Sena.”

“Aku Jeira.”

Tepat diakhir ungkapan perempuan bernama Jeira itu, pengumuman kedatangan keretanya pun memenuhi stasiun yang entah sejak kapan menjadi sangat sepi itu. Obrolan yang tak pernah disangkanya itu tanpa sadar membuat pilihannya mantap begitu saja. Ketakutannya akan penyesalan kini sirna seperti debu yang tertiup angin. Padahal sebelumnya sangat berat ia singkirkan.

“Kau pergi ?” Tanya Sena menawarkan telapak tangannya ke arah Jeira.

“Bagaimana dengan orang yang kau tunggu ?” Tanya balik Jeira.

“Setelah 6 jam menunggu dan ia tak datang, apa yang harus kuharapkan lagi pada seseorang yang tak mencintaiku lagi ?” Sena mengendikkan bahunya.

Dengan mantap Jeira tersenyum dan menepis tangan di depannya itu. Kemudian ia langkahkan kakinya dengan penuh keyakinan. Tarikan napas yang cukup dalam ia buat bertepatan dengan pintu kereta di depannya itu terbuka. Dengan langkah pasti ia memasuki kereta itu.

Selamat tinggal masa lalu, kata itu terucap pasti dalam hatinya.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)