Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,065
Pelukis Jalanan
Slice of Life

Warna cokelat itu kini tergores di atas warna lain yang telah dibubuhkan lebih dulu. Waktu demi waktu, kanvas itu tak memiliki warna putihnya lagi. Satu seruputan terakhir kopinya itu belum menjadi akhir dari lukisan yang dibangun oleh seorang pria berambut sedikit gondrong itu. Puntung rokok kesekiannya itu kini juga telah ia geletakkan di sampingnya.

Dipandangnya lukisan itu, meskipun hanyalah sebuah lukisan rumah yang sederhana, sorot kebahagiaan hadir dalam matanya. Senyum tipisnya itu terukir secara tak sengaja. Bersama dengan imajinasi yang masih berkecamuk dalam otaknya, ia bakarnya lagi puntung rokok lain yang belum habis terbakar hingga filternya. Sementara tangannya yang lain kini mulai mengambil kuasnya, mencoret-coret kembali lukisannya.

Di tepi jalan yang tak terlalu ramai itu, Beberapa orang berhenti untuk melihat lukisannya. Tak semua orang memberikan kata yang menyenangkan untuk anak dari imajinasinya itu. Meskipun beberapa pujian juga terlontar dari beberapa orang, hinaan menjadi kata yang paling membekas dalam hatinya. Bukannya ia peduli akan hal itu, namun dengungannya cukup memberikan efek dalam dunianya. Lukisan rumahnya itu kini dipandangnya lagi.

“Rumahmu terlalu gelap,” ujar seorang pria asing yang sudah cukup lama berhenti dan memandangi lukisannya.

Pelukis itu awalnya tak peduli, namun ketika mendengar suara yang tak asing, ia pun menoleh. Cukup mengejutkan bahwa orang yang berdiri di belakangnya itu adalah Ardhana, seorang seniman terkemuka yang lukisannya dijadikan perbincangan di kalangan penikmat maupun pelaku seni. Tak disangka pelukis semewah Ardhana itu berlalu lalang di jalanan, terlebih memandangi lukisan milik pelukis jalanan sepertinya yang bahkan tak dapat membeli kopi pinggir jalan dari hasil lukisannya.

“Berhenti membubuhkan cat cokelat dan hitam dalam lukisan anda, warna itu teralalu gelap dan tak menarik mata pejalan kaki,” komentar Ardhana yang kini berjongkok.

“Tetapi ini lukisan saya,” singkat Pelukis jalanan itu.

“Untuk apa kau melukis seperti itu jika kau bahkan tak bisa membeli sebatang rokok lagi?”

“Jika saya melukis apa yang mereka mau, itu bukan lagi lukisan saya.”

“Kau yang membeli kanvas, kau yang membeli catmu, dan kau yang menggoreskannya. Lantas, dari mana itu bukan lukisanmu?”

“Apa yang saya lahirkan dari imajinasi saya adalah karya saya, jika anda tidak sependapat dengan saya, anda bisa mengabaikan lukisan saya, atau bahkan mencelanya juga tak apa.”

“Kau kenal aku, bukan?" Nada Ardhana sedikit kesal.

“Tentu. Pelukis dengan karya yang paling diinginkan oleh banyak penikmat seni, melukis berdasarkan apa yang orang-orang kaya itu mau, sangat tidak jujur."

Mendengar itu, Ardhana mulai naik pitam. Egonya seperti disentil bahkan oleh seorang pelukis yang tak bisa hidup dari karyanya sendiri.

“Asal anda tahu, idealis anda itu tak akan berarti apapun. Saya dapat membantu anda untuk mendapatkan uang dari karya anda. Dilihat dari pakaian anda, anda ini pasti kurang mampu, kan? Saya bisa membantu anda untuk mendapatkan uang, untuk membeli rokok, untuk membeli kopi lagi”

“Saya hanya ingin karya saya jujur.”

Sejujurnya, pelukis jalanan itu mulai muak. Ia sedikit kesal dengan perkataan pria di sampingnya itu. Kuas yang sedari tadi ia pegang saja, kini ia mulai mencolekkannya lagi ke paletnya. Kemudian goresan lain kembali ia torehkan sebagai usahanya untuk mengacuhkan Ardhana.

Namun, tiba-tiba kegiatan pelukis jalanan itu terhenti seketika. Sebuah tangan yang menggenggam kuas itu menorehkan warna lain dalam lukisannya.

“Apa yang anda lakukan?” tanya pelukis jalanan itu tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

“Aku sedang memberi bumbu untuk lukisanmu agar orang lain tertarik pada lukisanmu,” jawab Ardhana dengan enteng.

“Tenang saja, aku ini pelukis berpengalaman, orang-orang pasti melirik lukisanmu setelah ini. Lihat saja nanti,” lanjut Ardhana.

“Apa kau tahu yang kau lakukan ini sangat tidak sopan?” tanya pelukis jalanan itu.

“Niatku baik, kau tak perlu merasa buruk.”

“Yang benar saja.” Pelukis jalanan itu membanting kuasnya.

Tetapi, Ardhana bahkan tak pedulikan hal itu sama sekali. Ia membubuhkan beberapa warna yang lebih terang sesuai dengan apa yang dipelajarinya. Orang-orang cenderung menyukai warna yang terang untuk sebuah rumah, karena rumah harus memiliki simbol kehangatan dan cerah. Rumah itu penuh kebahagiaan dan tawa hangat dari dalamnya. Rumah itu harus besar dan melindungi orang-orang di dalamnya.

Setelah sekian goresan itu menempel di lukisan sang pelukis jalanan, kini dua tatapan yang berbeda 180 derajat mengarah ke lukisan rumah itu. Ardhana tersenyum bangga melihat perbaikan yang ia lakukan terhadap lukisan rumah itu. Sementara sang pelukis jalanan, ia memandang lukisannya dengan sedih. Lukisan itu tak menjadi lukisannya lagi. Campur tangan orang lain tak membuat rasa lukisan itu seperti sebelumnya.

Itu adalah hari ketiga dalam menyelesaikan lukisan itu, keringat lelah sebelumnya seketika lenyap bersama hilangnya jati diri lukisannya. Rasanya tak sama lagi kala memandang lukisannya, warna terang di dalam lukisan itu seolah memberikan senyum palsu yang jauh dari kejujuran. Di dalamnya terdapat jutaan hinaan yang hanya bisa dipandang oleh pelukis jalanan itu.

Tak lama, seorang wanita berhenti tepat di belakang mereka. Wanita itu memandang penuh puja pada lukisan rumah itu.

“Apa lukisan ini di jual ?” tanya perempuan itu dengan tatapan jatuh cinta pada pandangan pertamanya.

"TIDAK!"

"TENTU!"

Dua pelukis itu menjawabnya secara bersamaan dengan nada yang berbeda. Raut dari wajah mereka pun menunjukkan bahwa mereka tak suka dengan apa yang keluar dari masing-masing mulut orang di sampingnya.

”Jadi?” perempuan calon pembeli itu menatap bingung dua pelukis itu, ia juga merasakan hawa dingin yang menyebar di antara dua pelukis itu.

“Jika anda berminat dengan lukisan ini, tawarlah!” ujar Ardhana dengan santainya.

“Apa saya boleh membawa pulang lukisan ini dengan harga 7 juta? Apakah itu terlalu murah?”

“Anda tidak perlu membayar, bawa pulang saja lukisan itu,” potong sang pelukis jalanan itu.

“Tidak, saya harus membayar berapapun itu, karena lukisan ini tidak dibuat dengan instan dan saya juga melihat penuh akan perjuangan di dalamnya.”

Itu adalah kanvas terakhirnya, tak ada uang lagi dalam sakunya yang bisa ia gunakan untuk membeli kanvas baru, dan bahkan cat baru. Yang lebih buruk lagi, bahkan untuk membeli sesuap makan pun kini ia juga tak bisa. Mungkin ini adalah hari terakhirnya sebagai seorang pelukis. Atau mungkin, hari terakhirnya pula menapakkan kakinya di bumi ini.

Tetapi, ini semua bukan soal uang. Tak peduli orang mengatakan idealis bodoh atau apa pun itu, ini adalah soal rumah yang ia bangun dengan catnya itu. Rumah yang harusnya ia jaga jati dirinya, ini adalah kegagalan besarnya. Meskipun ia telah berhasil membangun rumahnya, untuk apa jika semua usahanya itu berakhir sia-sia karena campur tangan orang lain.

“Terima kasih atas apresiasi anda, tetapi lukisan itu telah kehilangan kejujurannya, kehilangan jati dirinya, dan bahkan kini ia tak lagi pantas untuk dimiliki oleh seseorang. Tempat sampah adalah tempat yang cocok untuknya.”



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)