Masukan nama pengguna
Dursin telah berdusta, hingga menyebabkan anaknya terserang penyakit aneh.
Dursin pulang dari sawah dengan bertelanjang dada. Kepada isterinya, lelaki berumur 35 tahun itu mengaku usai membantu memanen mangga di kebun Pak Karseno. Ia mendapat upah beberapa mangga yang ia bungkus dengan kaos lusuhnya. Isteri Dursin menghitung ada lima belas mangga, tetapi masih mentah semua.
“Kamu ambil sepuluh. Simpan di gentong beras, biar cepat matang. Bungkus plastik yang lima, akan kubawa ke Ustaz Zakaria,” kata Dursin.
Bakda isya, Dursin menuju rumah Ustaz Zakaria. Ia mengenakan kemeja batik coklat dan celana panjang hitam, pakaian terbaik yang ia punya. Tangan kanannya menenteng plastik hitam berisi lima mangga mentah.
Duduk di ruang tamu rumah Ustaz Zakaria, dada Dursin berdegupan. Berdoa dalam hati, sebisanya. Ustaz Zakaria muncul mengenakan baju koko putih, sarung merah tua dan kepalanya tanpa peci.
Dursin gugup. Tangannya gemetar.
“Ada apa, Pak Dursin? Seperti gelisah begitu?”
“Begini, Pak Ustaz .....” Dursin menyentuh ujung hidungnya. “Saya mohon bantuan Pak Ustaz.”
“Bantuan apa, Pak Dursin? Kalau saya mampu, insya Allah, saya akan bantu.”
“Begini, Pak Ustaz .... Si Arif, anak saya, sepatunya rusak. Saya kasihan melihatnya. Kalau boleh, saya bermaksud pinjam uang pada Pak Ustaz.”
“Oh itu? Pak Dursin butuh berapa?”
“Ng ... dua ratus ribu, Pak Ustaz.”
Ustaz Zakaria tersenyum.
“Kapan Pak Dursin akan mengembalikannya?”
“Ng ... satu bulan ke depan, Pak Ustaz.”
“Insya Allah ada, Pak Dursin. Tunggu sebentar ya, Pak?”
Ustaz Zakaria yang masih muda itu beranjak, masuk ke ruangan lain. Beberapa menit kemudian ia muncul lagi menggenggam lembaran uang berwarna merah, kemudian menyerahkan uang itu pada Dursin seraya memberi wejangan.
“Pak Dursin harus janji akan selalu bersikap jujur. Jangan sesekali berdusta, kecuali berdusta untuk hal-hal tertentu yang dibolehkan oleh agama. Perbuatan dusta akan membendung rezeki kita.”
“Insya Allah, Pak Ustaz,” Dursin mengangguk-angguk. Ia sudah mengetahui hal itu. Siapa saja yang bertamu atau bertemu dengan Ustaz Zakaria, selalu mendapat bingkisan kata-kata bijak.
Dursin menaruh bungkusan plastik hitam ke meja tamu. Sekadar oleh-oleh untuk uztaz yang usianya lebih muda darinya itu. Ustaz Zakaria menerimanya dan setelah mengucapkan terima kasih, ustaz yang bulan depan akan berangkat umrah itu mengulang lagi pesannya. “Jangan lupa, Pak Dursin. Jangan sesekali berdusta.”
Dursin berdiri, membungkukkan badan dan menjabat tangan ustaz itu, kemudian mohon diri. Langkahnya ringan, pikiran tenang dan wajahnya berseri-seri. Di saku kemeja batiknya, terselip dua lembar uang warna merah. Besok siang, ia akan mengajak Arif, anaknya, membeli sepatu baru di pasar.
***
Dursin tersenyum melihat Arif berangkat ke sekolah mengenakan sepatu baru. Sepatu berharga seratus lima puluh ribu rupiah. Masih ada sisa lima puluh ribu rupiah. Isteri Dursin menyimpan uang itu, untuk jaga-jaga.
Hari ini Dursin tidak ke sawah. Tidak ada garapan. Belum ada orang yang meminta tenaganya untuk menggarap sawah, ladang, atau kerjaan lainnya. Dursin duduk termangu di bangku bambu di bawah pohon rambutan di belakang rumahnya.
Isterinya muncul dari pintu belakang rumah. Wajahnya tegang.
“Arif kecelakaan, Pak.”
Dursin terhenyak. Beranjak dari kursi bambu.
“Kecelakaan apa? Di mana Arif sekarang?”
“Di kamar.”
Dursin mengikuti langkah isterinya menuju kamar Arif. Di sana, Arif berbaring di ranjang. Perban menempel di pelipis kirinya. Di tepi ranjang, duduk Pak Santoso, guru kelas Arif.
“Apa yang terjadi, Pak?” Dursin duduk di tepi ranjang, dekat kepala Arif. Mengelus kepala Arif. Anak itu tersedu-sedu.
“Arif terpeleset di toilet, Pak Dursin. Kepalanya membentur bak air. Kami sudah membawanya ke puskesmas. Kata dokter hanya luka luar saja, Pak,” kata Pak Santoso.
“Syukurlah,” Dursin menghela napas lega.
“Baiklah, Pak. Saya permisi, hendak kembali ke sekolah,” Pak Santoso berdiri dan menjabat tangan Dursin.
“Maaf, Pak,” ujar Dursin gugup. “Berapa saya harus mengganti biaya puskesmas?”
Pak Santoso tersenyum. “Sudah ditanggung pihak sekolah, Pak.”
Dursin lega. Sebenarnya ia hanya basa-basi saja bertanya tentang biaya itu. Ketika guru itu pergi, Dursin mencoba menghibur anaknya. Memakai sepatu baru kadang begitu, suka ada hal-hal mengejutkan.
“Kaki kamu belum terbiasa pakai sepatu baru dan mahal. Biasanya, kan, kamu pakai sepatu bekas,” kata Dursin.
Arif tersenyum. Dursin meminta anaknya untuk beristirahat.
Pukul satu siang Dursin membangunkan Arif. Setelah itu mereka makan siang bersama dengan lauk ikan asin dan sambal terasi. Menu tiap hari selama bertahun-tahun di rumah itu.
Malam datang. Saat menonton sinetron di televisi, Arif mendadak muntah-muntah. Kepalanya pusing, wajahnya pucat. Dursin bergegas membawa Arif ke rumah Bu Zaenab, bidan desa.
Bu Zaenab memeriksa Arif dan bertanya, jajan apa tadi di sekolah? Arif menggeleng dan mengatakan tidak pernah jajan di sekolah. Pengakuan jujur, karena Dursin memang tak pernah memberi uang saku pada anak tunggalnya itu.
“Di rumah makan apa, Pak?” Bu Zaenab menoleh pada Dursin.
Malu-malu, Dursin mengatakan menu istimewa di rumahnya.
“Mungkin ikan asin itu mengandung pengawet, Pak. Biasanya mengandung formalin,” kata Bu Zaenab.
“Tapi, mengapa saya tidak muntah?”
“Daya tahan tubuh anak dan orang dewasa berbeda, Pak Dursin.”
Bu Zaenab memberikan obat untuk dibawa pulang dan berpesan, bila tiga hari ke depan tidak ada perubahan, Arif harus dibawa ke dokter.
“Berapa, Bu?” Dursin merogoh saku celana panjangnya.
Bu Zaenab tersenyum.
“Bawa saja, Pak.”
Setelah meminum obat, Arif dapat tidur nyenyak. Dursin meminta isterinya untuk utang telur ayam di warung Hajah Bandiah. Untuk sementara jangan menghidangkan ikan asin untuk Arif.
Selama tiga hari, Arif makan telur dadar. Dursin gembira melihat anaknya makan dengan lahap. Tetapi badan Arif masih panas. Isterinya meminta Dursin membawa Arif ke dokter, sesuai pesan Bu Zaenab.
Tentu saja Dursin berdalih, sebentar lagi Arif akan baikan. Ke dokter perlu biaya. Dursin tak punya uang. Tetapi isterinya memaksa. Dursin mengalah. Ia meminjam motor tetangga dan membawa anaknya ke dokter Herman. Sebelum ke dokter, Dursin mampir ke rumah Haji Jaelani, pinjam uang dua ratus ribu.
Dokter Herman meminta Dursin membawa Arif ke laboratorium untuk mengecek darah anaknya. Untuk mengetahui kemungkinan terkena demam berdarah. Dursin berdalih, tak ada bercak merah pada tubuh anaknya, mustahil kena demam berdarah.
Dokter Herman tersenyum dan menjelaskan bahwa, bercak merah di tubuh bukan tanda mutlak gejala demam berdarah. Harus mengecek darah ke laborat untuk mendapatkan hasil yang akurat.
Dursin mengalah, besok pagi ia akan membawa Arif ke laboratorium di puskesmas.
“Berapa, Dok?” tanya Dursin merogoh saku celana.
“Besok saja, kalau saya sudah lihat hasil dari laborat,” sahut Dokter Herman.
Keesokan harinya, Dursin membawa Arif ke laborat dan menyerahkan hasilnya pada Dokter Herman. Dokter Herman membaca lembar kertas dari laborat dan ia mengernyitkan dahi.
“Aneh. Menurut data dari laborat, semuanya normal. Tak ada penyakit di tubuh anak anda, Pak Dursin.”
“Lantas bagaimana, Dok?”
“Begini saja. Saya akan memberikan suplemen vitamin untuk anak anda. Semoga Nak Arif lekas sembuh.”
“Saya ikut apa kata dokter saja,” Dursin merogoh saku celana. “Berapa, Dok?”
“Bawa saja, Pak Dursin.”
“Oh, terima kasih, Dok.” Dursin mencium tangan Dokter Herman.
Sudah seminggu tubuh Arif panas dan tak masuk sekolah. Sudah banyak tetangga yang mendoakan agar Arif lekas sembuh. Tetapi mengapa doa mereka belum terkabul?
***
Suatu pagi, isteri Dursin mengatakan bila beras sudah hampir habis dan mangga yang disimpan di gentong penyimpanan beras sudah matang. Dursin tertegun.
“Masih sepuluh?” tanya Dursin.
“Tinggal lima, Pak. Yang lima sudah aku bagikan ke tetangga.”
“Cepat, kamu bungkus lima mangga itu.”
“Untuk apa, Pak?”
“Sudah, bungkus saja.”
Dursin masuk kamar. Berganti pakaian. Ia mengenakan kemeja batik coklat dan celana panjang hitam. Pakaian terbaik yang ia punya. Sementara isterinya membungkus lima mangga yang telah matang ke dalam plastik hitam. Dursin bergegas ke luar rumah membawa bungkusan itu.
Dursin menuju rumah Pak Karseno. Ia melihat pensiunan guru itu sedang membaca koran di teras rumah. Pak Karseno mempersilakan Dursin duduk di ruang tamu. Setelah berbasi-basi, Dursin mendadak bersimpuh dan memeluk kaki Pak Karseno.
“Maafkan saya, Pak Seno. Maafkan saya.” Dursin tersedu.
“Ada apa ini, Pak Dursin?” Pak Karseno bingung dan meminta Dursin untuk duduk kembali.
“Maafkan saya, Pak Seno. Beberapa hari lalu saya telah mencuri mangga di kebun Pak Seno. Ada lima belas mangga, Pak. Sekarang saya ingin mengembalikan mangga yang saya curi itu,” Dursin meletakkan plastik hitam ke meja tamu. “Tapi, hanya tersisa lima mangga, Pak Seno.”
Pak Karseno tersenyum.
“Saya sudah memaafkan Pak Dursin sejak beberapa hari yang lalu. Sejak Pak Dursin mengambil mangga di kebun saya.”
Dursin terhenyak.
“Pak Seno tahu saya telah mencuri?”
Pak Karseno mengangguk.
“Saat itu saya ada di sana, Pak Dursin. Saya sembunyi di balik belukar.”
“Oh,” Dursin kembali bersimpuh dan memeluk kaki Pak Karseno. “Maafkan saya, Pak Seno. Ampuni saya.”
“Ya, ya. Saya memaafkan Pak Dursin.”
Dursin menyeka matanya yang basah. Ia mencium tangan Pak Karseno, lalu mohon diri. Pulang.
Sesampai di rumah, Dursin tidak menemukan Arif di kamar.
“Arif mana, Bu?”
Isterinya muncul dari dapur. Wajahnya berseri-seri.
“Sudah berangkat sekolah,” kata isterinya.
“Sekolah? Bukankah tubuhnya masih panas?”
“Aku juga heran, Pak. Beberapa saat setelah kamu pergi membawa lima mangga itu, Arif bangun dan meminta air hangat. Ia mandi dan sarapan. Ia pakai seragam putih merahnya, lalu pamit hendak berangkat sekolah, meski sudah hampir jam delapan. Ia berlari ke sekolah. Benar, Pak, Arif berlari. Arif, anak kita, sudah sembuh, Pak.”
Dursin tertegun. Bergetar tubuhnya.
Dursin bergegas ke sumur. Berwudu. Kemudian masuk kamar. Mengganti celana panjangnya dengan sarung.
“Kamu mau ke mana, Pak?”
“Ke masjid. Aku mau salat. Aku mau tobat!”
Dursin berlari menuju masjid. Ya, berlari!
***SELESAI***