Cerpen
Disukai
0
Dilihat
7,696
Penyair dan Cerpenis Kampret
Drama

“Malas aku baca puisi-puisi penyair kampret!”

“Malas aku baca cerpen karya cerpenis kampret!”

Udin marah pada penyair kampret, marah pada cerpenis kampret. Kau mau tahu mengapa Udin begitu marah pada mereka; penyair dan cerpenis kampret itu? 

***

Udin tahu Paman Bardi sedang mengawasinya dengan tatapan curiga. Udin masa bodoh, terus mengintip ujung koran. Dada Udin berdebar kencang dan hendak membuka lebih lebar ujung koran itu, tetapi suara berat Paman Bardi mengurungkan niatnya.

“Jangan kau buka-buka koran itu. Nanti lecek, orang tak mau beli. Kalau kau suka koran itu, ambillah, dan bayar lima ribu,” tangan Paman Bardi sigap merebut koran itu dari tangan Udin, merapikannya, lalu menaruhnya di atas tumpukan koran sejenis.

Udin berdiri tertegun antara marah dan malu. Di kantung celana panjang lusuhnya ada uang lima ribu rupiah, tetapi itu untuk jaga-jaga bila ban sepeda BMX-nya bocor di jalan. 

Udin menelan ludah dan merasakan wajahnya masih hangat antara marah dan malu. Dadanya berdebar ketika ia mengingat halaman sastra yang sempat diintipnya. Sekilas, ia membaca ada nama berhuruf depan U. Ah, mungkin itu namanya yang tercetak di koran edisi Minggu, yang selalu ia tunggu setiap waktu.

“Saya beli koran itu, Paman,” kata Udin menyerahkan selembar uang lima ribuan lusuh. Tak ada uang lagi di kantung celana panjangnya. Kalau nanti ban sepedanya bocor di jalan, biarlah ia akan menuntunnya sampai rumah. 

“Ambillah dan terima kasih,” kata Paman Bardi.

Udin mengayuh sepedanya membelah jalanan kota. Sempat ia berpikir untuk berhenti sejenak untuk membuka halaman sastra di koran yang ia selipkan di pinggangnya. Tidak! Ia akan membuka koran itu di rumah.

***

Saat kelas 2 dan 3 SMA, Udin duduk sebangku dengan Budi. Ibu Budi meninggal saat melahirkannya, ayahnya meninggal saat ia berusia lima tahun. Kakak pertamanya, lelaki, merantau ke luar kota dan jarang pulang. Kakak keduanya, perempuan, tinggal di rumah peninggalan orangtua bersama suami. Budi, sejak kecil diasuh dan tinggal di rumah Paman Bardi.

Paman Bardi punya kios bensin dan koran di dekat alun-alun. Karena banyak pembeli korannya yang merokok, Paman Bardi memutuskan menutup kios bensinnya dan hanya berjualan koran. Dulu, banyak sekali koran, tabloid, majalah lokal dan nasional di kios Paman Bardi. 

Setiap Senin, Budi membawa beberapa koran edisi Minggu dan menyerahkannya pada Udin.

“Bacalah. Cerpen-cerpennya bagus,” kata Budi.

“Apa semua koran ini tidak diambil lagi sama agen?” tanya Udin.

“Diambil lagi. Kau bacalah semuanya. Besok kau bawa lagi.”

“Terima kasih, Bud.”

Pulang sekolah Udin membaca semua cerpen dalam koran, tabloid, majalah pinjaman itu, sampai malam. Setelah itu Udin mengambil buku dan pulpen, merenung sejenak, lalu menulis hingga dini hari, berlatih mengarang. 

Bila ada waktu luang, Udin berkunjung ke rumah Pak Susilo mantan guru SD-nya. Udin meminjam komputer dan menyalin semua tulisan di buku ke komputer. Kalau beruntung, Udin diizinkan meng-print tulisannya. Hari berikutnya, Udin ke kantor pos mengirim tulisan-tulisannya ke berbagai koran. Udin belum punya e-mail dan tak tahu cara menggunakan internet.

Udin beruntung punya teman seperti Budi. Kalau siang sepulang sekolah, Budi jaga kios koran. Udin suka bertandang dan membaca semua koran, tabloid, majalah di kios itu. Kalau Minggu, Budi jaga dari pagi hingga zuhur, karena sore ia ikut Sekolah Sepak Bola.

Minggu adalah hari yang sangat dinanti Udin. Usai sarapan, Udin memacu sepedanya sejauh lima kilometer menuju kios Budi. Udin membuka-buka koran dan halaman yang ia tuju adalah halaman sastra. Ia selalu berharap namanya tercetak di salah satu halaman sastra berbagai koran. Satu koran saja cukuplah.

“Selamat, Din! Cerpenmu dimuat!” kata Budi suatu kali.

“Kau serius?”

“Ini, baca sendiri.”

Udin berseru dan melonjak melihat namanya tercetak sebagai penulis cerpen di sebuah koran edisi Minggu. Koran lokal dan tak terkenal, tetapi Udin begitu girang hingga matanya memerah haru dan tak sadar ia pun melonjak-lonjak.

Itulah satu-satunya cerpen Udin yang dimuat. Sampai lulus SMA, belum ada lagi cerpen Udin yang nongol di koran. 

“Sabar saja, Din. Konon, banyak pengarang terkenal melalui jalan panjang dan berliku. Berdarah-darah sebelum terkenal,” kata Budi menghibur setiap kali melihat wajah Udin murung di Minggu pagi.

Suatu kali di Minggu pagi yang mendung, hanya Udin yang bertandang di kios Budi. Tak lama kemudian, datang seorang lelaki kurus berambut gondrong, bibirnya hitam dan matanya merah seperti berabad-abad tak tidur.

“Pagi, Om?” sapa Budi.

“Pagi, kawan,” lelaki itu tersenyum sekilas, lalu membuka-buka koran. Budi membiarkan lelaki itu mengacak-acak koran-koran di kiosnya. 

“Tumben datang pagi, Om? Biasanya menjelang zuhur,” tanya Budi.

“Nanti siang aku baca puisi di Balai Budaya, kawan,” sahut lelaki kurus itu.

Diam-diam Udin mengamati lelaki itu dan menduga-duga siapakah gerangan lelaki seperti penderita cacingan itu?

“Kampret!” lelaki itu mengumpat ketika membentangkan sebuah koran. Koran-koran telah ia buka langsung pada halaman tertentu, seakan ia sudah begitu hapal halaman mana yang harus ia buka. Dan, setiap kali membuka halaman tertentu, lelaki itu selalu mengumpat.

“Kampret! Kampret!”

“Ada apa, Om?” tanya Budi.

“Jokpin. Puisinya nongol di lima media. Jokpin ini kenal banyak redaktur. Dasar penyair kampret! Semua koran dimakannya!” lelaki itu membanting koran. “Aku pergi, kawan,” katanya hendak pergi.

“Tidak beli koran, Om?”

“Maaf, kawan, kali ini aku absen. Malas aku baca puisi-puisi penyair kampret!” katanya lalu ngeloyor pergi.

Budi tersenyum seperti hendak tertawa. 

“Siapa dia, Bud?” tanya Udin setelah lelaki itu hilang di tikungan.

“Chairil Gibran, penyair. Entahlah, itu nama asli atau bukan. Dia selalu jengkel kalau puisi Jokpin dimuat,” kata Budi.

“Siapa itu Jokpin?”

“Kau tidak tahu Jokpin?” tanya Budi.

“Aku jarang baca puisi,” jawab Udin.

“Joko Pinutur, biasa disingkat Jokpin. Penyair juga.”

“Apa semua penyair seperti dia?”

“Chairil Gibran maksudmu? Entahlah,” sahut Budi tersenyum. “Tapi kukira memang iya,” lanjut Budi tertawa.

Suatu kali yang lain, Udin kehilangan Budi di Minggu pagi. Paman Bardi yang menjaga kios.

“Budi mana, Paman?” tanya Udin.

“Ke Jakarta. Cari kerja,” jawab Paman Bardi singkat. “Kau kenal Budi?”

“Saya teman sebangku Budi di SMA, Paman.”

“Oh, ya? Lantas kau mau apa? Mau baca koran gratis?”

***

Udin sampai di halaman rumah, membiarkan sepedanya rebah di rumput, lalu bergegas duduk di kursi teras. Udin mengambil koran yang ia selipkan di pinggang. Tangannya gemetar membuka halaman demi halaman. Dadanya berdebar tak menentu. Ketika sampai pada halaman sastra, seketika wajah Udin memerah.

“Uday Silah lagi?”

Mata Udin menatap benci pada nama yang tercetak sebagai penulis cerpen di koran itu. Udin menutup koran, napasnya memburu.

“Kampret!”

Udin ingat, minggu lalu lima cerpen Uday Silah dimuat koran lokal dan nasional. Minggu ini nama Uday Silah nongol lagi. Apa? Uday Silah lagi? 

“Dia pasti kenal banyak redaktur! Dasar kampret, semua koran dimakannya! Malas aku baca cerpen karya cerpenis kampret!”

Udin bangkit dari duduk, meremas-remas koran itu lalu membuangnya ke halaman berumput. Udin masuk rumah, membanting pintu!

Gemuruh di langit. Gerimis turun dan tak lama kemudian menjadi hujan. Koran itu basah dan mungkin tak lama kemudian akan hancur.

***SELESAI***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)