Masukan nama pengguna
Lelaki beruban dan bertahi lalat di ujung hidung itu meletakkan amplop coklat tebal di meja tamu, tersenyum dan berkata, “Terima kasih Anda telah membuatkan skripsi untuk saya. Tiga dosen penguji memuji skripsi saya –maksud saya skripsi buatan Anda. Saya lulus ujian skripsi dengan sangat memuaskan. Terimalah, ini ala kadarnya dari saya.”
Setelah lelaki tua itu pergi, Hamid duduk menghadap laptop di ruang kerja merangkap ruang tidurnya, yang penuh bertumpuk buku di lantai dan berderet buku lainnya di beberapa rak kayu. Di meja, secangkir kopi yang hampir mencapai dasar –kopi telah dingin, lelaki itu meneguknya hingga tandas. Hamid menyalakan laptop, menunggu beberapa detik, lalu membuka folder Pesanan Skripsi.
Jemari tangan Hamid bergerak-gerak di keyboard, sementara pikirannya sigap merangkai sistematika, variabel, dan seabrek teori ilmiah. Ia melanjutkan hidupnya yang penuh kepalsuan; siap mencetak sarjana-sarjana palsu.
***
Sepuluh tahun yang lalu, selepas SMA, Hamid merantau ke Kota X. Ia menumpang di rumah Paman. Mula-mula ia bantu-bantu di tempat usaha photocopy milik Paman. Hamid mendapatkan upah sekadarnya dari Paman, dan ia menyisihkan sebagian untuk ditabung.
Tiap bulan Hamid memeriksa saldo rekeningnya dan ia selalu tersenyum, meski sorot matanya menyimpan keraguan.
“Sudah banyak tabunganmu?” tanya Paman.
“Alhamduillah, Paman. Tetapi untuk membeli rumah dengan kolam ikan di halaman belakang, rasanya masih jauh, Paman.”
“Kamu ingin cepat dapat uang banyak?” tanya Paman.
“Ya, Paman,” sahut Hamid. “Bagaimana caranya, Paman? Usaha apa?”
Paman tersenyum, lalu membawa Hamid ke sebuah kamar di rumah itu. Kamar yang penuh dengan buku, sebuah meja, sebuah kursi, komputer, dan printer.
Paman mengambil beberapa buku dari rak, meletakkan di meja, lalu berkata, “Kamu bacalah. Pelajari dan pahami baik-baik. Setelah itu kamu bisa menghasilkan banyak uang.”
“Semua buku ini, Paman?”
“Aku yakin kamu mampu,” sahut Paman.
Perkara membaca buku, perkara mudah bagi Hamid. Ia mampu membaca dengan cepat. Ia mampu melahap buku setebal 300 halaman dalam tempo dua hari. Saat SMP dan SMA, hampir semua buku di perpustakaan sekolah telah ia baca.
Kemudian Hamid menghabiskan malam dengan membaca buku-buku yang diberikan Paman; buku metodologi penelitian, statistik, panduan menyusun skripsi, dan buku-buku perkuliahan.
Beberapa bulan kemudian, Paman bertanya, “Kamu sudah paham cara bikin skripsi?”
“Sudah, Paman.”
“Bagus. Ini order pertamamu,” kata Paman menyerahkan stofmap tebal dan beberapa buku. “Pelajari, lalu kamu bikin skripsi sesuai pesanan.”
“Siap, Paman!”
Satu pesanan skripsi selesai berlanjut ke skripsi berikutnya, berikutnya, dan seterusnya. Saldo tabungan Hamid terus bertambah dan ia meminta izin Paman untuk mengontrak rumah sendiri.
“Aku senang kamu sudah bisa mandiri. Kamu mau bikin usaha sendiri?” tanya Paman.
“Maksud Paman?”
“Kamu tak perlu rikuh padaku. Beberapa mantan karyawanku kini juga sudah punya usaha sendiri, jadi konsultan skripsi. Tunggu apa lagi?” sahut Paman, tersenyum.
Konsultan Skripsi. Terdengar keren predikat itu. Hamid memasang iklan baris di koran, menempelkan pamflet di tiang listrik. Kesulitan bikin Skripsi? Hubungi ..., begitu bahasa iklan dari Hamid.
Tiap hari Hamid memeras otak, merangkai teori, menyusun variabel, mengutak-atik statistik. Kalau otak sedang tak mau diperas, Hamid menempuh jalan pintas. Ia menyalin skripsi lawas, lalu menyulapnya menjadi skripsi baru. Ia menjadi pelanggan pasar buku bekas di beberapa kota, mencari skripsi-skripsi lawas yang entah bagaimana begitu mudah ditemukan di pasar loak.
Suatu hari, Hamid keluar dari bank dengan senyum cerah. Saldo rekeningnya makin menggelembung, cukup untuk uang muka kredit rumah tipe 36. Kelak, di belakang rumah itu ia akan membuat kolam kecil berisi ikan koi seperti impiannya selama ini.
“Koran, Bang?” seorang lelaki paruh baya mencegat Hamid di pelataran parkir bank.
“Ada berita apa?” tanya Hamid.
“Berita heboh, Bang. Nih, di halaman pertama.”
Hamid terhenyak, lalu segera membayar koran itu. Hamid membaca berita utama, wajahnya tampak tegang. Buru-buru ia melipat koran, menyelipkannya di pinggang, lalu menuju motor sportnya di ujung pelataran parkir.
***
Hamid telah membuang nomor ponselnya, menonaktifkan akun Facebook dan media sosial lainnya. Hamid berpindah dari satu losmen ke losmen lain. Kini, ia berada di sebuah losmen di luar pulau. Dari dalam kamar losmen, ia memantau perkembangan berita melalui televisi dan koran.
Hamid menyesal, tetapi sudah terlambat. Kekalutan melanda pikiran, gelisah menyergap hati. Ia senantiasa membuka mata, meski hari telah larut, bahkan menjelang subuh. Tidur hanya sekejap, karena setiap saat ia terjaga dengan mata jalang menatap pintu. Ia bisa bernapas lega ketika pintu kamarnya masih tertutup.
Koran lawas yang Hamid beli di pelataran parkir bank, masih ia simpan, tergeletak di meja kecil dekat ranjang. Hamid meraih koran itu dan untuk kesekian kali membaca ulang berita utama dengan ketegangan yang sama menggurat di wajah.
Seorang Bupati Terpilih Diduga Jiplak Skripsi. Hamid menatap judul berita utama koran itu. Di bawah judul itu ada sub-judul dengan ukuran huruf lebih kecil: Polisi Buru Pembuat Skripsi Jiplakan.
Hamid mengutuk diri sendiri: bodoh, ceroboh! Tergambar dalam ingatannya, sore ketika seorang lelaki beruban dan bertahi lalat di ujung hidung datang membawa amplop coklat tebal ke rumah kontrakannya. Masih lekat dalam telinga Hamid, ketika lelaki beruban itu berkata, “Tiga dosen penguji memuji skripsi saya –maksud saya skripsi buatan Anda.”
Kini, televisi dan koran menyebut lelaki beruban dan bertahi lalat di ujung hidung itu sebagai calon bupati penjiplak skripsi.
Hamid meremas lalu melempar koran itu ke lantai; melempar kebodohannya. Bodoh! Ceroboh, sungguh ceroboh! Hamid telah menjiplak skripsi milik mahasiswa sebuah PTN, memodifikasinya menjadi skripsi baru, lalu menyerahkannya pada si lelaki beruban bertahi lalat di ujung hidung. Seharusnya Hamid memeras otaknya lebih keras, bukan malah menjiplak.
Dalam lelah pikir, Hamid terkulai di ranjang, matanya perlahan redup, lalu memejam. Hari masih siang atau telah malam, entahlah. Tetapi kemudian, Hamid melonjak terjaga ketika mendengar suara gedoran pintu dan sebuah bentakan.
“Hamid, keluar!”
Hamid bergerak ke sana ke mari di dalam kamar.
Brak!
Beberapa lelaki berseragam masuk ke kamar, menodongkan pistol.
“Jangan bergerak!”
Hamid terpojok. Dua lelaki berseragam meringkusnya. Hamid tertawa-tawa ketika pasukan berseragam itu menggiringnya ke luar kamar losmen.
Beberapa tamu losmen berbisik-bisik melihat Hamid digiring petugas ke mobil tahanan. Hamid masih tertawa-tawa meski wajahnya menampakkan ketegangan.
Seorang tamu losmen, sambil melirik ke arah Hamid, berbisik pada rekannya, “Orang gila!”
***SELESAI***