Cerpen
Disukai
0
Dilihat
14,414
Penjaga Musala Tak Mau Salat
Drama

Benny Ramadhan, manajer sebuah SPBU, mengintip dari tirai jendela ruang kerjanya. Semula ia abai dengan keberadaan lelaki tua yang duduk menegakkan lutut di dekat pintu musala. Tetapi, ketika lelaki tua itu masih di sana sampai siang, Benny melangkah penasaran menghampirinya.

“Maaf, Bapak menunggu seseorang?” 

Lelaki 60-an tahun itu terkejut sejenak, bibirnya bergetar menjawab, ”Tidak. Saya tidak menunggu siapapun.”

“Lalu mengapa Bapak di sini sepanjang hari ini?” Benny berjongkok di depan lelaki itu.

Mata berkaca-kaca dan dengan masih duduk menegakkan lutut, lelaki tua itu bercerita tentang dirinya. Ia mengaku bernama Munasir, minggat dari rumah karena selalu bertengkar dengan menantunya. Istrinya sudah meninggal.

“Saya tak punya rumah. Bolehkan saya berteduh di sini, mungkin sebagai penjaga musala ini?”

Benny Ramadhan tak segera menjawab. Lelaki muda berwajah bulat itu menekuri ubin, memikirkan permintaan Munasir. Tempat kerjanya tidak membutuhkan penjaga musala, karena para karyawan SPBU selalu bergantian membersihkan musala. Tetapi melihat Munasir yang renta dan mungkin juga kelaparan, terbit rasa iba di hati Benny.

“Silakan, Pak. Anggaplah rumah sendiri,” Benny tersenyum, berdiri lalu kembali ke ruang kerjanya. Tak lama kemudian manajer itu menemui lagi Munasir sambil membawa kursi plastik merah. Kursi dengan sandaran punggung dan sandaran tangan. Benny juga memberikan sebungkus roti coklat dan air mineral dalam gelas plastik pada lelaki tua berkemeja batik itu.

“Terima kasih, Pak. Terima kasih.” Munasir mencium tangan Benny ketika mendapat hadiah yang sangat nyaman baginya untuk duduk itu. Pula, dengan penuh semangat, dimakannya sepotong roti coklat itu, habis dalam sekejap.

Begitulah, para pengunjung SPBU itu selalu melihat seorang lelaki tua duduk di kursi plastik merah di dekat pintu musala. Bagi mereka yang sering menunaikan salat di musala itu tentu hapal dengan seruan Munasir, “Silakan, silakan, waktu salat sudah tiba.”

Pernah Munasir tersipu usai berkata, “Silakan, silakan, waktu salat sudah tiba.” Ternyata Benny Ramadhan yang berdiri di depannya. Waktu zuhur sudah tiba saat itu.

“Oh, Pak Benny. Saya kira orang lain,” ujar Munasir.

“Ayo, Pak. Kita salat zuhur berjamaah,” sahut Benny.

“Saya nanti saja, Pak.”

“Nanti itu kapan, Pak?”

Munasir hanya mengulum senyum dan tak beranjak dari kursinya. Sampai Benny dan orang-orang selesai salat zuhur, bahkan waktu asar pun menjelang, Munasir tak beranjak dari kursinya. Tetapi lelaki tua yang selalu berkemeja batik itu tiada lelah dan tiada lupa berseru kepada orang-orang, “Silakan, silakan, waktu salat sudah tiba.”

Kalau beruntung, ada pengunjung yang memberinya roti, kacang oven, wafer, atau makanan kemasan lain, sehingga Munasir mendapat sekadar pengganjal perut.

Biasanya Munasir pergi dari SPBU itu pukul 21.00. Tetapi, kali ini pukul 19.30 ia sudah berdiri di luar jendela ruang kerja Benny. Tak lama kemudian Benny keluar.

“Selamat malam, Pak, saya pulang dulu,” kata Munasir.

“Pak Munasir selalu mengatakan akan pulang, tapi ke mana? Saya mohon, Pak, beritahu saya. Pak Munasir mau pulang ke mana?”

“Kuburan, Pak.”

“Kuburan?”

Benny Ramadhan mengela napas, matanya terasa hangat. Ia mengambil dompet di kantong belakang celana panjangnya, mencomot selembar uang seratus ribuan.

“Terimalah, Pak.”

“Oh, terima kasih, Pak. Terima kasih,” Munasir mencium tangan Benny.

Munasir melangkah ke selatan. Langkahnya tertatih menahan beban hidup yang begitu berat. Pikirannya tak menentu. Beberapa kali ia ragu sebelum akhirnya melangkah masuk ke sebuah minimarket. Tak lama kemudian ia keluar dari minimarket itu menenteng tas plastik hitam. Tuntas sudah pencariannya. Munasir melangkah pulang.

Di sebuah tikungan, ia belok ke kiri, mengikuti arah plang bertuliskan Makam. Ia sudah tahu arah ke mana harus melangkah, dalam gelap sekalipun. Di sebuah makam bernisan batu yang tanahnya bersih dari rumput dan daun kering, Munasir berhenti. Di langit, rembulan mulai meninggi. 

Di dekat makam itu tumbuh pohon kamboja kecil bertinggi sekira dua meter. Di cabangnya terdapat tikar pandan lusuh yang terikat tali rafia. Munasir melepaskan tali, meraih tikar lalu menggelarnya di tanah, dekat makam istrinya. 

Munasir kembali menatap pohon kamboja. Di sebuah cabang pohon itu tertancap beberapa paku. Tiap paku tergantung tas plastik berbagai ukuran. Ia meraih tas plastik hitam besar, mengeluarkan jaket parasut hitam, lalu mengenakan ke tubuhnya yang kurus. Ia merasakan kehangatan di tengah dingin malam.

Munasir duduk di tikar, menyalakan lilin dan mengeluarkan pulpen yang dibelinya di mal saat perjalanan pulang. Ia merogoh kantung celana panjangnya, mengeluarkan secarik kertas struk dari mal. Ia diam sejenak, memikirkan sesuatu.

Dalam temaram lampu lilin, Munasir menulis sesuatu di kertas bekas struk itu. Sejurus kemudian lelaki tua itu membaringkan tubuhnya, miring ke kanan, menatap nisan istrinya.

Pada saat seperti itu, selalu berkelebat kenangan tentang hidupnya. Dahulu, Munasir punya rumah dari kardus di bawah jembatan sebuah sungai. Ia tinggal bersama istri dan seorang anak perempuan. 

Sebagai pemulung, rumah kardus itu adalah istana bagi Munasir dan keluarga. Meski mereka hanya sanggup menyekolahkan Muniroh, anak mereka, sampai lulus SD, tetapi mereka bahagia. Muniroh tumbuh menjadi gadis yang menawan, meski tak terlalu cantik.

Ketika berumur 18 tahun, Muniroh menikah dengan Jamal, preman pasar yang gemar berjudi dan mabuk. Pernikahan yang sangat sederhana; hanya dihadiri seorang kiai sebagai penghulu dan beberapa tetangga. Sebenarnya, Munasir tak rela dengan pernikahan mereka, tetapi apa boleh buat Muniroh hamil duluan. 

Bagi Munasir, kehadiran Jamal adalah awal penderitaan hidup keluarganya. Jamal berperangai kasar, gemar memukul Muniroh meski perempuan itu tengah hamil. Muniroh keguguran, tetapi tak ada hawa kesedihan. Mungkin itu lebih baik. Kehadiran anak akan membuat penderitaan mereka makin menggunung. Lebih dari itu, Munasir tak rela punya cucu keturunan pemabuk!

Penderitaan mereka belum berakhir, ketika Jamal pulang dengan kondisi mengenaskan. Tulang kaki kanannya patah karena kalah berkelahi dengan preman lain. Jamal tak bisa mencari uang lagi untuk sementara waktu, bahkan sampai bertahun-tahun kemudian. Dengan alasan dirinya cacat, tak bisa bekerja, Jamal menyuruh Muniroh bekerja. Bekerja apa saja, sekalipun jadi pelacur.

Itu perintah yang menusuk hati Munasir dan istri. Mereka tak rela anak mereka menjadi pelacur. Tapi apa boleh buat, mereka butuh makan. Munasir dan istri merasa tak nyaman lagi tinggal di rumah, berniat mengusir Jamal. Tetapi menantunya itu malah balik mengancam akan membunuh Muniroh. Munasir dan istri tak bisa berkutik.

Tak kuat menahan tekanan batin, istri Munasir sakit-sakitan, kena TBC, hingga akhirnya meninggal. Di kemudian hari, rumah mereka kena gusur. Muniroh dan suaminya pindah entah ke mana. Munasir menggelandang bertahun-tahun hingga tertambat di musala SPBU itu

“Aku lelah, istriku. Aku ingin menyusulmu,” gumam Munasir, matanya basah seperti malam yang sudah-sudah. 

Di langit sinar rembulan tampak redup.

***

Benny Ramadhan baru saja memasuki ruang kerjanya, ketika seorang karyawan mengantar seorang polisi menemuinya. Polisi itu meminta Benny untuk ke kuburan. 

Di sana, di sebuah makam, tampak beberapa polisi berkerumun. Benny melihat tubuh seorang lelaki terbujur kaku; lelaki tua berkemeja batik lusuh, berjaket parasut hitam, berbaring miring ke kanan, tangan kirinya menyentuh batu nisan. Di dekatnya ada sebuah kaleng merah biru kecil.. 

Benny Ramadhan tertegun ketika seorang polisi menyerahkan secarik kertas bekas struk, bertuliskan: Saya ingin lepas dari derita ini, saya ingin menyusul istri saya. Terima kasih, Pak Benny. Uang pemberian dari Bapak cukup untuk membeli racun nyamuk ini.

***SELESAI***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)