Flash
Disukai
0
Dilihat
15,778
Pengintip Malam Pengantin
Drama

Perkara mengintip malam pengantin, hanya Sulton ahlinya. Bila ada tetangga menikah, maka saya, Hamid, Fajar, dan Krisnawan begadang sampai dini hari di pos ronda menunggu Sulton datang. Ketika Sulton datang, kami bertanya menggebu-gebu, lalu ia pun menceritakan dengan detail sehingga kami merasa seperti menonton film biru.

Kami selalu menunggu Sulton bercerita tentang aktivitas mengintipnya. Itu obrolan yang menarik bagi para bujangan seperti kami. Tetapi belum tentu tiap bulan ada tetangga yang menikah. Kami memasang telinga baik-baik untuk memperoleh info tentang orang yang akan menikah. Dan, info itu bisa datang dari mana saja.

Suatu kali pernah saya sedang memfotokopi KTP, saya melihat undangan tergeletak di etalase; sebuah undangan pernikahan untuk pemilik fotokopi. Saya catat baik-baik dalam ingatan, lalu saya kabarkan pada Sulton.

Kemudian Sulton melacak alamat si pengirim undangan, meski jauh di kampung lain. Bila alamat sudah diperoleh, Sulton melakukan semacam studi kelayakan, selama beberapa hari. Sulton merancang dari mana ia akan menuju rumah mempelai, bagaimana cara ia mengintip, dan sebagainya. Dengan pengamatan seperti itu Sulton bisa mempersiapkan segalanya untuk pengintipannya kelak.

***

Malam ini dingin sekali. Malam seperti ini, konon, sangat dinanti oleh pengantin baru. Sudah pukul dua dini hari, tetapi Sulton belum datang. Saya, Fajar, dan Krisnawan gelisah menunggu di pos ronda. Hamid absen, karena pagi tadi ia melaksanakan akad nikah. Hamid menikahi Halimah, primadona kampung kami.

Kami masih terus menunggu dengan pikiran tak menentu. Kami membanting kartu domino secara serampangan. Kesal! Permainan jadi tak menarik lagi. Sebentar-sebentar kami bergantian melongokkan kepala ke luar pos ronda, berharap Sulton muncul dari kegelapan.

Dua bungkus rokok filter tergeletak di lantai pos ronda. Satu bungkus telah kosong, satu bungkus masih tersisa beberapa batang rokok. Beberapa gelas plastik air mineral terserak di sudut pos ronda.

“Kampret!” Krisnawan membanting kartu domino. “Ke mana si Sulton itu!”

“Jangan-jangan Sulton bukan hanya mengintip, tetapi ikut gabung menikmati malam pengantin bersama Hamid?” sahut Fajar.

“Gila kamu!” sahut saya.

Fajar tertawa.

“Coba kau telepon dia!” kata Krisnawan.

“Gila kamu! Masa pengintip mengaktifkan hape? Mau bunuh diri apa?” sahut saya.

“Lima menit lagi nggak datang, aku pulang,” kata Krisnawan.

“Kalian pulanglah. Aku mau tidur di sini,” sahut Fajar, merebahkan tubuh di lantai pos ronda. Kartu domino masih berserakan. Tak ada di antara kami yang mau merapikan kartu-kartu yang telah lecek itu.

Lima menit berlalu.

“Kampret! Kampret! Dasar kalong, nggak mau berbagi cerita sama kawan!” kata Krisnawan, lalu ngeloyor meninggalkan pos ronda dengan langkah lebar.

“Aku juga mau pulang, Jar,” kata saya.

“Pulang atau mau ngeloco? Hahaha .... ” Fajar menyahut.

“Gila kamu!”

***

Esok siangnya, saya berkunjung ke rumah Sulton. Saya penasaran, mengapa semalam teman saya yang tukang ojek itu menghilang? Sulton terkejut ketika melihat saya dan tangannya buru-buru menutupi mata kirinya. Sulton hendak menutup kembali pintu, tetapi saya mencegah.

“Hei, kamu kenapa?” tanya saya mengamati wajah dan terutama mata kiri Sulton.

“Aku ... jatuh, kebentur batu.”

“Sungguh?”

“Sudahlah, jangan banyak tanya. Aku mau istirahat.”

Brak! Sulton menutup pintu dan menguncinya dari dalam.

Saya melangkah hendak pulang dan melewati rumah Halimah. Di teras rumah, saya melihat Hamid sedang duduk merokok dan memainkan ponsel layar sentuh. Saya hendak berbalik arah, tetapi terlambat.

“Hei, Satrio! Kemari kau!”

Dengan dada berdebar dan mencoba tersenyum, saya mendekati Hamid.

“Dari mana kau?” tanya Hamid menatap saya lekat-lekat.

“Dari ... ”

“Dari rumah Sulton?”

“Ng ... anu ... iya,” saya gugup.

“Sudah ketemu Sulton?”

“S-sudah.”

“Kau lihat mata kiri Sulton?”

“I-iya.”

“Semalam kupukul dia. Sebetulnya ingin kubikin remuk wajah Sulton, tapi Hendro, adik iparku, mencegah. Kalau tak ada Hendro, sudah kubikin mampus si tukang ojek itu!”

Saya penasaran, tetapi terlalu takut untuk bertanya.

“Duduk!” perintah Hamid.

Saya duduk di kursi teras, di dekat Hamid duduk.

“Aku sudah menduga akan ada pengintip di malam pengantinku. Malam itu aku dan Halimah tidak melakukan apa-apa. Kami terlalu capek. Kalau pun tubuh kami bugar, kami tetap tak akan melakukan apa-apa, karena aku tahu ada pengintip di luar jendela kamar kami. Aku suruh Hendro untuk mengintai. Kukira orang lain yang mengintip. Ternyata Sulton. Kampret! Berani benar Sulton mengintip teman sendiri!”

Saya melihat mata Hamid menyala-nyala.

“Dan kalian menunggu di pos ronda, menunggu Sulton datang, bukan?”

Saya tertunduk.

“Jawab!”

“I-iya ... Maafkan saya, Mid,” jawab saya masih menunduk.

Hamid bergerak lalu mencengkeram kerah baju saya.

“Kampret! Kalian semua kampret! Kuhajar kau!”

Saya segera berlutut, memeluk kaki Hamid.

“Maafkan saya, Mid. Maafkan saya.”

“Pergi kau!”

Saya menengadahkan kepala.

“Pergi kataku!”

Saya buru-buru pergi, berlari seperti dikejar hantu.

Saya mampir ke rumah Fajar. Saya cengkeram kerah bajunya.

“Pengkhianat! Kau yang bilang pada Hamid kalau Sulton akan mengintip tadi malam? Benar, kan?” kata saya.

“Bukan. Bukan aku.”

“Kampret kau!”

Saya ganti mampir ke rumah Krisnawan. Saya cengkeram pula kerah baju lelaki pengangguran itu.

“Pengkhianat! Kau yang bilang pada Hamid kalau Sulton akan mengintip tadi malam? Benar, kan?” kata saya.

“Pengkhianat apa? Ini ada apa, kawan?”

“Kampret kau! Kampret kalian!”

Saya melangkah marah, entah ke mana.

Di jalan saya bertemu seorang lelaki tua, entah siapa.

“Dari mana, Nak Satrio?”

“Diam!”

Beberapa meter kemudian, saya bertemu seorang ibu, entah siapa pula.

“Mau ke mana, kok buru-buru?”

“Diam!”

Samar-samar saya mendengar azan. Saya menghentikan langkah, memejamkan mata, mendengarkan sampai azan itu berhenti. Saya bergegas menuju arah suara azan yang telah berhenti itu. Tetapi yang saya lihat plang bertuliskan: Ke Makam.

Saya berbalik arah, memutar arah, berbelok arah. Siapa yang mengubah jalur ke masjid? Ke mana arah ke masjid, ke mana?

Tetapi, entahlah, akhirnya saya sampai ke masjid. Sudah iqamah. Saya buru-buru ke tempat wudhlu, lalu bergegas memasuki masjid. Sungguh, saya ingin tobat. Tobat, tobat, tobaaaaattt!!!

***SELESAI***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)