Masukan nama pengguna
Kasian berlari menyusuri pematang. Beberapa kali pemuda berambut ikal itu berhenti untuk menyeimbangkan tubuh. Ketika berada tak jauh dari lelaki tua yang mencangkul di sawah, pemuda itu berteriak, “Santiago!”
Si lelaki tua berhenti mencangkul. Bertanya dengan tatapan bingung, “Kamu manggil siapa, Kas?”
Kasian menggaruk-garuk kepala. Sambil menyeringai ia menjawab, “Pak Suparman seperti Santiago.”
“Santiago siapa?”
Kasian tak segera menjawab. Ia mengamati sosok lelaki tua di depannya. Tubuh lelaki tua itu legam dan kekar meski kerut menggurat kulit, dan sepasang mata cekungnya memancarkan semangat membara di usia renta. Kasian takjub telah bertemu lelaki tua yang tangguh.
“Santiago siapa?” si lelaki tua bertanya ulang.
“Ada surat buat Pak Suparman,” jawab Kasian.
Si lelaki tua tampak masih menyimpan penasaran di mata.
“Surat dari siapa?” tanya lelaki tua.
“Dari Fatimah. Mungkin dia akan pulang dari Hong Kong. Mengapa Pak Suparman tidak membeli hape, biar Fatimah cepat memberi kabar. Pakai surat, lama, Pak.”
“Kamu cerewet seperti Fatimah. Anakku itu baru pulang bulan lalu, tak mungkin akan pulang lagi.” Lelaki tua merentangkan kedua tangan lalu melanjutkan bicara, “Tanganku kotor. Kamu taruh saja surat itu di gubuk.”
“Baik, Santiago,” sahut Kasian melangkah ke gubuk, meletakkan amplop di lantai panggung bambu bilah. Setelah itu melangkah meninggalkan gubuk dan si lelaki tua.
“Tunggu!” seru lelaki tua.
Kasian berhenti di pematang.
“Mengapa kamu panggil aku Santiago? Santiago siapa?”
Kasian tertawa, lalu berlari menyusuri pematang. Beberapa kali ia berhenti untuk menyeimbangakn tubuh. Napasnya tersengal-sengal ketika sampai di Kantor Desa, tetapi ia tersenyum bahagia.
Kasian telah mengantarkan surat-surat untuk warga, salah satu tugasnya sebagai opas (pesuruh) di Kantor Desa. Seharusnya Pak Pos yang mengantarkan surat-surat itu, tetapi sering kali alamatnya tidak jelas, sehingga Pak Pos memilih menyerahkan surat-surat ke Kantor Desa.
Beruntunglah Kantor Desa itu memiliki Kasian si opas yang penuh semangat. Ia yang mengantarkan surat-surat ke rumah warga.
Pukul 07.32. Belum ada perangkat desa yang datang, kecuali Kasian. Kini Kasian berada di sebuah ruangan berisi beberapa rak dari kayu nangka. Ruangan yang bersih dan rapi, karena ia selalu membersihkan dan merapikan ruangan itu. Kasian tersenyum. Di salah satu rak itu, dahulu, ia menemukan novel Lelaki Tua dan Laut.
***
Kasian mendengar Pak Hardi si Kepala Desa dan beberapa orang perangkat desa berbicara tentang laut.
“Maaf, apa Pak Kades mau memancing di laut? Kapan? Boleh saya ikut?” tanya Kasian.
“Apa kamu punya baju pelampung?” sahut Pak Hardi.
Kasian berpikir sejenak.
“Apa Santiago punya baju pelampung?” tanya Kasian.
Pak Hardi tertegun, lalu tersenyum. Begitu pula beberapa perangkat desa yang berada di ruang tamu Kantor Desa ikut tersenyum, menahan tawa yang sudah di ujung lidah.
“Tentu saja tidak,” sahut Pak Hardi. “Di Kuba tidak ada baju pelampung. Di sana hanya ada cerutu dan Fidel Castro.” Detik berikutnya, tawa Pak Hardi dan para perangkat desa menggelegar.
Kasian menelan ludah, tersenyum kecut.
“Santai saja, Kas,” Pak Hardi menepuk bahu Kasian, masih menyisakan tawa. “Anakku punya baju pelampung. Akan kupinjamkan untukmu. Minggu subuh kita berangkat. Kumpul di rumahku.”
Kasian tersenyum lebar. Ah, tiada terbendung lagi hasratnya untuk menjelma sebagai Santiago.
***
Minggu subuh, Kasian, Pak Hardi, dan tiga orang perangkat desa berangkat naik Katana merah. Pak Hardi yang mengemudi dan sepanjang perjalanan ia bercerita tentang ketangguhan mobilnya itu.
“Lain kali akan kuajak kalian off road,” kata Pak Hardi, lalu melirik spion dalam mobil dan berkata lantang pada Kasian yang duduk di kursi belakang.
“Hei, Santiago!” seru Pak Hardi tersenyum. “Rupanya kamu yang bawa Lelaki Tua dan Laut sekian lama? Apa kamu akan menyimpan selamanya? Jangan begitu, kawan. Itu milik perpus desa.”
Kasian menyeringai.
“Besok saya kembalikan, Pak Kades.”
“Hei, Santiago!” seorang perangkat desa menyahut. “Bagaimana kalau kita mendapatkan marlin raksasa? Apa kamu akan menyeretnya hingga ke pantai?”
“Kukira tidak,” perangkat lain menimpali. “Ia akan memberikan surat pada si marlin. Selamat, Marlin, kau telah tertangkap oleh Santiago!”
“Hahaha!”
Mereka membeli nasi bungkus di warung dekat kampung nelayan. Mereka akan sarapan di perahu, di tengah laut.
***
Mereka telah naik ke perahu. Matahari masih mengintip di cakrawala timur. Seorang nelayan pemilik perahu melepaskan tali tambatan, melompat ke air, lalu mendorong perahu menjauh dari pantai. Perahu bergoyang-goyang, angin dingin bertiup kencang, menyusup ke pori-pori kulit tubuh Kasian.
“Berhenti!” Kasian berteriak. Si nelayan berhenti mendorong perahu.
Kasian merendahkan tubuh, berpegang pada tepian perahu, menjulurkan kepala, lalu memuntahkan isi perutnya ke air laut.
“Hahaha!” Para perangkat desa tertawa.
Pak Hardi memijit tengkuk Kasian.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Pak Hardi.
Kasian menoleh. Wajahnya pucat.
“Kamu masih ingin ikut?”
Kasian tak menjawab. Ia merasakan pusing dan mual.
“Lebih baik kamu pulang saja. Di tengah laut sana lebih mengerikan,” kata Pak Hardi, lalu memberikan selembar uang lima puluh ribuan. “Untuk ongkos kamu pulang.”
Atas perintah Pak Hardi, si nelayan mendorong perahu kembali mendekat ke pantai, lalu memapah Kasian ke daratan. Si nelayan mencarikan ojek untuk Kasian.
“Antar dia sampai jalan raya,” kata si nelayan pada tukang ojek. Sesampai di jalan raya, Kasian berganti naik mikrobus.
***
Mikrobus merah itu berhenti di sebuah pertigaan. Kasian turun sempoyongan. Menyeberang jalan ke selatan. Ada sebuah jalan setapak, jalan pintas menuju kampung Kasian.
Pemuda itu berjalan menyusuri jalan setapak. Pepohonan sengon menjulang di kanan-kiri jalan. Ia berjalan terseok. Tas hitam lusuh di punggung membuat langkahnya kian berat. Kepalanya terasa berputar, mabuk lautnya belum juga hilang.
Matahari mulai menyengatkan sinar ke tubuh Kasian. Berkali-kali ia menggerakkan kepala agar tetap terjaga. Ia melangkah pelan dan sesekali merasakan tubuhnya seperti berada di perahu yang bergoyang di lautan.
Di sebuah tikungan, Kasian bertemu dengan lelaki tua berpenampilan khas petani; celana panjang sebatas lutut, kaos lengan panjang lusuh, caping, dan cangkul tersampir di bahu.
Kasian berjalan dengan menunduk, kepalanya terasa berat bila tegak. Ia tak menyadari keberadaan si lelaki tua.
“Dari mana kamu, Kas?” tanya lelaki tua memandang tas di punggung Kasian.
Kasian berhenti dan dengan tatapan kabur ia bertanya, “Siapa?”
Kasian terhuyung. Si lelaki tua cepat menaruh cangkulnya ke tanah, lalu sigap menangkap tubuh Kasian yang limbung.
Kasian merasakan dekapan hangat dan dengus napas menyentuh pipi kanannya.
“Siapa?” gumam Kasian, wajahnya sepucat mayat.
“Aku. Suparman.”
“Oh,” lirih, nyaris tak terdengar, Kasian mendesis. “Santiago ....”
Tubuh Kasian lemas, tetapi bibirnya tersenyum dalam dekapan lelaki tua. Sebelum akhirnya semua menjadi gelap, Kasian melihat lelaki tua yang mendekapnya itu menjelma nelayan tua yang menyeret kepala ikan raksasa di sebuah pantai.
***SELESAI***