Flash
Disukai
2
Dilihat
15,214
Pengangguran
Drama

Di sudut taman sebuah kota duduklah seorang lelaki muda kurus berkemeja putih, bercelana panjang hitam dan menenteng stofmap merah. Ia tampak kelelahan setelah berjalan kaki memasuki beberapa gedung perkantoran yang semua berakhir dengan mengecewakan; tak ada lowongan pekerjaan untuknya.

Peluh meleleh di wajah tirusnya dan peluh lainnya membasahi kain di bawah kedua ketiaknya. Ia mengipaskan stofmap merah dan angin segar menyusup ke pori-pori wajahnya, ia tampak terhibur. Ia menengok ke segala arah sebelum mengipaskan stofmap itu ke bawah ketiaknya yang basah, merasa tindakannya itu memalukan.

Ia memandang stofmap yang agak lecek itu, membukanya. Menatap sayu pada surat lamaran dan fotokopi berkas-berkas lampiran di dalamnya. Ia memasukkan stofmap itu ke tas selempang hitam lusuh yang telah pudar warnanya, lalu mengeluarkan botol air mineral kemudian meminumnya.

Dalam putus asa, ia menggumamkan sebuah harapan, “Ya, Tuhan, berilah aku sebuah keajaiban.”

Tak lama kemudian, seorang perempuan setengah baya berkebaya lusuh datang mendekat dan menengadahkan tangan. Lelaki muda tertegun sejenak, lalu mengeluarkan uang seribu perak dari kantong kemejanya.

“Terima kasih, Mas. Saya doakan semoga Mas cepat naik haji. Amin,” kata perempuan pengemis itu, hendak pergi.

“Tunggu,” sergah lelaki muda.

“Ada apa, Mas?”

“Ini uang lima ribu. Tolong doakan saya, tetapi doa yang lain,” kata lelaki muda.

“Doa apa, Mas?” tanya perempuan pengemis, sigap meraih uang dari tangan lelaki muda.

“Doakan agar saya mendapatkan pekerjaan dengan gaji gede. Bisa, kan?”

Perempuan pengemis diam dan berpikir, lalu mengangguk.

“Saya doakan semoga Mas cepat naik haji,” kata perempuan pengemis.

“Kok doa itu lagi?”

“Hanya itu doa yang saya hapal, Mas,” kata perempuan pengemis, lalu ngeloyor pergi.

Lelaki muda itu kesal, mengomel, tetapi membiarkan perempuan pengemis itu pergi. Ia menenggak lagi air mineral yang nyaris habis.

Tak lama kemudian, seorang anak lelaki kecil datang menghampirinya. Anak itu bertubuh dekil, rambut acak-acakan, membawa gitar kecil.

Anak itu, setelah bilang permisi, memetik dawai yang tak jelas nadanya dan menyanyikan lagu yang tak tepat waktu: Begadang. Suaranya cempreng, membuat lelaki muda sigap mengeluarkan uang seribu perak dari kantong kemeja, sebelum lagu dangdut itu rampung.

“Terima kasih, Om,” kata pengamen kecil, hendak pergi.

“Tunggu,” sergah lelaki muda.

“Ada apa, Om?”

“Ini uang lima ribu. Bisa kau berdoa untukku?”

“Berdoa apa, Om?” tanya pengamen kecil, sigap meraih uang dari tangan lelaki muda.

“Begini doanya: ‘Ya, Tuhan, berilah Om ini pekerjaan yang bagus dan gaji yang gede’. Begitu. Bisa, kan?”

Pengamen kecil tertawa.

“Om sudah berdoa. Tugas saya selesai. Makasih uangnya, Om,” kata pengamen kecil, lalu berlari bagai anak kijang.

Kesal lagi. Mengomel lagi. Lelaki muda membanting botol air mineral. Botol mental lalu menggelinding dan berhenti di dekat kaki seorang bapak yang berdiri tak jauh darinya. Si Bapak mengamati lelaki muda beberapa saat, tersenyum, lalu melangkah mendekat.

“Maaf, Mas, bisa bantu saya?” tanya Si Bapak.

“Bantu apa?”

“Begini, Mas,” kata Si Bapak, lalu duduk di samping lelaki muda. “Perusahaan saya sedang butuh karyawan. Mungkin Mas punya teman, keluarga, atau mungkin Mas sendiri yang bisa mengisi lowongan pekerjaan ini.”

“Pekerjaan apa?”

“Ini, Mas,” kata Si Bapak, lalu menyerahkan selebaran.

“Sopir truk tinja?” ujar lelaki muda mengernyitkan dahi.

“Ya, Mas. Ini profesi yang langka.”

“Tapi, saya ini Sarjana Akuntansi,” sergah lelaki muda.

“Tidak masalah, Mas. Untuk profesi yang langka, bagi kami, ijazah tidaklah mutlak.”

“Sopir truk tinja? Gila!”

“Tak perlu putuskan sekarang, Mas,” kata Si Bapak, lalu menyerahkan kartu nama. “Hubungi saya. Ini kesempatan emas untuk profesi yang langka,” lanjutnya tersenyum, lalu melangkah pergi.

Kesal berulang. Mengomel berulang. Lelaki muda meremas kartu nama itu, lalu membantingnya. Beberapa lama ia memandang kartu nama yang telah lecek dan tergeletak di rerumputan taman itu.

Perlahan matanya yang garang berpendar harapan. Ia memungut kartu nama itu, merentangkannya, lalu membaca sederet nomor. Ia mengambil ponsel, menghubungi deret nomor itu.

“Ya, Pak. Siap, Pak. Sekarang? Baiklah.”

Lelaki muda itu memasukkan ponsel ke kantong kemeja, berdiri, lalu melangkah pergi. Ia tak bisa mengelak. Mungkin ini takdir baginya. Ia tersenyum dan menggumamkan syukur, “Terimakasih, Tuhan. Kau telah memberiku sebuah keajaiban.”

***SELESAI***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)