Cerpen
Disukai
0
Dilihat
11,108
Pendengar Setia
Romantis

Selepas SMK jurusan Administrasi Perkantoran, Lalita bekerja di tempat fotokopi dan biro jasa pengetikan selama hampir dua tahun. Kemudian sebuah kesempatan membawa gadis berambut panjang itu bekerja pada Mira Marga, pengarang novel. Tugas Talita sederhana: menjadi pendengar setia.

Tiap hari Lalita duduk berjam-jam di ruang kerja di rumah Mira Marga, sementara si majikan memejamkan mata di kursi malas dan mulutnya memuntahkan aneka cerita. Sementara telinga mendengarkan, sepuluh jemari Lalita bergerak cepat di keyboard laptop merah merek dari Jepang.

Perkara duduk berlama-lama, telah lama Lalita lakukan. Di tempat kerja terdahulu, tiap hari ia duduk dari pagi hingga sore. Perkara mendengarkan cerita atau mengikuti perintah orang lain, adalah menu sehari-harinya. Lalita telah kenyang berlama duduk dan mendengarkan. Antara pekerjaan sebagai juru ketik di biro jasa pengetikan dan pekerjaan saat ini sebagai juru ketik dan pendengar setia, beda tipis.

Lalita senang dengan pekerjaannya yang sekarang. Apalagi ia telah lama menjadi penggemar Mira Marga. Beberapa novel romantis karya pengarang yang telah memutih rambutnya itu telah Lalita lahap, bahkan ada yang sampai berkali-kali ia baca sampai tuntas.

Mira Marga tinggal di rumahnya yang cukup besar bergaya kolonial bersama pembantu perempuan dan seorang sopir pribadi. Sopir dan pembantu itu suami istri. Suami Mira Marga telah meninggal beberapa tahun silam. Sekarang di rumah itu bertambah satu penghuni baru, yaitu Lalita.

Parkinson menyerang tangan kanan Mira Marga, penyakit seperti yang diderita mendiang Muhammad Ali. Apa Mira Marga pernah menjadi petinju sehingga terkena Parkinson? Hehe...

 Mira Marga tak mampu menulis dengan tangan sendiri. Mula-mula ia meminta bantuan seorang cucu perempuannya untuk menjadi pendengar setia baginya. Namun, kini cucunya telah kuliah di kota lain. Kemudian Mira Marga memasang pengumuman di koran; ia butuh seorang pendengar setia.

Lalita mendapat kabar lowongan kerja itu dari Hanif, rekan kerja di biro jasa pengetikan. “Kukira ini cocok untukmu, Lita. Orang yang mampu mengetik sepuluh jari, sudah sangat langka. Kau harus coba, Lita, ini peluang buat kau,” kata Hanif, saat itu, menyerahkan koran pada Lalita.

“Doakan saya, ya, Kak, semoga diterima,” sahut Lalita.

“Tentu. Aku selalu berdoa yang terbaik untukmu,” timpal Hanif tersenyum dan memandang lekat-lekat pada Lalita, seakan perpisahan sudah di depan mata mereka. Lalita jadi kikuk.

“Terima kasih, Kak. Kak Hanif baik sama Lita.”

“Sebetulnya, saya senang bekerja dengamu. Tapi, kalau nanti kamu keluar dari sini, aku siap untuk selalu merindukanmu,” kata Hanif menggenggam tangan Lalita.

“Kak Hanif,” kata Lalita gugup. Pipi putihnya merona merah. “Malu dilihat orang,” bisiknya.

***

Lalita pekerja yang tekun dan tak mengeluh meski sering lembur; mendengarkan Mira Marga bercerita sampai larut malam. Hanya tiga bulan terakhir ini terasa melelahkan bagi Lalita. Mira Marga bercerita tersendat-sendat, ia begitu hati-hati kali ini. Berkali-kali pengarang gaek itu meminta saran dari Lalita. Berkali-kali Lalita men-delete kalimat atau paragraf yang telah tersusun, karena Mira Marga merasa bagian itu berbahaya.

“Sensitif. Batalkan saja paragraf barusan,” kata Mira Marga.

“Saya kira tidak perlu dihapus, Nek. Tokoh mantan presiden ini hanya cameo, banyak pengarang pernah melakukannya. Sebaiknya biarkan tokoh ini muncul untuk menguatkan cerita, Nek,” sahut Lalita.

“Begitu, ya?”

“Ya, Nek. Saya kira ini akan menjadi novel Nenek Mira yang paling tebal dan aktual.”

“Dan menjadi novel politikku yang pertama.”

“Nenek Mira memang luar biasa.”

“Hehe...pandai merajuk, kau,” Mira Marga terkekeh.

Pada bulan keempat, novel berlatar suasana menjelang pemilu presiden di sebuah negara kepulauan setebal 500 halaman itu selesai sudah. Butuh sebulan untuk mengeditnya, kemudian Lalita mengantar Mira Marga ke penerbit.

Biasanya, setengah jam saja Mira Marga berada di ruang editor. Kali ini, hampir empat jam Lalita duduk menahan kantuk di ruang tunggu. Mungkin karena novel Mira Marga kali ini bernuansa politik, butuh perdebatan yang lama. Politik memang melelahkan.

Dalam perjalanan pulang Mira Marga bercerita bahwa, novelnya kali ini akan mencantumkan nama Lalita sebagai partner penulis. “Editor setuju bila kau setuju,” kata Mira Marga.

 “Saya, Nek? Tetapi, saya bukan pengarang, Nek.”

“Mungkin kau bukan pengarang, tetapi kau mampu merangkai cerita. Untuk novelku kali ini, kau terlibat banyak, kau punya imajinasi yang terpendam. Dan, ini akan menjadi novel duetku yang pertama.”

“Apa saya sedang bermimpi? Nenek Mira terlalu baik pada saya.”

“Hehe...pandai merajuk, kau. Aku suka itu, hehe....”

***

Lalita mendapat cuti selama seminggu. Ia telah melalui hari-hari yang melelahkan; launching novel duetnya dengan Mira Marga, road show ke berbagai kota, diskusi literasi di berbagai kampus.

“Kau ambillah cuti seminggu. Aku juga mau istirahat, memberikan kesempatan pikiranku untuk kembali ke dunia nyata” kata Mira Marga tersenyum.

“Terima kasih, Nek. Semoga Nenek Mira mendapatkan istirahat yang menyenangkan,” sahut Lalita mencium tangan Mira Marga.

“Kau anak yang baik, Lita. Aku senang bekerja denganmu. Selamat berlibur, sayang,” Mira Marga mencium kening Lalita.

Lalita akan berkunjung ke biro jasa pengetikan, tempat kerja lamanya. Sudah lama ia tidak bertemu Hanif. Setelah itu Lalita akan pulang ke rumah, menjumpai ayah, ibu, dan Astuti adiknya. Rencana sederhana tetapi penuh makna.

Lalita naik bus kota bercat merah. Bila lancar, setengah jam ke depan ia akan sampai ke tempat kerja lamanya dan bertemu Hanif.

Di dalam bus kota, Lalita duduk di belakang sopir. Di sampingnya ada dua gadis berseragam putih abu-abu. Seorang berambut pendek dan seorang berambut panjang.

Gadis si rambut panjang memegang novel Negeri Impian dan si rambut pendek bertanya, “Apa menurutmu novel ini akan difilmkan?”

“Kukira begitu. Novel ini best seller. Pasti akan difilmkan,” jawab si rambut panjang.

Lalita tersenyum mendengar percakapan itu dan ia memiringkan tubuh menghadap dua gadis itu lalu bertanya, “Apa novel ini bagus?”

Si rambut panjang tersenyum dan mengangguk. “Bagus. Mbak belum baca?” tanyanya.

Lalita hanya tersenyum. Si rambut panjang memandang Lalita seperti sedang mengingat sesuatu. Tampaknya ia akan bertanya, tetapi temannya segera menarik tangannya ketika bus berhenti di sebuah halte yang sepi. Mereka bergegas turun.

Bus bergerak pelan meninggalkan halte. Lalita memandang ke luar jendela dan melihat dua gadis itu seperti sedang berdebat. Tampak si rambut panjang menunjuk-nunjuk novel di tangannya lalu menunjuk ke arah bus kota yang Lalita tumpangi.

Lalita tersenyum. Lalita mengerti bahwa dua gadis di halte tadi baru sadar bila foto Lalita ada di sampul belakang novel itu, bersanding dengan foto Mira Marga.

Lalita menghela napas dan bersyukur atas kebahagiaan yang hadir di usia mudanya. Dan, di halte berikutnya Lalita turun, lalu berjalan beberapa puluh meter untuk menemui Hanif.

Sambil terus berjalan, Lalita mengambil ponsel dari dalam tas, menghubungi seseorang. Setelah berbalas salam dan berbasi-basi sejenak, Lalita bertanya, “Kak Hanif punya waktu luang, nggak?”

“Untuk kamu, selalu kusiapkan waktu luang. Ada apa, sayang?”

“Lita sudah melalui hari-hari yang melelahkan dan menyenangkan. Banyak yang ingin Lita ceritakan. Lita harap Kak Hanif nggak bosan dengar cerita Lita. Lita butuh pendengar setia, Kak.”  

***SELESAI***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)