Cerpen
Disukai
7
Dilihat
2,316
PENANTIAN
Drama

Perempuan itu sedang termenung. Fikirannya menerawang jauh, berusaha mencari jejak suaminya yang tak kembali. Tiga bulan berlalu, dan perempuan itu masih menunggunya. Berharap penuh kecemasan. Penantian itu sepertinya akan berujung lama. Bayinya yang berusia lima bulan tergeletak tidur disampingnya. Pulas. Tak merasa terganggu meskipun seekor nyamuk hinggap di tumitnya, dan menghisap darah mudanya.

“Kapan kau akan pulang, suamiku?” batinnya sering bertanya-tanya, “Tidakkah kau rindu padaku dan anakmu ini.” lanjutnya lagi.

Perempuan itu berusaha menahan airmatanya, tapi semakin dia berusaha menahannya, semakin sedih hatinya. Perempuan itu menangis dalam dekapan dua tangannya yang menutup wajahnya yang sendu. Sendiri. Menahan rasa pilu yang menggugah nurani untuk berontak melawan sesuatu yang tak pasti.

“Pulanglah.” katanya pelan dalam hati.

Hidup dalam penantian memang cukup sulit baginya, tapi perempuan itu tetap bertahan. Bersaing dengan waktu yang membelah asa penantian. Ketika dia melihat bayinya, harapan itu selalu kembali. Perempuan itu berusaha tersenyum dalam tangisnya. Perempuan itu menaruh kecupannya di kening sang bayi. Semoga penantian ini akan segera berakhir.

Dua hari yang lalu, perempuan itu berhadapan dengan bapaknya. Perempuan itu menangis ketika Bapak memintanya menceraikan suaminya. “Percuma kau menunggu suamimu.” kata sang bapak menatapnya, “Suamimu tidak akan kembali. Dia sudah mati.”

“Tidak.” jawab perempuan itu, “Mas Beni pasti akan pulang, Pak.”

“Darimana kau tahu?” tanya sang bapak mengujinya.

Perempuan itu terdiam, dia tak sanggup menjawab pertanyaan Bapaknya.

Satu menit berlalu, bapak dan anak masih terdiam dalam posisi duduknya yang terpaku. Bagaikan hidup dalam ketidakpastian, itulah yang dirasakan oleh perempuan itu. Dia terus menanti, menanti, dan tetap menanti sampai suaminya pulang mengetuk pintu.

Kapankah hal itu akan terjadi? Ntahlah. Batinnya merasa bimbang.

***

Bayinya menangis. Susu kaleng sudah habis. Wajah perempuan itu kembali pilu. Matanya berubah sendu. Bibirnya bergetar berusaha menahan rasa sedihnya supaya tak kembali. Perempuan itu menyalahkan dirinya sendiri, payudaranya tidak bisa mengeluarkan air susu untuk bayinya. Terkadang perempuan itu merasa tak berguna dihadapan bayinya. Hanya dekapan yang bisa diberikannya untuk sang bayi yang tak henti-hentinya menangis.

“Maafkan ibumu ini, Nak.” kata perempuan itu sambil mengecup kening bayinya.

Pintu kamar itu terbuka, dan sang bapak berdiri tegap di tengah-tengah lubang pintu yang menganga lebar, “Kenapa bayimu menangis?” tanya bapaknya.

“Susu kaleng anakku sudah habis, Pak.” jawab perempuan itu.

“Belilah susu untuk anakmu.” kata sang bapak sambil mengulurkan uang seratus ribu, dan perempuan itu menerimanya.

Ntahlah apa yang bisa dilakukan perempuan itu tanpa bapaknya. Ketika dia melihat bayinya yang masih kecil, perempuan itu merasa perjuangannya baru saja dimulai. Dia harus mencoba bertahan untuk bayinya dan masa depannya.

***

Lelaki itu terdampar dalam keheningan. Perahu kayu sudah kandas ditelan ganasnya laut. Sekarang dia hanya bisa menyesali dirinya sendiri, kenapa waktu itu dia tak mendengarkan kata-kata istrinya?

Jika saja lelaki itu menuruti kata-kata istrinya, tentunya sekarang dia masih bersama istri dan bayi mungilnya. Memancing memang hobi lelaki itu, tapi dia tidak mengira kesenangannya akan membawa petaka yang berkepanjangan. Ombak lautan sudah menelan perahu dan teman-temannya. Hanya lelaki itu yang berhasil selamat, dan terdampar di pulau kecil tak berpenghuni.

Lelaki itu hanya termenung dalam duduknya di hamparan pasir. Sudah lama dia tidak bercukur. Kumis dan janggutnya sudah tumbuh lebat menutupi sebagian wajahnya. Lelaki itu berada dalam kesepiannya yang tak berujung.

“Sampai kapankah aku berada disini?” tanya lelaki itu dalam hati, “Apakah aku akan terpisah selamanya dari anak istriku?”

Lelaki itu berusaha bertahan melawan waktu. Dia tidak boleh mati di pulau hening.

“Istriku, tunggulah aku pulang.” kata lelaki itu dengan bibir bergetar. Sudah cukup lama lelaki itu bertahan, setiap detik dia selalu berharap datangnya kapal laut atau perahu nelayan melintasi pulau terpencil.

Untuk bertahan hidup, lelaki itu mengandalkan nalurinya yang terbatas. Air yang selalu diminumnya dia dapat dari buah kelapa. Daging yang dimakannya berasal dari ikan-ikan dan tikus hutan pulau itu. Terkadang perutnya sakit karena pencernaannya terganggu. Lelaki itu tidak biasa menjalani kehidupannya yang sekarang, tapi dia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan bertahan sampai batas kemampuannya.

Jika dia harus mati, maka dia akan mati dengan rasa bangga karena sudah memperjuangkan batas hidupnya.

Lelaki itu pantang menyerah, dan satu-satunya alasan dia bertahan di pulau itu adalah karena anak istrinya. Lelaki itu ingin mendekap kembali anak istrinya dalam dekapan tangannya. Rasa rindunya sudah tak terbendung lagi. Sebuah rakit yang sedang dibangunnya harus mampu membawanya pulang melintasi lautan dan ganasnya ombak. Harus!

***

Malam sudah datang, dan ombak lautan masih menderu-deru kasar. Desiran angin pantai membuat api unggun tak bisa diam. Lelaki itu meringkuk dalam balutan hamparan pasir. Selimutnya adalah malam, dan atapnya adalah langit gelap. Lelaki itu masih berharap keajaiban datang menghampirinya. Seandainya ada seseorang diluar sana yang melihat asap dari api unggunnya, tentu dia akan diselamatkan. Tapi sampai detik ini, tak ada seorangpun yang melihat penderitaannya terdampar dalam kesendirian dan kesunyian malam.

Lelaki itu menengadahkan wajahnya ke langit, berharap bintang akan turun dan membawanya pulang. Tapi bintang itu hanya diam diatas sana, seakan tidak perduli pada apapun dibawahnya. Kerlipnya bintang membuat matanya mengantuk, dan lelaki itu tertidur dalam gelapnya malam dan berisiknya desiran ombak.

***

Bapak mempertemukan perempuan itu dengan lelaki lain. Menurutnya, lelaki itu sempurna. Sesaat perempuan itu menatap lelaki lain dihadapannya. Tampan. Kaya. Wajahnya penuh kasih sayang. Lelaki itu tersenyum, dan perempuan itu membalas senyumannya.

“Menikahlah dengannya.” kata bapak pada perempuan itu.

“Bagaimana dengan suamiku, Pak?” tanya perempuan itu.

“Suamimu tidak akan kembali. Dia sudah tertelan ombak.” jawab bapak, “Percuma kau menunggunya. Lebih baik kau pikirkan masa depan anakmu. Dia butuh kasih sayang seorang bapak. Lelaki ini mau menjadi pengganti suamimu, dan kau harus menerimanya.”

Perempuan itu hanya terpaku dalam diamnya. Fikirannya kini sudah bercabang dua, antara menerima lamaran lelaki baru itu ataukah tetap menunggu suaminya pulang? Jika dia menerima lelaki baru itu masuk dalam kehidupannya, maka masa depannya mungkin akan lebih baik. Tapi jika dia menolak lamaran lelaki baru itu, maka masa depannya akan tak pasti. Suaminya belum tentu pulang, atau bahkan dia tidak akan pernah pulang, karena lautan sudah menelannya bulat-bulat.

Dalam bimbangnya, perempuan itu masih terpaku.

***

Lelaki itu sedang sekarat. Tubuhnya tak berdaya. Samar-samar matanya yang sulit terbuka melihat kedatangan sebuah perahu nelayan. “Apakah dia malaikat yang menjemputku?” tanya lelaki itu dalam hatinya, “Beginikah rasanya mati?”

***

Perlahan namun pasti, perempuan itu bisa menerima lelaki baru dalam hidupnya. Dalam dekapan lelaki barunya, perempuan itu sudah merasa nyaman. Bahkan saat ini dia sudah mengandung benih cinta dari lelaki barunya. Ingatannya pada mantan suaminya kini sudah mulai pudar.

Hidup baginya sudah mulai berwarna. Kesepian karena penantian yang tak pasti sudah tidak menguasai batinnya. Perempuan itu sudah bangkit dengan hidupnya yang dulu sempat terpuruk.

Ketukan pintu membuatnya beranjak, dan perempuan itu terpaku melihat lelakinya pulang. Setahun ini sudah banyak yang berubah, dan lelaki itu sadar kalau perempuan itu bukan istrinya lagi.

*****

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)