Cerpen
Disukai
7
Dilihat
1,922
COPET
Drama

Mereka bertanya, apa aku malu mempunyai seorang bapak copet? Aku jawab, tidak! Aku ingat bapak pernah bilang kalau mencuri itu haram hukumnya. Sampai sekarang aku masih camkan dalam-dalam nasehat bapak dibenakku. Sempat mereka bertanya padaku, apa aku malu mempunyai bapak copet? Aku jawab tidak! Bagiku, bapak adalah sosok lelaki tangguh yang siap mengambil resiko terburuk untuk kelangsungan hidup anak dan istrinya.      

 Siang ini aku duduk sendirian diruang kelasku. Semua teman-temanku sedang asyik beristirahat diluar sana, tapi aku lebih memilih sendiri disini untuk merenung. Aku suka dengan kesendirian, aku sangat menikmati keheningan. Mungkin orang mengira aku introvert, tapi bagiku “Sendiri Itu Indah.”

 Hampir semua teman-temanku bilang aku ini orang pintar, tapi kenapa aku harus masuk disekolah yang paling bobrok, sering tawuran dan cari musuh dengan sekolah lain. Sejujurnya dari awal aku tidak pernah mau masuk sekolah bobrok ini, tapi karena ibuku seorang guru ditempat ini yang ingin aku masuk dalam pengawasannya, akhirnya aku harus mengikuti kehendak ibuku bersekolah disini. Sungguh tidak enak rasanya menjadi singa diantara kawanan kambing. Menjadi pintar diantara kawanan orang bodoh.

    Hari ini hatiku gundah. Adikku sedang sakit terkena demam berdarah. Sudah tiga minggu Sita tak masuk sekolah dan harus menjalani opname di rumah sakit. Banyak sudah uang yang dikeluarkan bapak untuk biaya penyembuhan Sita.    

   Disaat fikiranku suntuk, aku mendengar dering handphone diruang kelas ini. Aku yakin Laras tidak sengaja meninggalkan handphone itu. Aku berusaha menahan niat jahat ini, tapi fikiran setan terlalu kuat menguasai hatiku. Aku mengambil handphone yang tergeletak begitu saja disamping tas milik Laras. Aku tahu apa yang kulakukan ini salah, tapi aku sudah terlanjur melakukannya, dan sekarang aku sudah dirundung rasa takut. Seandainya aku bisa menghilang, aku akan menghilang sejauh mungkin dari ruangan kelas ini supaya rasa takut ini bisa cepat hilang seketika dariku.

  Belum genap sepuluh menit, kabar tersiar heboh di sekolah. Aku melihat Laras menangis karena handphone-nya hilang dicuri orang. Badanku terasa kaku. Rasa takut ini tambah meluas menggerogoti tubuhku. Bodohnya aku, aku lupa mematikan handphone itu. Ketika Robi sengaja menelfon handphone-nya Laras, akhirnya semua terungkap jelas setelah handphone itu berdering keras disaku kanan celanaku. Semua orang memperhatikanku tajam. “Ohh jadi kau malingnya!” kata Robi padaku dengan marah.

   Mereka menghampiriku. Habislah aku. Mereka semua mengelilingiku dengan ekspresi marah. “Mana handphone Laras!” sentak Robi. Aku diam, tapi jantung ini berdebar kencang ketika mereka menggeledah isi kantongku dan menemukan handphone itu. “Dasar maling!” seru mereka yang lantas memukuliku.

    Kejadian pemukulan itu hanya berlangsung kira-kira satu menit, tapi bagiku tubuh dan jiwa ini terasa sudah mati. Untunglah ibuku yang guru kimia itu menghampiriku dan memisahkan mereka dariku. Ibuku melindungiku dengan badannya, dia memelukku erat, “Sudah... Sudah... Hentikan!” sentak ibuku pada semua temanku. Malunya aku ketika melihat ibuku menangis memohon supaya mereka tidak memukuliku. Tragedi kamis siang itu benar-benar sangat memalukan bagiku dan juga ibu. Untuk pertama kalinya dalam hidupku merasa tidak nyaman menjadi bulan-bulanan orang. 

***

  Bapakku pulang, dan beliau langsung memperhatikanku tajam, “Kenapa kamu?” tanya bapak heran melihatku. “Kamu tawuran?” lanjutnya. Saat itu aku benar-benar merasa ketakutan melihat bapakku sendiri. Aku takut bapak akan marah besar ketika tahu anaknya adalah seorang pencuri. Rasa takut ini terasa bertambah besar menyelimuti keberanianku yang sudah mulai surut. Matilah aku!

   “Anak kita seorang pencuri, Pak.” kata ibuku yang baru saja keluar dari kamarnya. “Dasar anak nggak tahu diri! Beraninya kamu bikin malu keluarga!” sentak bapakku. Mendadak pipi ini terasa panas ketika bapak menamparku keras. Aku menerimanya karena memang aku yang salah. Aku sadar bapak sedang pusing memikirkan beban yang harus ditanggungnya untuk keluarga, dan apa yang sudah kulakukan ini hanya menambah beban fikiran bapak. Aku memang anak tidak berguna! Seharusnya aku bisa membantu kedua orangtuaku, bukannya menambah beban mereka. Seandainya aku ditanya, apa aku menyesal? Tentu saja aku sangat menyesal, tapi penyesalan selalu datang terlambat.

***

          Malam itu aku duduk sendiri dan terpaku dikasur. Perlahan pintu kamarku terbuka, bapak berdiri disana memperhatikanku. Wajahnya terlihat pilu, kemudian dia menghampiriku dan duduk disebelahku, “Bapak minta maaf karena udah menampar kamu.” kata bapakku terdengar pelan. “Nggak apa-apa, Pak. Ade pantas menerima tamparan bapak.” jawabku pelan juga. “Camkan ini baik-baik! Mencuri itu haram hukumnya!” kata bapakku tegas sekaligus lembut.

          Aku tahu siapa bapakku. Bapak adalah seorang lelaki yang sabar dan sangat mencintai keluarganya. Kejadian itu adalah kali pertama bapak menamparku. Mungkin apa yang sudah kulakukan sangat mengecewakan hatinya.

Pagi itu suasana sekolah tampak riuh. Hampir semua murid disana sedang berdemo meminta kepala sekolah mengeluarkanku dari sekolah. Aku dan ibuku hanya bisa terdiam diruang guru bersama Pak Solihin, sang kepala sekolah. Beberapa guru yang ada diruangan itu bersimpatik pada kami, terutama Ibu Kurnia yang adalah kawan akrab ibuku. Mereka meminta kami untuk tabah dan sabar menghadapi semua cobaan ini.

Aku sadari beban ibuku terlalu berat, lalu ibu menarik tanganku untuk menghadapi mereka. Kami berdiri disamping Pak Solihin. Melihatku disana, kegarangan mereka bertambah gila. Mereka melempariku dengan batu sembari mengutukku dengan kata-kata sadis. Aku pasrah, tapi Pak Solihin dan ibuku rela berdiri menjadi tamengku didepan mereka.

          “Kalau kalian mau melempari Ade dengan batu-batu itu! Silahkan!” seru Pak Solihin sambil tetap berdiri didepanku. Mereka ragu melempariku karena sosok kepala sekolah yang bijak itu berdiri menghalangi mereka.

          “Kenapa bapak membela maling itu! Apa bapak mau sekolahan ini jadi sarang maling!” kata Robi yang diikuti oleh teriakan-teriakan garang mereka yang membenciku.

          Ketika mereka melihat ibuku tersimpuh, mereka langsung diam. Aku melihat ekspresi garang itu perlahan mulai hilang di wajah mereka, lalu aku memberanikan diri maju selangkah, “Maafkan saya. Saya menyesal sudah mencuri handphone milik Laras. Saya janji nggak akan mengulanginya lagi. Saya janji nggak akan maling lagi!” 

***

          Hatiku gelisah ketika aku mendengar kabar dari Reza yang sempat melihat bapakku dan dua temannya mencopet di bis kota. Kesaksian Reza tentang bapakku sungguh sangat menyiksa batinku. Malam itu bapak pulang dengan membawa sejumlah uang. Tiga juta rupiah bapak berikan pada ibuku. Saat itu aku duduk bersama mereka.

          “Uang darimana ini, Pak?” tanya ibuku sedikit curiga.

          “Itu uang pinjaman dari teman.” jawab bapak terlihat santai dan tanpa beban.

          “Teman siapa?” tanya ibu kembali.

          Ibu mempercayainya, tapi aku tidak.

“Bapakku orang baik. Bapak nggak mungkin jadi copet! Reza udah salah melihat orang! Yang dilihatnya mencopet itu bukan bapakku!” Itulah yang selalu aku katakan ketika fikiran buruk ini timbul tenggelam dibenakku.

***

          Samar-samar aku melihat sosok yang sangat kukenal. Sosok itu adalah bapakku. Aku melihat bapak sedang berjalan bersama dua temannya. Aku langsung mengikuti mereka. Aku sengaja menjaga jarak kira-kira sepuluh meter jauhnya supaya bapak tidak menyadari aku mengikutinya. Aku ingin tahu apa yang akan dilakukan bapak dengan dua temannya itu.

          Siang itu bis dalam keadaan penuh sesak. Bapak dan dua temannya menyelinap ditengah-tengah kerumunan penumpang yang saling berdesakan. Sementara aku hanya berdiri dibelakang memperhatikan tingkah bapakku. Tiba-tiba seorang perempuan setengah baya berteriak, “Copet. Copet... Copet!”

          Serentak beberapa penumpang laki-laki di bis itu langsung memukuli bapakku dan dua temannya yang bersusah payah turun dari bis untuk menghindari amuk massa. Bis sengaja dihentikan ditengah jalan ketika bapakku dan dua temannya kabur. Hampir semua penumpang turun dari bis dan mengejar mereka. Jalanan serentak macet ketika beberapa supir angkot ikutan berhenti dan memukuli bapakku bertubi-tubi. Sementara dua temannya berhasil kabur. Aku tidak berani menolong bapakku karena takut mereka akan menganggapku komplotan copet juga.

***

          Kejadian itu sudah seminggu berlalu dan kini bapakku mendekam lemah di sel dingin penjara. Pengadilan sudah memutuskan hukuman lima tahun penjara dipotong masa tahanan untuk bapakku. Lima tahun adalah waktu yang sangat lama bagi kami hidup terpisah dari bapak, apalagi kesusahan hidup selalu menjerat kami. Disaat adikku sudah sembuh, kini bapakku yang menderita dalam bui. Meskipun begitu semua hal yang terjadi dalam hidupku, haruslah aku syukuri tanpa harus bersungut-sungut. Aku harus kuat…!

*****

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)