Cerpen
Disukai
6
Dilihat
1,574
JERITAN HATI
Drama

Aku menangis. Penyesalan ini begitu besar kurasakan. Aku telah meniduri ratusan kumbang dalam hidupku, dan kini ada seekor kumbang yang mau menikahiku. Kumbang itu mencintaku setulus hatinya dan mau menerimaku apa adanya. Lelaki itu bagaikan kumbang penyelamat yang bisa melepasku dari lingkaran setan prostitusi. Lelaki itu menyukai pelayananku di ranjang mesum. Bunga dalam hatiku bermekaran ketika kumbang itu menghisap maduku. Mataku dibuatnya buta karena cinta. Hampir setiap hari kumbang itu datang dalam ruang hatiku dan menyatakan cintanya padaku. Aku terlena dalam pelukannya yang begitu hangat. Bibirku gemetar ketika dia mengecupku. Bulu kudukku berdiri ketika dia menghembuskan nafas cinta itu di sekujur tubuhku. Aku sadar dan membiarkan diriku terbelenggu oleh pilar-pilar kokoh rasa cintanya.

Setelah kami mengucapkan janji suci dalam ikatan pernikahan, rasa cintanya bertambah besar padaku. Setiap hari dia selalu mengucapkan cintanya ditelingaku, “I love you, Clara.”

Aku tersenyum dan selalu membalasnya, “I love you too, Danny.”

Hari demi hari kami lalui dengan kebersamaan yang penuh kasih, nafsu dan keinginan saling memiliki. Lelaki itu benar-benar sudah menjerumuskanku dalam lubang cinta terdalam yang menggairahkan. Setiap kecupannya sangat berarti bagiku. Pelukannya selalu bisa menghangatkan raga dan jiwaku. Bahtera hidup kami sangatlah sempurna, sampai kabar itu datang menerpa bagaikan badai tornado yang menghancurkan puing-puing terindah kebahagiaan kami. Sang dokter bilang dalam rahimku sudah terkandung janin sebagai buah dari cinta kami. Aku sangat berharap suamiku akan bahagia ketika aku berbisik padanya, “Aku hamil.”

Tepat jam delapan malam, suamiku pulang. Seperti biasa aku menyambutnya dengan senyuman, lalu beranjak memeluknya erat.

Aku bisikkan kata-kata itu ditelinganya, “Aku hamil.”

Dia menatapku tajam. Kali itu tatapannya terasa aneh kurasakan.

“Gugurkan kandunganmu, Clara!”

Aku terkejut mendengar kata-kata itu yang keluar dari mulut lelaki yang sangat kucintai. Aku lepaskan pelukanku dari pundaknya, aku beranjak sedikit menjauhinya, tapi aku masih menatap matanya.

“Kenapa?” tanyaku heran.

“Aku mencintaimu, Clara.”

Mataku mulai berkaca-kaca, dan setetes airmata mulai keluar dari kedua kelopak mata ini, “Kenapa, Danny?” tanyaku lagi.

“Aku tidak ingin seorang anak lahir dari rahimmu, Clara.”

Batinku berontak. Hatiku bergejolak. Mulut ini terasa kaku dan bibirku terasa bisu. Aku terdiam seperti patung dan merasa tak percaya dengan kondisi yang sedang kuhadapi.

Lelaki itu bergerak menjauhiku.

“Aku tidak ingin menggugurkan bayi ini!” seruku lantang.

Lelaki itu menghentikan langkahnya tanpa menatapku, “Terserah maumu, Clara!”

Dalam sekejap tembok cinta kami mulai runtuh. Puing-puing kesedihan dan rasa kecewa bertebaran menghantui jiwaku yang menderita.

Di kegelapan malam, aku selalu menangis dalam kepiluan. Masa laluku memang menjijikan, tapi kenapa lelaki itu memilihku? Seribu tanya tertanam dalam benakku tentang dia. Seperti apakah diriku dimatanya sekarang?

Semua keindahan cinta telah berlalu dari pandanganku. Hatiku hancur berkeping-keping ketika dia memiliki cinta yang lain. Gadis itu memang cantik. Jilbab yang menutupi auratnya sudah menghipnotis lelakiku dalam dekapan cintanya yang penuh hasrat. Namanya adalah Aisah, kini gadis itu telah menjadi pilihan lelakiku. Aku merasa terkalahkan. Cintanya kepadaku sudah beralih dan tercurah sepenuhnya untuk Aisah. Pundi-pundi cintaku sudah kosong dan retak oleh karena gadis itu. Lelakiku sudah mencampakkan aku ditengah tebing curam keputusasaan. Aku merasa sendiri dalam dekapan sepi memeluk jabang bayi dalam perutku.

Anakku, lihatlah ibumu yang sedang hancur hati karena kehilangan cinta dari seorang lelaki perkasa. Anakku tidaklah berdosa, dia tak pantas menerima cobaan ini. Demi cinta, aku akan membesarkanmu dan merawatmu sampai dewasa. Ibumu akan selalu ada disampingmu, meskipun ayahmu sudah menjauh dari kita.

Sembilan bulan aku mengandung, dan hari ini aku menjerit menahan sakit ketika kau dilahirkan ke dunia. Ayahmu tidak ada disamping kita, tapi ibu akan selalu setia didekatmu, memberimu susu terbaik dan kasih sayang yang tak lekang oleh waktu.

Tangisanmu adalah hiburan untukku. Senyumanmu adalah hadiah terbesar dari rasa cinta yang kurasakan. Ketika ku bersujud, ku syukuri kehadiranmu.

Dalam menyusuri jalan hidup yang berliku, aku selalu pasrah. Lelakiku sudah bersama dengan dia yang mencintainya. Mereka memiliki bahtera sendiri dalam mengarungi lautan kebahagiaan yang pernah kurasakan. Dalam duka, aku selalu mendoakan yang terbaik untuk mantan lelakiku dan gadis pilihannya.

Lima tahun sudah berlalu, dan anakku mulai bertanya tentang ayahnya, “Ibu, dimana ayah?”

Aku terdiam seribu kata.

Anakku yang kunamakan Danny seperti nama ayahnya, menatapku tanpa berkedip. Aku selalu mengalihkan perhatiannya pada hal lain, tapi pertanyaan itu selalu terulang dia tanyakan padaku. Aku menangis sambil memeluknya erat. Batinku merintih, tapi aku tak berdaya menjawabnya.

“Apa ayah sudah meninggal, Bu?”

Aku mengangguk pelan dan berusaha menanamkan doktrin itu dalam benak anakku. Sejak saat itu, anakku tak pernah menanyakan perihal tentang ayahnya lagi.

Di rumah petak kontrakan yang sempit ini, aku hidup bersama anakku. Kami saling berbagi kasih dalam dekapan hangat sang waktu. Ketika aku menangis, anakku selalu bisa membuatku tersenyum. Tawanya yang riang dan tingkahnya yang lucu membuatku selalu bergairah menghadapi hidup yang tak menentu. Aku berharap kebersamaan ini tak akan pernah sirna dalam hidup kami, tapi keputusan pengadilan telah menetapkan anakku harus hidup menetap bersama ayahnya dan ibu tirinya. Ketukan palu sang hakim telah membuat keputusan itu syah di mata hukum, tapi tidak di mata hatiku. Aku masih mempunyai waktu satu jam untuk melanjutkan kebersamaan ini dengan darah dagingku.

Hidup memang tidak adil, tapi semua itu harus kulalui dengan sikap pasrah dan tawakal. Satu jam adalah waktu tersingkat dalam hidupku untuk mengakhiri kebersamaan kami. Dalam dekapanku, anakku terlelap dalam mimpinya. Aku membaringkannya di kasur kapuk yang lecek, lalu aku duduk menunggu pintu rumah diketuk, menanti kedatangan mantan lelakiku bersama istrinya. Sesekali aku melihat kearah jam dinding, menit berlalu begitu cepat, begitu pun dengan detik. Tanpa terasa satu jam telah kulalui dengan singkat.

Bunyi ketukkan pintu telah menyadarkan nalarku. Mereka sudah datang untuk membawa anakku pergi dari sisiku. Ketika aku membuka pintu, aku melihat mantan lelakiku bersama dia yang dicintainya. Aku menangis, tapi rasa kasihan tak nampak terlihat dari raut wajah mereka. Keinginan memperoleh seorang keturunan yang tak juga didapatkan telah membutakan mata hati mantan lelakiku untuk merebut kebahagiaan kami. Aku bersimpuh di depan mereka dan memohon supaya mereka tidak membawa anakku, tapi keputusan pengadilan telah membuat mereka kuat di mata hukum. Aku yang terkalahkan hanya bisa pasrah ketika mereka membawa anakku melaju dengan mobil mewah menjauhi naluri.

Tangisanku sudah mengering. Dalam kesendirian aku harus menjalani hidup penuh kesunyian dan rasa rindu yang mendalam pada anakku.

Anakku, jangan lupakan aku ibumu.

Terlintas beberapa kali dalam mimpiku melihat anakku menangis sendu merindukanku, tapi disaat bersamaan aku melihat anakku tertawa riang dalam dekapan mereka yang telah merenggutnya dariku. Mimpiku memang aneh, sebenarnya apa yang telah terjadi menimpa anakku?

Ketika ku bersujud, ku memohon anugrahmu, Tuhan. 

Siang ini, ditengah teriknya sinar mentari, aku mengumpulkan segala keberanian jiwaku untuk menemui anakku dirumah megah mereka. Aku melangkahkan kedua kaki ini menghampiri pintu gerbang raksasa yang membentengi jarak semu antara aku dan anakku. Aku genggam erat besi-besi gerbang itu dan memanggil anakku berkali-kali, “Danny… Danny… Ini ibu, Nak.”

Tak lama, Danny kecilku keluar dari rumah dan berlari menghampiriku, “Ibu…” serunya padaku. Tapi gerbang ini menghalangi pelukan kami.

“Aku kangen sama ibu.” katanya pelan berbisik ditelingaku.

“Ibu juga kangen sama kamu, Nak.” jawabku terbata-bata sambil menggenggam erat kedua tangan mungilnya.

“Ibu mau jemput aku pulang, kan?” tanya anakku penuh harap dalam senyumannya.

Aku hanya mengangguk pelan. Airmata ini kembali deras mengalir dari kelopak mataku, “Iya, Nak.”

Anakku tersenyum lagi. Hatiku lega melihat senyuman itu kembali muncul dari raut wajahnya yang lugu. Tapi mantan lelakiku dan istrinya langsung keluar dari rumah, lalu menarik tubuh mungil anakku menjauhi aku. Mereka dekap erat-erat Danny kecilku supaya tidak bisa beranjak mendekatiku lagi. Dalam kepiluan ini, kami menangis karena saling terpisahkan oleh kondisi yang buruk. Aku memohon pada mereka untuk mengizinkan kami bersama sehari saja, tapi mereka menolak dan mengusirku pergi. Hatiku terluka. Tuhan, tolonglah aku? Kenapa mereka yang dulu pernah menolak kelahirannya, kini merenggutnya dariku. Mantan lelakiku yang dulu tak sudi mempunyai seorang anak dari rahimku, malah kini gencar mengambilnya dari dekapanku.

Aku memang bukan wanita suci dari masa laluku, tapi sebagai ibu aku berhak atas anakku. Darah yang mengalir dalam tubuh kecilnya adalah darahku juga. Air susuku telah membesarkannya menjadi seorang anak yang lucu dan pintar. Mereka itu adalah orang-orang buta yang sudah gelap mata merebut kebahagiaan kami. Disaat mereka sedang membutuhkan keturunan, mereka tega merenggut anakku.

Ketika ku bersujud, semua kenangan buruk itu kembali hadir dalam benakku. Aku menangis. Untuk saat ini aku telah kehilangan anakku, tapi aku masih mempunyai “waktu” yang akan menjaga hubungan terindah antara aku dan anakku. Aku percaya, anakku tak akan pernah melupakan aku sebagai ibunya. Suatu saat nanti, dia akan kembali kepelukanku untuk menyatakan rasa sayangnya yang sudah terpendam karena perpisahan ini. Saat itu akan sangat kunantikan sebagai saat terbahagia dalam hidupku.

Anakku, ingatlah aku ibumu. Meskipun ibu tak mempunyai kuasa untuk membawamu pulang, tapi hati ini selalu ada bersamamu, sampai akhir waktu.

***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)