Masukan nama pengguna
Aku mempunyai mimpi dan aku ingin bermimpi sepuas hati.
Aku adalah manusia yang kau lahirkan, bukan robot yang kau ciptakan.
Aku memiliki akal dan jalan hidupku sendiri, tidak untuk kau setir sekehendak hati.
Disamping jendela rumah mewah ini, aku menangis.
Hujan turun rintik-rintik seakan menambah rasa pilu.
Malam ini adalah malam tersendu dalam ribuan malamku.
Kamar ini kunamakan hampa. Sakit ini kurasakan belenggu.
***
Sejak usiaku 5 tahun, aku harus mengesampingkan indahnya masa kecil demi mencari uang. Mereka menempaku sebagai tulang punggung pencari uang. Masa kecilku tak bahagia, tapi aku tak pernah mengeluh. Lagipula mereka tak akan mendengarku.
***
Tujuh belas tahun usiaku kini. Segala kemewahan dan ketenaran hidup sudah aku dapatkan untuk mereka. Kami tinggal di rumah megah tanpa kekurangan materi.
Ketika aku ditanya, apa aku bahagia? Aku jawab tidak.
Disaat aku menikmati segala kemewahan ini, aku harus bergelut dengan kanker yang sekali waktu bisa merenggut nyawaku. Kedua mata ini terasa berat untuk terlelap. Lambat laun, aku terbaring tidur. Mataku tertutup rapat, tapi hatiku tidak. Batinku menangis. Indahnya hidup ini benar-benar tak pernah kurasakan. Aku memimpikan cinta. Disaat aku benar-benar sendiri. Fikiranku menerawang lepas tak terkekang. Aku ingin bebas dari belengguku. Diperempatan jalan, aku tersesat.
***
Aku melihat lautan yang sangat luas. Hamparannya begitu indah. Cakrawala membiru dalam pandanganku, seperti refleksi keindahan surga yang terpantulkan ke muka bumi. Aku menghampiri surga itu dan duduk terpaku ditepiannya bersama orang-orang yang merindukan kehangatan Surya. Aku merenung. Seandainya aku menjadi sebutir air, hidupku tak akan pernah kehilangan arah. Arus yang menderu-deru akan membawaku menuju muara kebahagiaan.
Seorang gadis menghampiriku dan menyapa, “Kamu sedang apa?”
Aku terpana melihat kecantikannya. Gadis itu tersenyum. Aku tak membalas senyumannya. Bibir ini terasa kelu kurasakan. Menggerakannya saja aku tak mampu, apalagi harus tersenyum.
“Kamu tersesat?” tanya gadis itu lagi.
“Tidak.” jawabku singkat.
Gadis itu terdiam menatapku. Tatapan matanya mengekspresikan rasa penasaran tentangku.
Gadis itu mengulurkan tangannya, “Aku Irene… Irene Princessa Orson.”
“Marcel Febrian Oktavianus.” jawabku sambil menyambut uluran tangannya.
Sejak perkenalan itu, dalam pelarianku, aku selalu ada disamping Irene.
Sepanjang hari kami bertambah akrab dan saling mengenal pribadi kami masing-masing. Kami tidur bersama di hamparan pasir putih pesisir laut Bali. Kami menikmati setiap detik keintiman ini. Sungguh sangat menggairahkan. .
Aku tak bangga pada diriku sendiri.
Aku tak bangga pada apapun yang telah kuperoleh.
Aku ingin seperti Irene yang selalu menikmati semua yang dijalaninya. Irene seorang gadis pengembara. Keluarganya berada di Australia, dan Irene mengabdikan dirinya tinggal di Bali untuk mengurus ratusan penyu di penangkaran.
Aku kagum pada pengabdian gadis ini yang rela mengorbankan kehidupan pribadinya untuk penyu-penyu yang tak dikenalnya.
Inilah maksudku cinta sejati.
Ketika aku bersama Irene, aku tak merasakan lagi adanya kehampaan, dan sejenak bisa melupakan kanker kronis yang mengganas ini. Irene sudah menjadi obat penyembuh untukku.
Disaat bersamanya, aku sangat menikmati waktuku yang dulu pernah hampa tanpa rasa.
Malam itu, aku termenung dalam pembaringanku bersama Irene. Sesekali aku memperhatikan wajahnya yang manis. Matanya sudah terpejam. Irene sudah berada dalam mimpinya. Aku melihat wajahnya yang damai dalam lelap tidurnya. Irene adalah gadis yang tangguh. Aku membanggakannya. Aku coba berdamai dengan kemelut dalam diriku. Semakin aku berusaha, semakin aku terpuruk. Emosiku sudah membatu. Tuhan, cobalah tengok diriku.
***
Irene sedang duduk disampingku. Kami sangat menikmati indahnya sunset dipinggiran pantai. Aku menggenggam tangan Irene dipermukaan hamparan pasir. Sesekali Irene menatapku dan tersenyum, dan aku segera membalas tatapannya dan senyuman itu. Kami sangat menikmati keintiman ini dalam ikatan emosi yang dinamakan cinta.
“Dimana orangtuamu?” tanya Irene.
Aku terdiam.
“Pasti orangtua kamu sangat sayang sama kamu, iya kan?” tanya Irene lagi.
Kali ini aku tidak diam, aku balas menatap Irena dan memberikan jawabku, “Mereka tidak sayang padaku!”
“Kenapa?”
“Panjang ceritanya.”
“Aku punya waktu banyak mendengar ceritamu.” tegas Irene.
“Kamu pasti akan bosan mendengar cerita hidupku.”
Irene tersenyum.
Irene pendengar yang baik, ia tak pernah menyela ceritaku. Irene memperlihatkan foto keluarganya padaku, di foto itu hanya ada Irene dan sepasang suami istri berkulit gelap, “Mereka orangtua angkatku, tapi mereka sangat mencintaiku. Aku tidak pernah tahu tentang orangtua kandungku. Sedari bayi aku sudah ada di panti asuhan, dan mereka mengadopsi aku. Kamu lebih beruntung daripada aku, Marcel.” lanjutnya lagi.
Aku hanya mengangguk pelan.
“Heii… Lihat itu!” seru Irene sambil menunjuk kearah satu titik hamparan pasir dimana seekor penyu kecil baru saja keluar dari sarangnya, dan berjalan tergopoh-gopoh menuju laut. Aku menoleh kagum ketika ratusan penyu kecil bermunculan dari kedalaman pasir dan mengikuti jejak penyu pertama menuju laut. Irene mengambil penyu kecil itu, dan memperlihatkannya padaku, “Lihatlah penyu-penyu ini. Cantik kan mereka?”
Aku mengangguk dan memberinya senyuman. Aku melihat seekor penyu kecil telah kelelahan, dan hanya terdiam ditengah perjalanannya, Irene berbalik dan melihatnya, lalu dengan penuh sayang, Irene menghampiri penyu itu, mengangkatnya, lalu menaruhnya ditepian laut. Penyu kecil itu berenang kegirangan semakin dalam menyusuri arus laut yang saat itu tenang.
***
Malam ini aku tertidur lelap dalam dekapan dewi mimpi. Tubuhku yang lebih kurus dari biasanya kini mulai melemah. Nafasku tak beraturan lagi, dan detak jantungku tak menentu. Irene terbangun ketika melihat tubuhku yang lemah ini bergetar hebat. Aku mengalami stroke terdahsyat dalam hidupku.
“Marcel…!” teriak Irene penuh histeris.
Aku mendengar teriakan itu, tapi aku tak punya kuasa lagi mengontrol tubuhku, sampai akhirnya aku terkulai lemas dalam dekapan histeris Irene.
***
Tiga hari lamanya aku menyadari hidupku sudah terlalu dekat dengan maut. Kanker ganas ini sudah menyerangku terlalu dekat. Isi kepalaku sudah di tombak oleh butir-butir kesakitan yang teramat dahsyat. Selang infus sudah menembus kedalam tubuhku yang tak dapat kukendalikan lagi.
Lemah dan tak berdaya adalah aku sekarang.
Perlahan aku membuka mataku. Irene serta ayah ibuku sudah ada disampingku. Mereka menangisiku. Mulut dan bibirku ini tak dapat lagi bergerak. Jemari tangan dan kakiku terasa kaku. Seluruh tubuh ini tak bisa kurasakan lagi. Ayah menggenggam tanganku. Ibu mengusap keningku. Saat itu barulah aku bisa merasakan cinta dan sayang mereka murni hanya untukku. Aku berusaha tersenyum, tapi aku tak mampu.
Aku mendengar Irene bicara pada ayah ibuku dan meminta maaf karena sudah membuatku menderita. Tidak seharusnya Irene meminta maaf seperti itu, justru akulah yang harus berterima kasih padanya karena sudah membawaku berkelana lima hari dalam kebahagiaan hidup dan keikhlasan diri yang penuh.
***
Ayah yang dulu pernah aku benci, sekarang mengasihiku. Ayah yang menuntun langkahku yang tak bisa berjalan seorang diri. Ibu yang selalu menyuapiku makanan yang tak bisa ku makan sendiri. Tangan dan kaki ini seperti terpisah dariku, mereka tidak melakukan fungsi sewajarnya lagi untukku. Kesengsaraan kini adalah bagian hidupku. Semua orang mengasihani aku, tapi aku butuh cinta. Cinta dari seorang Irene yang pernah aku kenal. Tapi dimanakah dia kini?
*****