Cerpen
Disukai
8
Dilihat
2,052
ANAK GERBONG
Drama

Pagi sudah menjelang, tapi sinar matahari masih belum menampakkan dirinya di ufuk barat. Suasana stasiun kereta api masih terlihat sepi dengan beberapa gerbong dan kepala kereta masih terparkir berdiam diri. Di sana ada satu gerbong yang terbengkalai sengaja dilepaskan dari jalurnya, dan gerbong itu dimanfaatkan oleh beberapa anak jalanan sebagai rumah singgah untuk sekedar istirahat, tidur atau berlindung dari hujan serta teriknya matahari siang.

Anak-anak itu masih terlelap dalam tidur dengan mimpinya masing-masing akan masa depan yang semakin terlihat suram, tapi jauh dari lubuk hati mereka yang paling dalam, mereka inginkan harapan itu tidak sirna, sebuah harapan akan masa depan yang cerah nan indah seperti sinar matahari pagi yang mulai menyongsong hangat.

Seorang anak baru terbangun dari tidurnya, dan sejenak lirih terpaku diam. Ia membersihkan debu yang masih menempel di bajunya yang lusuh. Anak itu sempat melihat sinar matahari pagi dari balik celah gerbong yang sudah karatan, kotor dan tak terurus. Kedua matanya mulai terbelalak penuh, lalu dalam diam batinnya berkata, “Perutku lapar…” dengan tangan yang mulai mengusap-usap perutnya yang selalu keroncongan setiap pagi, “Aku harus cari sarapan.” Lanjutnya lagi, lalu beranjak keluar gerbong meninggalkan teman-teman sebaya-nya yang masih terlelap dalam mimpinya masing-masing. Nama anak itu Daus, usianya 10 tahun.

Di balik pintu gerbong yang tak pernah tertutup, Daus terpaku melihat seorang sahabatnya sedang duduk di batu-batu dan rerumputan liar. Badannya tak bergeming dalam posisi duduk meringkuk dengan kedua tangan dilingkarkan mengikat kedua kakinya.

“Ngapain kamu, Ndi?” tanya Daus sekedar basa-basi, lalu beranjak menghampirinya. Andi nama bocah itu, usianya 10 tahun juga. Andi tak menjawab pertanyaan Daus barusan, ia hanya tersenyum melihat Daus yang beranjak duduk di sebelahnya. Daus melihati Andi, “Kok diem…? Kenapa…?” tanya Daus lagi, dan kali ini ia mulai khawatir pada Andi ketika melihat senyuman tadi mulai mereda dan hilang dari wajahnya, tergantikan dengan ekspresi sedih di wajahnya yang menunduk. “Kalau kamu punya masalah, cerita sama aku. Aku kan masih sahabatmu, Ndi.” kata Daus dengan tidak mengalihkan perhatiannya sedikitpun dari Andi. “Aku kangen bapak ibuku, Us.” jawab Andi dengan kata yang terbata-bata sambil menahan tangis. Bibirnya mulai gemetar, lalu tangis itu pun keluar dari dua bola matanya yang sendu. “Aku ingin ketemu sama bapak ibuku, Us… tapi aku nggak bisa. Mereka udah nggak ada.” Daus langsung beranjak memeluk Andi untuk menenangkan sahabatnya itu, “Sabar, Ndi. Kamu harus belajar ikhlas melepas bapak ibumu. Kamu tau kan mereka udah tenang di Sorga. Kalo kamu masih sedih begitu, kamu akan bikin bapak ibumu nggak bisa tenang.”

Selang beberapa menit, Daus melihat Andi sudah mulai bisa tenang. Ketika Daus mengajaknya tersenyum, Andi pun mau tersenyum meskipun kecil.

“Aku laper. Kita cari makan, yukkk…!” sela Daus, lalu beranjak dari duduknya diikuti oleh Andi. Mereka berjalan bersama menyusuri area rel berbatu itu di stasiun kereta itu, di mana terlihat beberapa penumpang sudah mulai menunggu kereta datang yang akan membawa mereka ke tempat tujuan masing-masing.

***

           Area PKL itu dekat area taman umum sudah dipenuhi beberapa pedagang di pagi itu, Daus dan Andi sedang lahap menyantap nasi uduk sambil duduk di area pinggiran trotoar.

“Abis sarapan, kita mau ngamen ke daerah mana lagi, Ndi?” tanya Daus memulai obrolan lagi dengan sahabatnya.

           “Aku nggak tau. Terserah kamu aja, Us.” jawab Andi sambil menyeruput secangkir teh hangat yang sudah disiapkan Pak Udjo, si pedagang nasi uduk. “Mau nambah lagi nggak nasi uduknya, Us, Ndi…?” tanya Pak Udjo ramah pada mereka, lalu bersamaan Daus dan Andi menjawab, “Nggak, Pak.” Pak Udjo tersenyum kecil saja menanggapi kedua anak itu.

           Tiba-tiba di ujung jalan sana terjadi kericuhan, para pedagang kaki lima berhamburan di kejar-kejar oleh satu kompi satpol PP yang bertugas membersihkan area itu dari mereka yang berdagang tanpa izin sesuai hukum yang berlaku. Beberapa di antara pedagang berhasil melarikan diri, tapi tidak sedikit di antara mereka yang harus rela terkena razia, dan gerobak dagangan mereka di sita oleh satpol PP. Pak Udjo termasuk pedagang yang tidak beruntung, gerobaknya kena razia, begitu pula dengan Daus dan Andi yang harus tertangkap satpol PP karena dianggap anak jalanan. Siang itu juga setelah di data di kantor satpol PP, Daus dan Andi dimasukkan ke panti anak yang mengurusi anak jalanan yang terkena razia.

***

           Menjalani kehidupan di panti anak jalanan yang serba teratur dengan nilai disiplin yang tinggi sempat membuat Daus dan Andi kerasan tinggal di sana. Bagaimanapun juga tinggal di panti anak jalanan lebih baik daripada menetap di gerbong kereta yang sumpek, apek dan tak nyaman.

Daus dan Andi telah sepakat untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan panti anak jalanan, dan mungkin karena telah “berjodoh” mereka sudah akrab dengan Mbak Murni, salah satu relawan pengurus panti.

Di antara beberapa orang pengurus panti, hanya Mbak Murni yang perhatian pada Daus dan Andi layaknya perhatian seorang kakak perempuan pada adik-adiknya. “Terima kasih Mbak Murni… Mbak udah berbaik hati pada anak-anak jalanan seperti kami.” sela Daus ketika sedang duduk bertiga bersama Mbak Murni dan Andi. “Iya sama-sama.” jawab Mbak Murni di selingi senyuman ramah, “Mbak udah anggap kalian sebagai adik-adik Mbak sendiri.” lanjutnya lagi, dan perkataan Mbak Murni barusan sempat meluluhkan hatinya Daus dan Andi.

           Belum genap seminggu, Daus dan Andi tinggal di panti anak jalanan tersebut, mereka mulai berkonflik dengan Boneng dan teman-teman satu genk-nya. Boneng terlalu cemburu setiap kali melihat Mbak Murni yang lebih akrab dan dekat dengan Daus serta Andi ketimbang anak jalanan lainnya, makanya Boneng sengaja cari masalah dengan Daus dan Andi melalui Mbak Murni.

           Malam itu, Mbak Murni mau pulang, dan beberapa menit sebelumnya Boneng sengaja menyembunyikan sepatunya Mbak Murni. Kebetulan Daus dan Andi melihat aksinya Boneng, hanya saja untuk saat itu Andi dan Daus hanya terdiam seakan tak mau mencari masalah dengan Boneng yang punya banyak pengikut anak-anak jalanan.

           “Cari apa, Mbak…?” tanya Boneng pura-pura polos.

           “Kamu tau di mana sepatu Mbak, nggak…?” jawab Mbak Murni sambil tetap celingukan mencari sepatunya.

           “Tau, Mbak.” tanggap Boneng dengan yakinnya, “Sepatu Mbak ada di sana ntuh…!” lanjutnya lagi sambil menunjuk ke arah kolong meja yang sudah rusak.

“Ohhh makasih ya.” kata Mbak Murni, lalu mengambil sepasang sepatunya.

“Mbak mau tau nggak siapa yang sembunyiin sepatu Mbak?” tanya Boneng seakan ingin memancing perasaan hati Mbak Murni.

“Siapa…?” tanggap tanya Mbak Murni.

“Daus sama Andi pelakunya, Mbak. Tadi aku lihat mereka sembunyiin sepatu Mbak di situ.” balas Boneng dengan seriusnya, “Mereka nakal banget. Nggak tau terima kasih. Mbak Murni udah baik sama mereka, ehhh malah di balas seperti ini.”

Mbak Murni hanya terpaku menatap Boneng, seakan tak percaya dengan ucapannya Boneng barusan. Sementara itu Daus dan Andi yang melihat serta mendengar percakapan mereka, langsung beranjak menghampiri Mbak Murni dan juga Boneng. “Mbak Murni jangan percaya omongannya si Boneng!” seru Andi yang terbakar hatinya lebih dulu. “Kami nggak mungkin ngumpetin sepatu Mbak.” kata Daus mendukung ucapannya Andi barusan. Sedangkan Boneng nampak menatap mereka dengan sinis. “Kami melihat dengan mata kami sendiri, Mbak. Boneng yang sembunyiin sepatu Mbak di sana.” kata Andi lagi berusaha memberanikan dirinya menentang Boneng. “Berani banget kalian menuduh gue.” sentak Boneng dengan amarahnya. “Kamu nggak usah munafik. Mengaku sajalah.” kata Daus memberanikan diri juga di hadapan Boneng.

Ketika Boneng hendak beranjak menghampiri Daus dan Andi, dan telah siap mengepalkan tangannya, serentak Mbak Murni melerai mereka, “Sudah, sudah… Nggak usah di ributkan. Siapapun yang sudah ngumpetin sepatu Mbak. Mbak udah maafin kok.” kata Mbak Murni dengan lembutnya. Boneng yang masih merasa panas hatinya, lalu beranjak pergi meninggalkan mereka, “Awas elu berdua…!” kata Boneng mengancam Daus dan Andi, tapi kedua anak itu tidak merasa takut.

Malam itu juga, di saat penghuni panti sudah terlelap dalam tidurnya masing-masing, Boneng dkk beranjak menghampiri kasurnya Daus dan Andi. Mereka membangunkan Daus dan Andi dengan paksa, dan menyeretnya keluar dari area kamar. Beberapa anak yang lain sempat melihat aksinya Boneng dkk, tapi mereka memilih tutup mata seakan tak mau ikut campur dengan urusan mereka.

Sempat terjadi percek-cokkan antara Boneng dkk melawan Daus dan Andi, yang akhirnya berujung pada perkelahian. Daus dan Andi tak takut melawan Boneng beserta tiga anak lainnya. Mereka saling baku hantam di malam yang gelap, sampai akhirnya nggak sengaja Daus memukul Boneng di pelipis mukanya, sehingga Boneng tersungkur ke belakang, lalu kepalanya terjatuh menimpa batu. Seketika itu juga Boneng tak sadarkan diri dengan luka berdarah di kepalanya. Serentak Daus, Andi dan tiga anak lainnya terpaku diam. Mereka shock melihat Boneng terkapar tak sadarkan diri.

“Boneng mati, nggak…?” tanya si Dodoy, salah satu anak buahnya Boneng. “Nggak tau. Mati kali, ya.” tanggap anak lainnya. “Kalo Boneng sampe mati. Kalian akan masuk penjara.” kata si Dodoy menakut-nakuti Daus dan Andi, dan berhasil. Daus dan Andi melarikan diri dengan sangat ketakutan, ketika Dodoy dan dua anak lainnya teriak, “Tolongg… Boneng mati. Daus sama Andi yang bunuh si Boneng…!” Kontan saja teriakan mereka terdengar oleh seisi penghuni panti, dan serentak mereka berhamburan keluar dari area-nya masing-masing, termasuk Pak Rahmat, ketua pengurus panti, dan beberapa pengurus lainnya, Mbak Murni juga ada di sana.

“Mana Daus sama Andi…?” tanya Mbak Murni, terlihat sangat khawatir. “Mereka kabur, Mbak. Mereka yang udah bikin Boneng begini.” jawab Dodoy terkesan panik. Sedangkan Pak Rahmat dan pengurus lainnya langsung membawa Boneng ke ruang pengobatan.

***

           Beberapa hari berlalu, Daus dan Andi tak berani keluar dari gerbong usang. Mereka terlalu takut masuk penjara, karena telah mencelakakan Boneng. Beberapa kawan lainnya yang tinggal satu gerbong dengan mereka, selalu membantu Daus dan Andi dengan membelikan makanan serta minuman, supaya mereka tidak kelaparan dan kehausan.

           Sementara itu, Mbak Murni berusaha mencari keberadaan Daus dan Andi, dan atas info dari sahabat se-gerbong mereka, akhirnya Mbak Murni bisa menemukan Daus dan Andi yang masih bertahan di dalam gerbong.

           “Daus. Andi…” seru Mbak Murni memanggil mereka dari luar gerbong. Saat itu matahari sudah tepat berada di atas kepala, menunjukkan pukul 12.00 siang. Daus dan Andi tak menanggapi seru panggilan Mbak Murni. “Kalau kalian tidak mau keluar dari gerbong, biar Mbak yang masuk ke sana, ya…?” kata Mbak Murni lagi, lalu perlahan Mbak Murni memulai langkahnya mendekati area gerbong itu, semakin dekat dan lebih dekat lagi.

           “Stop…! Mbak nggak usah masuk ke sini.” balas Daus dari dalam gerbong, dan sedari tadi memperhatikan keberadaan Mbak Murni melalui celah usang gerbong. “Mbak cuma mau ngobrol sama kalian. Keluarlah. Mbak mohon…” seru Mbak Murni lagi yang sempat menghentikan langkahnya. “Kami nggak mau di penjara, Mbak.” seru Daus lagi. “Lagian bukan kami yang cari masalah, tapi Boneng sama temen-temennya.” lanjut Andi mendukung ucapannya Daus barusan. “Kalian tidak akan masuk penjara.” seru Mbak Murni, “Boneng nggak kenapa-napa. Kepalanya memang luka, tapi Boneng udah sembuh kok.” Seketika Daus dan Andi lega mendengar ucapan Mbak Murni. “Keluarlah…! Jangan takut, Daus, Andi…” kata Mbak Murni kembali terkesan lembut hati.

           Sejenak Mbak Murni menunggu, dan perlahan namun pasti Daus dan Andi memutuskan untuk mempercayai ucapan Mbak Murni, dan melangkah keluar dari area gerbong yang pengap. Mbak Murni tersenyum lega melihat mereka, namun senyumnya sirna kembali setelah melihat Daus dan Andi nampak lebih kurus dan tak terurus. Mbak Murni merentangkan kedua tangannya, seakan ingin menyambut mereka untuk memeluknya. Daus dan Andi yang telah luluh hatinya, berlarian menghampiri Mbak Murni, lalu bersamaan memeluk perempuan itu.

           “Mbak bersyukur karena masih punya kesempatan ketemu kalian, lagi.” kata Mbak Murni masih dalam posisi memeluk kedua anak laki-laki itu. Daus dan Andi menengadahkan kepalanya, lalu membalas senyuman Mbak Murni.

           “Mbak, kalau boleh tahu, kenapa Mbak sangat perhatian sama kami berdua…?” tanya Daus dengan rasa penasarannya. “Padahal kami belum lama mengenal Mbak.” lanjut Andi meneruskan maksud hatinya Daus. Seketika raut wajahnya Mbak Murni mendadak sedih karena teringat kenangan masa lalunya yang suram di saat kehilangan dua adik laki-lakinya yang meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas. “Karena kalian sangat mirip dengan almarhum adik laki-laki Mbak… Yuda dan Deni.” jawab Mbak Murni dengan hati yang sedih dan kata yang terbata-bata. Selang beberapa menit, ketiganya saling berbincang tentang masa lalu Mbak Murni beserta almarhum dua adiknya. Daus dan Andi sempat menangis mendengar kisah pilu Mbak Murni. “Kalau Mbak mau… Mbak boleh anggap kami sebagai adik-adik Mbak. Kami akan sangat senang sekali, Mbak.” kata Daus dengan nada pelan, namun sanggup menggetarkan hatinya Mbak Murni. “Makasih ya…” sela Mbak Murni, lalu kembali memeluk keduanya.

           “Daus… Andi…” seru seseorang dari kejauhan. Mereka mengenali suara itu, suara dari Boneng yang telah berdiri beberapa meter tidak jauh dari mereka. Bahkan Dodoy dan dua anak lainnya berdiri bersama mendampingi Boneng. Daus dan Andi lega melihat Boneng yang tidak mengalami luka serius, meskipun saat itu Boneng masih memakai perban yang mengikat dahi-nya.

           “Kamu kesini mau balas dendam sama kami, kan…?” tanya Daus berusaha pasrah. “Iya.” jawab Boneng singkat, lalu bersama tiga temannya menghampiri mereka.

           Setelah saling berhadapan, Daus dan Andi pasrah menutup matanya. “Kalau kamu mau balas pukul kami, silahkan. Kami terima. Kami nggak akan melawan.” kata Daus lagi yang selalu berdiri berdampingan dengan Andi. Sejenak mereka menunggu, namun Boneng tak juga memukul mereka. Daus dan Andi sempet ngeri sendiri membayangkan pukulan yang keras dan mengerikan akan mereka terima dari Boneng dkk, tapi ternyata bukan pukulan yang mereka terima, melainkan pelukan, sehingga membuat Daus dan Andi terbelalak heran dan penasaran.

           “Maafin aku. Aku yang salah. Seharusnya aku tidak mencari masalah sama kalian. Aku terlalu cemburu melihat kalian dekat sama Mbak Murni yang udah aku anggap kakakku sendiri. Aku sengaja menyembunyikan sepatu Mbak Murni dengan tujuan memfitnah kalian. Mbak Murni udah tahu semuanya. Maafkan aku sama temen-temen juga, ya.” kata Boneng terkesan tulus hati dengan ucapannya, dan kontan saja hal itu membuat Daus dan Andi lega, dan membalas pelukan Boneng dengan pelukan juga. Dodoy dan dua anak lainnya ikut bergabung memeluk mereka, sehingga Mbak Murni merasa senang hatinya melihat kedamaian telah hadir di tengah anak-anak jalanan itu.

           “Kalian semua udah Mbak anggap sebagai adik Mbak sendiri.” sela Mbak Murni sambil menghampiri mereka, dan memeluk mereka bersamaan. “Makasih kalian udah hadir di kehidupan Mbak, dan memberikan kebahagiaan buat Mbak.” lanjut Mbak Murni sambil menahan tangisnya, namun air mata kebahagiaan itu terlalu cepat menetes keluar dari dua bola matanya yang sendu.

           Permasalahan mereka kini telah berakhir, rasa cemburu itu sudah tak ada lagi di hati mereka yang kini telah diselimuti perasaan saling memiliki sebagai saudara, meskipun tidak se-darah dan juga tidak se-kandung.

***I*

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)