Masukan nama pengguna
Hujan turun dengan deras, menghantam jendela rumah kecil di pinggiran kota. Hawa dingin meresap hingga ke tulang, membawa suasana yang suram dan kelabu. Di dalam rumah itu, Alisha duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi foto keluarga yang terpajang di dinding. Dalam foto itu, mereka bertiga tersenyum— Alisha, ibunya, dan ayahnya. Ayahnya menggendongnya saat ia masih kecil, sementara ibunya tersenyum hangat di samping mereka. Itu adalah kenangan yang sekarang terasa begitu jauh.
Ayahnya telah meninggal tiga bulan yang lalu karena penyakit yang dideritanya. Sejak saat itu, hidup Alisha dan ibunya berubah total. Alisha masih remaja, baru berusia 15 tahun, dan kehilangan itu membuat dunianya terasa runtuh. Ayahnya adalah figur yang selalu memberinya kekuatan, tempat ia merasa aman, dan sekarang, rasa aman itu seakan menghilang.
Ibunya, Bu Dewi, berusaha tetap tegar di depan Alisha. Namun Alisha bisa merasakan beban yang dipikul ibunya. Kehilangan suami sekaligus harus menjadi tulang punggung keluarga bukanlah hal yang mudah. Alisha sering melihat ibunya duduk termenung di malam hari, menatap kosong ke arah televisi yang tidak menyala, atau menangis diam-diam saat ia berpikir Alisha sudah tidur.
Malam itu, Alisha merasa kesepian. Ia berjalan pelan ke kamar ibunya, berharap bisa merasakan kehangatan yang dulu selalu ada saat ayahnya masih hidup. Saat ia membuka pintu kamar, ia melihat ibunya duduk di tepi tempat tidur, menatap foto pernikahan yang tergantung di dinding.
“Ibu, Alisha boleh tidur di sini malam ini?” tanya Alisha dengan suara pelan.
Bu Dewi menoleh, dan seulas senyum lelah muncul di wajahnya. “Tentu saja, Sayang. Mari sini.”
Alisha berlari kecil dan memeluk ibunya erat. Ia bisa merasakan tubuh ibunya yang hangat, namun ada kekosongan yang tak bisa diisi hanya dengan pelukan itu. “Aku kangen Ayah, Bu,” bisiknya dengan suara serak.
Bu Dewi membelai rambut putrinya dengan lembut. “Ibu juga kangen, Alisha. Setiap hari. Tapi kita harus kuat, ya? Kita masih punya satu sama lain.”
Malam itu, mereka tidur bersama di ranjang yang terasa begitu luas tanpa kehadiran ayah. Alisha memejamkan matanya sambil merasakan detak jantung ibunya, yang entah bagaimana, memberinya rasa tenang. Mereka tidur dalam pelukan satu sama lain, seakan mencoba mencari kehangatan di tengah badai kehidupan yang tak terduga.
Keesokan harinya, hujan sudah reda, dan matahari pagi menyinari jendela kamar. Alisha terbangun lebih awal dari biasanya dan melihat ibunya masih tertidur. Wajah ibunya tampak damai, meskipun ada garis-garis kecemasan yang jelas terlihat di sekeliling mata dan bibirnya.
Alisha diam-diam bangun, mencoba untuk tidak membangunkan ibunya. Ia ingin melakukan sesuatu, apa saja, untuk membantu meringankan beban yang dirasakan ibunya. Ia pergi ke dapur dan mulai menyiapkan sarapan—hanya nasi dan telur dadar, yang merupakan makanan favorit mereka saat sarapan bersama ayah dulu. Meskipun ia tidak pandai memasak, Alisha berusaha sebaik mungkin.
Saat ibunya terbangun, ia menemukan Alisha di dapur dengan dapur yang berantakan. Bu Dewi tersenyum melihat usaha putrinya, meskipun ia tahu ada yang salah dengan wajan yang terlalu panas dan telur dadar yang hampir hangus.
“Alisha, kamu bangun lebih awal? Apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Bu Dewi dengan nada lembut.
Alisha menoleh dan tersenyum malu. “Aku ingin membuat sarapan untuk Ibu, tapi sepertinya aku membuat kekacauan.”
Bu Dewi tertawa kecil, pertama kalinya setelah sekian lama. “Tidak apa-apa, Sayang. Niat kamu sudah sangat baik. Ayo, kita buat sarapan bersama.”
Mereka menghabiskan pagi itu dengan tertawa dan bercanda di dapur, mencoba menghilangkan bayangan suram yang terus menghantui mereka. Bagi Alisha, momen itu terasa seperti secercah sinar matahari setelah badai panjang.
Hari-hari berlalu, dan Alisha serta ibunya mulai menemukan cara baru untuk saling menguatkan. Mereka mengubah rutinitas mereka, menciptakan tradisi baru yang tidak melibatkan kenangan menyakitkan. Setiap Minggu pagi, mereka pergi ke pasar tradisional untuk berbelanja bahan makanan bersama. Alisha akan membantu memilih sayuran, sementara ibunya akan berdiskusi dengan para pedagang mengenai harga dan kualitas barang.
Namun, di tengah semua itu, rasa kehilangan tetap ada. Setiap kali Alisha melihat seorang ayah menggendong anaknya atau bermain di taman, hatinya terasa perih. Dia merindukan ayahnya dengan cara yang sulit dijelaskan—sebuah kerinduan yang tidak pernah benar-benar hilang.
Suatu hari, setelah pulang dari pasar, Alisha menemukan kotak tua yang tersembunyi di loteng. Kotak itu berdebu, seolah sudah lama tidak tersentuh. Dengan rasa penasaran, ia membukanya dan menemukan banyak foto-foto lama, surat-surat, dan barang-barang kecil yang sepertinya menyimpan banyak kenangan.
Alisha membawa kotak itu ke ibunya. “Bu, aku menemukan ini di loteng. Apa isinya?”
Bu Dewi memandang kotak itu dengan tatapan penuh nostalgia. “Itu… kotak kenangan ayahmu. Dulu, dia suka menyimpan hal-hal kecil yang punya arti khusus buat kita.”
Alisha membuka salah satu surat yang ada di dalamnya. Itu adalah surat cinta yang ditulis ayahnya untuk ibunya, penuh dengan kata-kata hangat dan janji-janji manis. Membaca surat itu membuat Alisha merasa seakan mengenal sisi lain dari ayahnya—seorang pria yang penuh cinta dan perhatian, yang selalu memikirkan keluarganya.
Malam itu, Alisha dan ibunya duduk bersama, membuka satu per satu isi kotak itu. Mereka tertawa dan menangis bersama saat melihat foto-foto lama, mengingat momen-momen indah yang mereka lalui bersama ayah. Bagi Alisha, itu adalah momen yang sangat berharga, seolah ia bisa merasakan kehadiran ayahnya kembali, meski hanya untuk sesaat.
“Ibu, aku tahu kita tidak bisa mengembalikan Ayah, tapi aku ingin kita tetap bisa merasakan kehadirannya,” kata Alisha dengan suara pelan.
Bu Dewi mengangguk pelan. “Ayahmu selalu ada dalam hati kita, Alisha. Dan kita harus terus mengenangnya dengan cinta, bukan dengan kesedihan.”
Alisha tersenyum tipis. Ia tahu ibunya benar, meskipun itu tidak mengurangi rasa sakit yang ia rasakan. Tapi setidaknya, sekarang ia merasa ada cara untuk tetap terhubung dengan ayahnya, meski ia sudah tiada.
Hari-hari terus berlalu, dan Alisha semakin dekat dengan ibunya. Mereka mulai berbagi lebih banyak hal, baik itu tentang sekolah, teman-teman, atau perasaan-perasaan yang sulit diungkapkan. Bu Dewi menjadi pendengar setia bagi setiap keluh kesah Alisha, dan Alisha pun mencoba memahami beban yang dipikul ibunya sebagai seorang janda yang harus mengurus anaknya seorang diri.
Suatu malam, ketika Alisha sedang belajar untuk ujian akhir di kamarnya, ia mendengar suara ibunya berbicara di telepon. Alisha tidak berniat menguping, tetapi suaranya terdengar jelas karena pintu kamarnya sedikit terbuka.
“Iya, Pak. Saya paham. Terima kasih atas kesempatannya,” kata Bu Dewi dengan nada yang terdengar khawatir.
Setelah telepon ditutup, Alisha melihat ibunya duduk di ruang tamu, memandangi lantai dengan tatapan kosong. Alisha tahu ada sesuatu yang tidak beres.
“Ibu, ada apa?” tanya Alisha sambil mendekat.
Bu Dewi menoleh dan tersenyum kecil, meskipun jelas ada kesedihan di matanya. “Tidak apa-apa, Sayang. Ibu hanya sedang memikirkan sesuatu.”
Alisha tidak puas dengan jawaban itu. “Ibu, kalau ada masalah, Alisha ingin tahu. Kita bisa menghadapi ini bersama, kan?”
Bu Dewi menghela napas panjang, kemudian mengangguk. “Ibu baru saja mendapat kabar dari kantor. Perusahaan tempat Ibu bekerja sedang mengalami masalah keuangan, dan mereka harus mengurangi jumlah karyawan. Ibu termasuk salah satu yang harus diberhentikan.”
Alisha merasa dadanya sesak. Ia tahu betapa pentingnya pekerjaan itu bagi ibunya, terutama setelah ayahnya meninggal. Tanpa pekerjaan itu, bagaimana mereka bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari?
“Ibu… apa yang akan kita lakukan sekarang?” Alisha bertanya, suaranya hampir tak terdengar.
Bu Dewi mencoba tetap tegar. “Kita akan mencari cara, Alisha. Ibu mungkin akan mencari pekerjaan lain, atau mungkin memulai usaha kecil dari rumah. Yang penting, kita harus tetap bersama dan saling mendukung.”
Alisha merasa air matanya mengalir. Ia merasa begitu tak berdaya, melihat ibunya harus berjuang sendirian. “Aku ingin membantu, Bu. Aku akan bekerja paruh waktu, atau melakukan apapun yang bisa membantu kita.”
Bu Dewi menarik Alisha ke dalam pelukannya. “Kamu tidak perlu khawatir tentang itu, Sayang. Tugas kamu sekarang adalah belajar dan mencapai cita-cita kamu. Itu sudah lebih dari cukup untuk Ibu.”
Malam itu, Alisha sulit tidur. Ia merasa ada beban besar yang menghimpit dadanya. Namun, di sisi lain, ia juga merasa ada kekuatan baru yang tumbuh di dalam dirinya. Ia ingin menjadi lebih kuat, lebih mandiri, agar bisa membantu ibunya melewati masa-masa sulit ini.
Beberapa minggu kemudian, Bu Dewi memutuskan untuk memulai usaha kecil-kecilan dari rumah. Ia mulai membuat kue dan makanan ringan untuk dijual kepada tetangga dan teman-temannya. Alisha juga ikut membantu, meskipun kesibukannya di sekolah sering kali menyita waktu.
Meskipun usaha itu tidak menghasilkan banyak uang, setidaknya itu cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Alisha bangga melihat ibunya yang tak pernah menyerah, meskipun tantangan terus datang. Dan di balik semua itu, ia juga melihat betapa kuatnya cinta yang ada di antara mereka, sebuah cinta yang tidak bisa dihancurkan oleh apapun.
Pada suatu hari, Alisha pulang dari sekolah dengan membawa kabar baik. Ia terpilih menjadi salah satu siswa yang akan menerima beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke universitas. Itu adalah kabar yang sangat menggembirakan bagi Alisha dan ibunya.
“Ibu, kita bisa menghemat uang untuk kuliah nanti! Ini semua berkat kerja keras Ibu yang selalu mendukung Alisha,” kata Alisha dengan penuh semangat.
Bu Dewi tidak bisa menahan air matanya. “Ibu bangga sekali padamu, Alisha. Kamu adalah alasan Ibu terus berjuang.”
Mereka berdua berpelukan erat, merasakan kehangatan yang begitu dalam. Meskipun mereka telah kehilangan banyak hal, mereka tahu bahwa mereka masih memiliki satu sama lain, dan itu adalah kekuatan terbesar yang mereka miliki.
Waktu berlalu, dan Alisha akhirnya berhasil lulus dari universitas dengan hasil yang membanggakan. Bu Dewi, di sisi lain, akhirnya mampu mengembangkan usahanya sendiri, membuka toko kue kecil yang mulai dikenal di lingkungan sekitar. Meskipun mereka masih merindukan kehadiran almarhum ayah, kehidupan mereka perlahan-lahan kembali normal, bahkan lebih baik dari sebelumnya.
Suatu hari, setelah Alisha mendapatkan pekerjaan tetap, ia membawa ibunya ke taman tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama saat Alisha masih kecil. Mereka duduk di bangku yang sama, di bawah pohon besar yang rindang.
“Ibu, Alisha ingin mengucapkan terima kasih. Terima kasih karena selalu ada untuk Alisha, karena telah menjadi ibu yang luar biasa, dan karena telah mengajarkan Alisha tentang kekuatan, cinta, dan keberDewian,” kata Alisha dengan suara penuh emosi.
Bu Dewi tersenyum hangat, menatap putrinya dengan penuh kebanggaan. “Dan Ibu ingin berterima kasih karena telah menjadi anak yang luar biasa, yang selalu menguatkan Ibu di saat-saat sulit. Ayahmu pasti sangat bangga padamu.”
Namun, kehidupan memang selalu penuh dengan kejutan. Suatu hari, saat Alisha sedang bekerja, ia menerima panggilan dari rumah sakit. Ibunya pingsan di toko dan dibawa ke rumah sakit. Alisha segera meninggalkan pekerjaannya dan bergegas ke rumah sakit dengan hati yang berdebar-debar.
Di rumah sakit, Alisha menemukan ibunya terbaring di ranjang dengan wajah yang terlihat pucat. Dokter datang dengan raut wajah serius dan meminta berbicara dengan Alisha secara pribadi.
“Kami sudah melakukan pemeriksaan awal. Ibumu mengalami gangguan jantung yang serius. Kami akan melakukan beberapa tes lebih lanjut untuk mengetahui kondisi sebenarnya,” kata dokter tersebut dengan nada penuh empati.
Alisha merasa dunianya kembali runtuh. Setelah semua yang mereka lalui, setelah semua perjuangan dan kebahagiaan yang mulai mereka rasakan kembali, sekarang ini terjadi. Alisha duduk di kursi ruang tunggu, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu bahwa ia harus kuat, seperti yang selalu diajarkan oleh ibunya.
Setelah beberapa jam yang terasa seperti seabad, dokter kembali dengan hasil tes. “Ibumu membutuhkan operasi jantung. Operasi ini memiliki risiko, tetapi itu adalah satu-satunya cara untuk memperpanjang hidupnya.”
Alisha mengangguk, meskipun hatinya terasa berat. Ia tahu operasi ini tidak menjamin apapun, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa kehilangan ibunya begitu saja.
Bu Dewi, meskipun lemah, berusaha untuk tetap tersenyum saat Alisha masuk ke ruang perawatan. “Ibu baik-baik saja, Alisha. Jangan khawatir, ya?”
“Ibu, kita akan melalui ini bersama,” kata Alisha, mencoba menyembunyikan rasa takutnya.
Operasi dijadwalkan seminggu kemudian. Selama itu, Alisha mencoba bersikap sekuat mungkin di depan ibunya, meskipun hatinya dilanda kecemasan yang tak terhingga. Pada malam sebelum operasi, Alisha duduk di samping ranjang ibunya, menggenggam tangan ibunya yang terasa dingin.
“Ibu, aku takut,” kata Alisha dengan suara gemetar, air mata mulai menggenang di matanya.
Bu Dewi memandang putrinya dengan penuh kasih. “Kita semua takut, Alisha. Tapi ingat, kita sudah melalui banyak hal bersama. Ibu tahu kamu kuat. Apa pun yang terjadi, insyaallah kita akan baik-baik saja.”
Alisha hanya bisa mengangguk, air matanya mengalir deras. Mereka berdua saling menggenggam tangan, merasakan kehadiran satu sama lain dalam keheningan malam itu.
Pagi hari tiba, dan saatnya operasi. Alisha menunggu di luar ruang operasi dengan perasaan yang campur aduk. Jam demi jam berlalu dengan lambat, setiap detik terasa seperti beban yang tak tertahankan. Ia duduk di ruang tunggu, berusaha mencari ketenangan dalam doa, berharap yang terbaik bagi ibunya.
Akhirnya, pintu ruang operasi terbuka, dan dokter keluar dengan wajah yang lelah tetapi tersenyum. “Operasi berjalan lancar. Kondisi ibumu stabil, tetapi dia perlu waktu untuk pemulihan.”
Alisha merasa seolah beban besar terangkat dari dadanya. Spontan Alisha sujud syukur, Ia menangis lega, mengucapkan terima kasih kepada dokter dan tim medis.
Selama beberapa minggu berikutnya, Bu Dewi perlahan-lahan pulih. Alisha merawatnya dengan penuh perhatian, mengingat semua yang telah ibunya lakukan untuknya selama bertahun-tahun. Mereka kembali menghabiskan waktu bersama, meskipun kali ini lebih banyak di rumah, dengan Alisha memastikan bahwa ibunya tidak terlalu lelah.
Pada suatu sore yang cerah, setelah Bu Dewi mulai merasa lebih baik, mereka berdua duduk di teras belakang rumah, menikmati secangkir teh. Suara burung berkicau dan angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga-bunga dari taman kecil mereka.
“Alisha, Ibu ingin bicara denganmu,” kata Bu Dewi sambil menatap putrinya dengan penuh kasih sayang.
“Apa itu, Bu?” tanya Alisha, meletakkan cangkir tehnya.
“Ibu sangat bangga padamu. Kamu telah menjadi perempuan yang kuat, mandiri, dan penuh cinta. Ibu tahu kamu telah mengorbankan banyak hal demi menjaga Ibu dan menjalDewi hidup kita setelah ayahmu meninggal,” Bu Dewi berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Ibu ingin kamu tahu bahwa sekarang saatnya kamu memikirkan dirimu sendiri. Mengejar mimpi-mimpimu, meraih kebahagiaanmu.”
Alisha terdiam, mencerna kata-kata ibunya. Ia tahu apa yang dikatakan ibunya benar. Sejak ayahnya meninggal, Alisha merasa hidupnya didedikasikan untuk keluarganya, terutama ibunya. Tapi sekarang, setelah semua yang telah mereka lalui, ia merasa bahwa mungkin memang sudah saatnya untuk memikirkan masa depannya sendiri.
“Ibu, aku tidak menyesali apapun. Aku akan selalu ada untuk Ibu, seperti Ibu selalu ada untukku,” jawab Alisha dengan lembut. “Tapi aku mengerti apa yang Ibu maksud. Aku akan mulai memikirkan apa yang ingin aku capai, untuk diriku sendiri.”
Bu Dewi tersenyum dan menggenggam tangan Alisha. “Ibu hanya ingin melihatmu bahagia, Sayang. Itu adalah hal terpenting bagi Ibu.”
Mereka berdua tersenyum dan menikmati keheningan yang nyaman, mengetahui bahwa mereka telah melewati begitu banyak badai, tetapi cinta mereka satu sama lain selalu menjadi cahaya yang membimbing mereka.
Bagi Alisha, perjalanan hidupnya adalah bukti bahwa cinta dan dukungan seorang ibu dapat memberikan kekuatan luar biasa, bahkan di saat-saat paling gelap. Ia tidak pernah melupakan pelajaran berharga yang diajarkan oleh ibunya—tentang ketahanan, keberanian, dan yang terpenting, tentang cinta yang tak pernah pudar.
Dan bagi Bu Dewi, melihat putrinya tumbuh menjadi perempuan yang kuat dan bahagia adalah pencapaian terbesar dalam hidupnya. Meskipun ia telah kehilangan banyak hal, ia merasa telah mendapatkan lebih banyak—cinta dan kebahagiaan yang tak ternilai harganya.