Cerpen
Disukai
0
Dilihat
4,028
Matahari Senja di Tepi Danau
Slice of Life

Di sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh perbukitan hijau, ada sebuah danau yang tenang, airnya jernih dan memantulkan cahaya matahari senja dengan sempurna. Danau itu menjadi tempat favorit bagi Arya, seorang anak berusia sepuluh tahun, dan ayahnya, Pak Surya.

Setiap sore, setelah selesai bekerja di ladang, Pak Surya akan mengajak Arya ke tepi danau. Mereka tidak pernah melewatkan kesempatan ini, bahkan ketika hujan deras turun dan kabut tebal menyelimuti desa. Bagi mereka, danau itu bukan hanya sekadar tempat biasa, tetapi juga saksi bisu dari banyak cerita yang mereka bagikan bersama.

Pak Surya adalah seorang pria paruh baya dengan tubuh tegap dan tangan yang kasar karena kerja keras di ladang. Meski wajahnya sering terlihat lelah, senyum hangat selalu menghiasi bibirnya setiap kali dia melihat Arya. Pak Surya adalah seorang ayah yang penuh kasih sayang, meskipun dia jarang mengungkapkannya dengan kata-kata.

Di sisi lain, Arya adalah anak yang cerdas dan penuh rasa ingin tahu. Dia selalu menanyakan banyak hal kepada ayahnya, dari hal-hal sederhana seperti mengapa langit berwarna biru hingga pertanyaan-pertanyaan kompleks tentang kehidupan. Pak Surya selalu berusaha menjawab setiap pertanyaan Arya dengan sabar, meskipun kadang-kadang jawabannya sederhana dan penuh humor.

Suatu sore, ketika matahari mulai terbenam dan langit berubah menjadi jingga, Pak Surya dan Arya duduk di tepi danau, seperti biasa. Angin sepoi-sepoi bertiup, membawa aroma tanah basah dan bunga liar. Mereka duduk bersebelahan di atas rumput, menikmati keheningan yang hanya dipecahkan oleh suara gemericik air dan kicauan burung yang kembali ke sarangnya.

"Ayah, kenapa kita selalu datang ke sini?" tanya Arya tiba-tiba, memecah keheningan.

Pak Surya tersenyum dan menatap jauh ke arah cakrawala, seolah-olah mencari jawaban di sana. "Tempat ini mengingatkanku pada ibumu," jawabnya perlahan.

Arya terdiam sejenak, merenungkan kata-kata ayahnya. Ibunya telah meninggal saat Arya masih sangat kecil, dan meskipun dia tidak memiliki banyak kenangan tentang ibunya, dia tahu bahwa wanita itu adalah sosok yang sangat berarti bagi ayahnya.

"Bagaimana ibu dulu, Ayah?" tanya Arya dengan suara lirih.

Pak Surya menarik napas panjang dan menutup matanya, seolah-olah mencoba membayangkan kembali sosok wanita yang pernah menjadi cintanya. "Ibumu adalah wanita yang sangat baik, Arya. Dia selalu tersenyum, meskipun hidup kami tidak selalu mudah. Dia suka sekali duduk di tepi danau ini, melihat matahari terbenam sambil memegang tangan Ayah."

Arya mendengarkan dengan penuh perhatian, mencoba membayangkan ibunya seperti yang digambarkan oleh ayahnya. "Apakah aku mirip dengan ibu, Ayah?" tanya Arya lagi.

Pak Surya membuka matanya dan menatap putranya dengan penuh kasih sayang. "Kamu sangat mirip dengannya, terutama matamu. Setiap kali Ayah melihat matamu, Ayah merasa seperti melihat ibumu kembali."

Mendengar itu, Arya merasa hatinya hangat. Dia tidak banyak tahu tentang ibunya, tetapi dari cerita-cerita yang diceritakan oleh ayahnya, dia bisa merasakan betapa besar cinta ibunya kepada keluarganya. Arya meraih tangan ayahnya dan menggenggamnya erat.

"Ayah, aku ingin tahu lebih banyak tentang ibu. Bisakah Ayah bercerita lebih banyak?" pinta Arya dengan penuh harap.

Pak Surya tersenyum lagi dan mengangguk. "Tentu, Arya. Ada banyak cerita tentang ibumu yang bisa Ayah bagikan. Salah satunya adalah tentang bagaimana Ayah dan Ibu pertama kali bertemu."

Arya memperbaiki posisi duduknya, menunjukkan bahwa dia siap mendengarkan cerita yang panjang. Pak Surya kemudian mulai bercerita, suaranya lembut dan penuh nostalgia.

"Waktu itu, Ayah masih muda, mungkin seumuran dengan kamu sekarang, tapi dalam versi yang lebih dewasa. Ayah bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik kayu di kota sebelah. Ibumu datang ke kota itu untuk bekerja sebagai perawat di rumah sakit setempat. Kami bertemu di sebuah acara pasar malam. Ibumu waktu itu sedang melihat-lihat kain tenun di salah satu kios, dan Ayah yang waktu itu iseng, mencoba untuk memulai percakapan dengannya."

Arya tersenyum mendengar cerita itu. "Apakah ibu langsung menyukai Ayah?"

Pak Surya tertawa kecil. "Tidak semudah itu. Ibumu adalah wanita yang mandiri dan keras kepala. Dia tidak langsung tertarik pada Ayah, malah dia sempat mengira Ayah ini hanya pemuda iseng yang suka menggoda gadis-gadis."

Arya tertawa mendengar itu, membayangkan ayahnya yang sekarang, selalu serius dan penuh tanggung jawab, pernah menjadi pemuda yang mencoba menarik perhatian seorang wanita.

"Tapi Ayah tidak menyerah," lanjut Pak Surya. "Ayah terus mencoba mendekatinya, berusaha menunjukkan bahwa Ayah serius. Dan akhirnya, setelah beberapa bulan, dia mulai membuka hatinya untuk Ayah."

"Ayah pasti sangat bahagia waktu itu," komentar Arya.

"Bahagia sekali, Arya. Ibumu adalah anugerah terbesar yang pernah Ayah terima. Dia mengajarkan Ayah banyak hal tentang kesabaran, kasih sayang, dan bagaimana menghadapi hidup dengan senyuman, meskipun ada banyak kesulitan."

Arya terdiam sejenak, merenungkan kata-kata ayahnya. "Ayah, apakah sulit bagi Ayah setelah ibu meninggal?"

Pertanyaan itu membuat Pak Surya terdiam. Dia menatap danau yang tenang di depannya, seolah-olah mencari jawaban di sana. "Ya, Arya. Sangat sulit. Kehilangan ibumu adalah salah satu hal tersulit yang pernah Ayah alami. Tapi Ayah tahu, Ayah harus kuat untukmu. Kamu adalah alasan Ayah terus maju."

Arya merasakan matanya mulai berkaca-kaca. Dia tahu ayahnya adalah orang yang kuat, tetapi dia tidak pernah benar-benar memahami seberapa besar pengorbanan ayahnya selama ini.

"Terima kasih, Ayah," kata Arya pelan. "Terima kasih karena selalu ada untukku."

Pak Surya tersenyum dan merangkul Arya dengan penuh kasih sayang. "Ayah juga berterima kasih padamu, Arya. Kamu adalah harta yang paling berharga dalam hidup Ayah."

Mereka berdua duduk di sana dalam keheningan, menikmati momen kebersamaan yang penuh kehangatan. Matahari perlahan-lahan tenggelam di balik perbukitan, meninggalkan langit yang mulai gelap. Tapi bagi Arya dan Pak Surya, malam itu penuh dengan cahaya, cahaya kasih sayang yang selalu menyinari jalan mereka.

Malam itu, mereka kembali ke rumah dengan hati yang hangat. Arya merasa lebih dekat dengan ayahnya daripada sebelumnya, sementara Pak Surya merasa bahwa beban di pundaknya sedikit berkurang, karena dia telah berbagi cerita tentang wanita yang selalu dia cintai.

Seiring berjalannya waktu, Arya dan Pak Surya terus mengunjungi tepi danau itu. Setiap kali mereka duduk di sana, mereka selalu menemukan cerita baru untuk dibagikan, kenangan untuk diingat, dan pelajaran hidup yang tak ternilai. Dan di setiap cerita, di setiap momen, mereka semakin menyadari betapa kuatnya ikatan di antara mereka.

Suatu hari, ketika Arya sudah dewasa dan bersiap untuk meninggalkan desa untuk melanjutkan pendidikannya di kota, dia berdiri di tepi danau itu untuk terakhir kalinya bersama ayahnya. Mereka berdua tahu bahwa ini adalah akhir dari sebuah babak, tetapi juga awal dari babak baru dalam hidup mereka.

"Ayah, aku akan selalu merindukan tempat ini," kata Arya, suaranya sedikit bergetar.

Pak Surya tersenyum dan menepuk punggung Arya. "Danau ini akan selalu menunggumu, Arya. Dan begitu juga Ayah. Kemanapun kamu pergi, ingatlah bahwa rumah selalu ada di sini, menantimu kembali."

Arya mengangguk, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. Dia meraih tangan ayahnya dan menggenggamnya erat, merasakan kehangatan yang sama seperti yang selalu dia rasakan sejak kecil.

"Terima kasih, Ayah. Untuk segalanya," kata Arya dengan suara pelan, penuh emosi.

Pak Surya tidak menjawab dengan kata-kata. Dia hanya menarik Arya ke dalam pelukan erat, membiarkan keheningan malam itu berbicara untuk mereka berdua. Mereka berdiri di sana, di tepi danau yang tenang, di bawah langit yang mulai dipenuhi bintang-bintang, merasakan kebersamaan yang tak tergantikan.

Dan di dalam hati mereka, mereka tahu bahwa tidak peduli seberapa jauh Arya pergi, ikatan antara ayah dan anak itu akan selalu kuat, seperti cahaya matahari yang selalu kembali menyinari danau itu setiap hari.

Waktu berlalu dengan cepat sejak Arya meninggalkan desa kecilnya untuk melanjutkan pendidikan di kota besar. Meski awalnya merasa canggung, Arya perlahan menyesuaikan diri dengan kehidupan kota yang sibuk dan penuh tantangan. Ia diterima di sebuah universitas ternama, mengambil jurusan yang selalu ia impikan: teknik mesin. Arya ingin membangun sesuatu yang bisa memberi manfaat bagi banyak orang, sama seperti yang selalu diajarkan oleh ayahnya.

Selama beberapa tahun, Arya fokus pada studinya, berusaha meraih prestasi terbaik. Namun, di sela-sela kesibukannya, Arya selalu menyempatkan diri untuk menelepon Pak Surya. Mereka berbicara tentang berbagai hal, dari perkembangan studi Arya hingga kabar-kabar terbaru dari desa. Meski jarak memisahkan mereka, ikatan yang kuat antara ayah dan anak itu tetap terjaga.

Namun, kehidupan di kota tidak selalu mudah. Arya menghadapi berbagai tantangan, baik dalam akademis maupun sosial. Ada saat-saat ketika dia merasa sangat rindu pada ketenangan dan kedamaian desa, terutama tepi danau yang menjadi tempat kenangan manis bersama ayahnya. Setiap kali rindu itu datang, Arya akan memejamkan mata dan membayangkan dirinya duduk di tepi danau itu bersama ayahnya, mendengarkan suara angin dan gemericik air.

Suatu malam, ketika Arya sedang belajar untuk ujian akhir, dia menerima telepon dari desa. Itu adalah Pak Surya.

"Arya, bagaimana kabarmu?" tanya Pak Surya dengan suara yang sedikit bergetar, menandakan ada sesuatu yang tidak beres.

"Ayah, aku baik-baik saja. Tapi suara Ayah terdengar lelah. Ada apa?" Arya merasa cemas, belum pernah mendengar ayahnya berbicara dengan nada seperti itu.

Pak Surya terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Arya, Ayah hanya ingin memberi tahu bahwa Ayah sedang tidak enak badan belakangan ini. Tapi kamu tidak perlu khawatir, ini hanya flu biasa."

Namun, Arya bisa merasakan ada yang lebih dari sekadar flu. Dia tahu ayahnya adalah orang yang jarang mengeluh tentang kesehatannya, dan jika dia mengatakan sesuatu, itu berarti ada yang serius.

"Ayah, aku akan pulang akhir pekan ini," kata Arya tegas.

"Jangan, Arya. Fokuslah pada ujianmu. Ayah akan baik-baik saja. Lagi pula, ini hanya sementara. Setelah ujian selesai, kamu bisa pulang dan kita bisa duduk di tepi danau lagi," balas Pak Surya mencoba menenangkan.

Arya terdiam, merasa ada beban di dadanya. Meski ayahnya mencoba terdengar tenang, Arya tidak bisa menyingkirkan perasaan cemas itu.

Beberapa hari kemudian, setelah ujian selesai, Arya langsung pulang ke desa. Ketika dia tiba di rumah, dia menemukan ayahnya sedang duduk di teras, menatap ke arah perbukitan di kejauhan. Tubuhnya terlihat lebih kurus dari biasanya, dan wajahnya sedikit pucat.

"Ayah!" Arya berlari dan memeluk ayahnya erat. Pak Surya tersenyum tipis dan membalas pelukan itu dengan lembut.

"Arya, kamu pulang," kata Pak Surya dengan suara yang lebih lembut dari biasanya.

Arya menatap ayahnya dengan cemas. "Ayah, kenapa tidak memberi tahuku lebih awal tentang kondisi Ayah? Aku bisa segera pulang."

Pak Surya menggeleng pelan. "Ayah tidak ingin mengganggu studimu, Arya. Ini hanya sakit biasa. Ayah sudah pergi ke dokter, dan Ayah akan segera sembuh."

Meski demikian, Arya tetap merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia memutuskan untuk tinggal lebih lama di desa, menemani ayahnya dan memastikan kondisi kesehatannya benar-benar membaik. Setiap hari, Arya merawat ayahnya dengan penuh perhatian, memasak makanan yang bergizi, dan memastikan Pak Surya minum obat tepat waktu.

Selama masa itu, Arya dan Pak Surya semakin dekat. Mereka menghabiskan waktu bersama, duduk di tepi danau saat senja, seperti dulu. Pak Surya bercerita lebih banyak tentang masa lalunya, tentang ibunya Arya, dan tentang impian-impian yang pernah dia miliki. Arya mendengarkan dengan penuh perhatian, merasa bahwa setiap kata yang diucapkan ayahnya adalah harta yang tak ternilai.

Namun, semakin lama Arya tinggal di desa, semakin jelas bahwa kondisi ayahnya tidak membaik seperti yang dia harapkan. Suatu hari, Arya memutuskan untuk membawa Pak Surya ke kota untuk pemeriksaan lebih lanjut di rumah sakit. Meski awalnya Pak Surya menolak, akhirnya dia setuju karena melihat kekhawatiran di mata putranya.

Di rumah sakit, setelah serangkaian tes, dokter memberi tahu Arya kabar yang paling dia takuti: Pak Surya menderita penyakit kronis yang sudah mencapai tahap lanjut. Dokter menjelaskan bahwa meski ada perawatan yang bisa dilakukan, kemungkinan untuk sembuh sepenuhnya sangat kecil.

Arya merasa dunianya runtuh mendengar kabar itu. Tapi dia berusaha tetap kuat, seperti yang selalu dia lihat pada ayahnya. Dia tidak ingin ayahnya melihat betapa hancurnya perasaannya.

Ketika mereka kembali ke desa, Pak Surya sudah tahu bahwa waktunya tidak lama lagi. Dia mulai berbicara lebih banyak tentang masa depan Arya, memberikan nasihat-nasihat yang dia harap bisa membantu putranya ketika dia sudah tiada.

"Arya, hidup ini penuh dengan tantangan. Ayah tahu kamu kuat, dan kamu bisa menghadapi apa pun yang datang padamu. Tapi ingatlah satu hal, selalu ikuti kata hatimu, dan jangan pernah lupakan dari mana kamu berasal," kata Pak Surya suatu sore ketika mereka duduk di tepi danau.

Arya hanya bisa mengangguk, menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. Dia tidak ingin memikirkan saat-saat di mana dia harus hidup tanpa ayahnya.

Beberapa bulan kemudian, Pak Surya meninggal dunia. Kepergiannya meninggalkan luka mendalam di hati Arya, tetapi dia juga tahu bahwa ayahnya telah memberinya semua yang dia butuhkan untuk menghadapi kehidupan ini. Arya melanjutkan hidupnya, membawa semua kenangan indah bersama ayahnya dalam hatinya.

Setiap kali Arya merasa rindu atau kehilangan arah, dia akan kembali ke tepi danau itu, tempat di mana dia bisa merasa dekat dengan ayahnya lagi. Di sana, di bawah langit yang selalu berubah, Arya akan duduk dan mengenang semua yang telah mereka lalui bersama. Dan meski ayahnya sudah tiada, dia merasa bahwa Pak Surya selalu ada di sana, menuntunnya, seperti yang selalu dia lakukan selama ini.

 


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)