Cerpen
Disukai
1
Dilihat
2,888
Pardi
Slice of Life

Pardi. Ya, namanya singkat, dan orang bisa menebak ia lahir di Jawa. Sekarang ia tiba di kota Solo, ada yang menyebut kota Surakarta. Pardi masih kebingungan, apa yang akan dilakukan di kota yang baru saja didatangi. Ia seperti orang gagap, kaget, takjub, bercampur gelisah dan bingung yang luar biasa.

Sebelumnya, Pardi sudah membayangkan hidup di kota itu sungguh enak. Apa-apa ada, makan dan minum lengkap, tinggal memilih. Saat pagi dan sore hari bisa jalan-jalan keliling kota, bahkan hingga malam dan dini hari. Kota seperti tidak pernah tidur. Selalu ada orang berkerumun di warung hik. Ada pekerja yang istirahat, yang lain menunggu orderan penumpang, ada juga yang hanya sekadar ingin makan dan minum saja.

Sore itu, padi masih termangu di rumah pak Nur. Ya, ia ikut pak Nur, yang saat ini kerja di lembaga pemerintah di Solo.

"Mau kerja apa, Par," tanya Pak Nur.

Pardi masih kebingungan. Sebab, ijazah saja hanya lulusan SD. Bisa buat melamar apa kalau hanya lulusan SD?

"Apa saja pak, yang penting kerja," sahut Pardi sekenanya.

Pak Nur juga merasa kebingungan. Kenalan memang banyak. Tetapi, ia juga tidak tahu siapa saja yang membuka lowongan pekerjaan.

Seminggu ikut Pak Nur, otomatis Pardi hanya membantu bersih-bersih rumah, menyapu, mengepel, menyiram tanaman hias. Selebihnya, nganggur.

"Semua orang yang aku kenal, belum ada yang menawarkan pekerjaan, Par... Jadi, sementara ini sambil menunggu, ya kamu coba mencari sendiri, ya?"

Pardi hanya bisa diam seribu bahasa. Tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.

***

Pardi termangu. Ia sudah 3 kali ganti pekerjaan. Semuanya kerja serabutan. Yang pertama ikut kuli bangunan, hanya bertahan seminggu saja. Ia seperti mau protes. Yang dicarinya adalah kemudahan, kenikmatan kerja di kota, kok, kerja di kota sengsaranya lebih banyak dibandingkan di desa. Ia mendapat upah, setelah seminggu kerja. Padahal, kehidupan hariannya otomatis tak memegang uang sama sekali. Oh.. ternyata... Untung saja masih ada Pak Nur yang baik hati, untuk menolongnya, bisa ikut tidur, ikut makan, dan bersantai di sore hingga larut malam.

Pekerjaan kedua, Pardi jadi kernet truk. Dalam bayangan awalnya, pekerjaan ini sungguh menyenangkan. Ia bisa keliling ke mana-mana, anggap saja keliling kota, sambil dolan, dan melihat-lihat keindahan kota. Tapi, apa yang terjadi? Pekerjaan yang didapat semua di luar nalarnya. Ia bukan sekadar kernet. Ya... ini buruh kasar, benar-benar paling kasar. Semua harus dijalaninya sendirian, sementara sopirnya, hanya bisa nyopir, tidak mamu membantu Pardi.

"Dilakoni saja, Pardi. Kerja di kota ya begini ini. Kalau aku, hanya bisa nyopir saja, lain itu tidak," kata Katno, sopir truk yang jadi teman kerja Pardi.

Sontak, Pardi hanya bisa kecut hatinya. Mau protes ya tidak berani. Nyatanya dia itu ibaratnya masih magang, apapun pekerjaan harus dilakoninya.

Suatu ketika Pardi hampir saja semaput, hampir pingsan. Saat itu ia harus memasukkan batu kali ke truk, sendirian. Padahal, batu kali itu ukurannya besar-besar. Ia sampai sempoyongan untuk mengangkat batu kali dan memindahkannya ke truk. Sementara Katno, hanya klepas-klepus menghisap rokok tingwenya (rokok hasil meracik sendiri).

Pardi tercekat. Mau teriak, tak berani. Mau protes, juga muspra, mubazir. Ia tetap menjalani tugasnya, walau tubuh sudah kelelahan luar biasa. Ia seperti tersadar dari lamunannya, ternyata beginilah sesungguhnya kerja di kota. Tak ada tepo seliro (kepedulian) kepada sesama. Coba kalau di desa, mau sopir atau kernet, ya ikut kerja, saling membantu. Lha... ini Pardi seperti dibiarkan tersiksa dan kalau pun mati pun, tak akan ada yang peduli.

Setelah beberapa waktu, Mata Pardi berkunang-kunang. Ia pun duduk.

"Ayo.. cepat Pardi, nanti kalau telat bisa dimarahi juragan," seru Katno.

Tak ada jawaban dari Pardi, sebab ia sudah pingsan. Katno kebingungan, dan langsung menggendong Pardi ditaruh di kursi kernet. Truk melaju dengan membawa batu kali dan Pardi yang masih lunglai lemas, mencari puskesmas terdekat.

Besoknya, Pardi dipanggil juragannya.

"Pak Pardi, sudah ada penggantinya, mulai hari ini sudah tidak bekerja di sini ya. Yang diperlukan kerja di sini itu orang kuat, tidak sakit-sakitan," ucap juragan pemilik truk.

***

Pengalaman ketiga, Pardi akhirnya kerja di percetakan. Tentu saja sebagai kuli juga, menyesuaikan ijasahnya yang hanya lulusan sekolah dasar. Ia bekerja di percetakan juga berkat Pak Nur, yang punya koneksi di sana.

Seperti biasanya, Pardi harus menunggu perintah. Sebab, ia tidak tahu apa yang harus dikerjakannya. Saat truk datang, ia pun diperintah untuk segera menurunkan kertas. Kali ini Pardi tidak sendirian, ada 2 orang yang membantunya. Pardi agak lega, ternyata, di kota juga ada kepedulian dengan sesama, batin Pardi.

Suatu malam, mesin percetakan mogok, alias macet. Teknisi percetakan baru saja tidak ada di tempat.

"Pardi bantu betulin mesinnya," perintah seseorang kepadanya.

Pardi hanya tolah toleh, lha... ia memang tak tahu harus mengerjakan apa.

"Coba saja Par, nanti kan ya bisa sendiri," ucap orang itu.

Dipandu orang tersebut, Pardi langsung mencoba ikut menangani. Tentu saja, ia ikut perintah ini dan itu. Harus membersihkan mesin yang kotor. Ia pun belepotan tinta percetakan. Tak hanya itu, ia pun harus menunggui pekerjaan hingga larut malam. Bekerja bukan semata 8 jam, tetapi kalau lebih dihitung lembur. Pardi sering ikut lembur. Lumayan, bisa dapat tambahan gaji. Walau tak seberapa, tapi sudah menjadi kabar menyenangkan bagi pardi.

Pardi sudah kerja di percetakan hampir 3 sebulan. Pekerjaannya tidak mengenal lelah, ya karena ia sering ikut lembur. Hingga tubuhnya yang berpostur tinggi dan kurus, terlihat kelelahan. Matanya sayu, sering mengantuk, efek dari sering tidak tidur malam gegara lembur.

Suatu kali tangannya luka, walau tidak parah. Ia memang paham betul kerja mesin percetakan. Ketika lalai atau ceroboh, bisa membuat celaka tubuhnya, termasuk tangannya.

"Makanya hati-hati, jangan ceroboh..." ujar mandor percetakan.

Pardi hanya mengangguk, toh, mau protes juga tidak berani.

***

Malam mulai larut. Pardi duduk di teras bersama Pak Nur. Wajahnya hanya menunduk. Bagaimanapun juga, ia itu orang biasa, sifat pemalu tak bisa disembunyikan. Itu juga menunjukkan setelah bekerja di kota, tak banyak perubahan pada dirinya.

"Bagaimana, Pardi.. enak kan, kerja di kota?" tanya Pak Nur.

"Tidak tahu pak..." sahut Pardi sekenanya.

"Lho, kok tidak tahu. Kamu kan yang bekerja. Kamu sendiri yang ingin kerja di kota. Apa tidak kerasan, atau belum cocok dengan pekerjaan yang sesuai dengan keinginanmu?" selidik Pak Nur.

"Tidak apa-apa pak," ucap Pardi singkat.

"Lha, terus bagaimana?" Pak Nur merasa kebingungan dengan sikap Pardi.

Beberapa saat kemudian, Pardi menjawab dengan nada pelan, seolah suaranya hilang terbawa angin malam perkotaan.

"Saya tak tahan kerja di kota. Besok saya pulang ke desa." Pardi berkata demikian tak berani menatap wajah pak Nur. Pak Nur diam sejenak, termangu.

***

Matahari masih di ufuk Timur, belum muncul. Ayam berkokok bersahutan. Suara sapi melenguh. Orang-orang sudah siap berangkat bekerja. Ada yang sudah membawa cangkul, yang lain membawa arit. Ada pula yang membawa garu, alat membajak sawah yang ditarik sapi.

Ya, orang itu adalah Pardi, yang sebelumnya telah merasakan bekerja di perkotaan.

***



















Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)