Masukan nama pengguna
Bagian 1: 2007 — Awal Kenal
Aku masih ingat pohon itu. Pohon cengkeh besar di belakang rumah nenek, batangnya kasar dan penuh bekas goresan kuku entah siapa, daunnya wangi meski kadang ada ulat jatuh dari atas. Di sanalah aku sering duduk sendirian, memeluk lutut, menatap tanah, berharap waktu bisa cepat lompat ke malam hari biar aku bisa tidur dan gak usah ngobrol sama siapa-siapa.
Aku bukan anak yang suka main. Bukan karena aku gak bisa, tapi karena aku gak ngerti caranya. Tiap diajak ngobrol, mulutku ngunci. Tiap ditanya, jawabanku cuma angguk atau geleng. Bahkan sama mamaku sendiri, aku sering nggak jawab kalau ditanya. Apalagi sama anak lain.
Sampai hari itu datang.
Ada anak perempuan berdiri di depanku. Rambutnya dikuncir dua kayak telinga kelinci, bajunya warna merah pudar dan celananya bolong di lutut kanan. Tangannya megang kotak kecil berisi batu warna-warni. Dia jongkok sambil nyengir, kayak udah kenal aku sejak lama.
“Hei,” katanya.
Aku diam. Nggak noleh. Nggak angkat kepala.
“Namaku Amanda. Kamu siapa?”
Aku mencolek tanah. Bikin garis. Bikin lingkaran. Gak jawab.
“Namamu Ampi, ya?” lanjutnya.
Aku langsung noleh. “Bukan.”
“Bukan Ampi?”
“Bukan.”
“Yaudah, tapi boleh aku panggil kamu Ampi?”
“…nggak.”
“Kenapa? Kan lucu. Ampi. Kayak nama boneka kucing.”
Aku mendesis kecil. “Itu bukan nama.”
“Sekarang iya,” katanya. “Ampi yang duduk di bawah pohon cengkeh. Mau main batu warna?”
Aku geleng.
Dia duduk di sebelahku tanpa nanya boleh atau enggak. Bukain kotak batunya. Batu-batu itu aneh — ada yang mirip permen, ada yang bulat kayak bola, ada juga yang bentuknya kayak jantung ayam. Dia mulai nyusun di tanah, bikin formasi aneh.
“Ini rumahku. Yang ini ruang tamu. Ini dapur. Ini tempat cacing-cacing pesta ulang tahun.”
Aku noleh lagi. “…cacing ulang tahun?”
“Iya. Cacing juga butuh perayaan.”
Aku gak tahu harus bilang apa, jadi aku diem lagi. Tapi dalam hati aku mulai nyimak. Anak ini aneh. Bukan aneh yang bikin aku takut, tapi aneh yang… bikin penasaran.
“Kalau kamu diem terus, kamu bisa tumbuh jadi batu loh,” katanya tiba-tiba.
Aku angkat alis.
“Batu yang duduk selamanya di bawah pohon cengkeh. Terus nanti pohonnya malu karena kamu nggak pernah ngajak ngobrol.”
Aku ngedengus. Entah kenapa, untuk pertama kalinya, mulutku kegelitik buat ngomong.
“Aku bukan batu.”
“Ya buktikan dong,” katanya. “Ngobrol sama aku. Minimal bilang satu kata.”
Aku mikir.
“Ngobrol,” kataku pelan.
Amanda nyengir lebar. “Nah! Kamu manusia! Hore! Hore! Cacing pestaaaa!”
Dia langsung joget absurd, duduk sambil goyangin bahu kayak orang kesurupan. Aku nggak tahan… aku ketawa kecil. Pertama kalinya aku ketawa di depan orang lain selain keluarga.
Hari itu aku gak pulang cepat. Dan hari-hari setelahnya, Amanda selalu datang ke bawah pohon itu. Kadang bawa batu warna, kadang cuma bawa pertanyaan absurd kayak, “Kalau kamu harus milih jadi kucing atau es krim, kamu pilih yang mana?”
Aneh. Tapi menyenangkan.
Dan sejak hari itu, aku gak sendirian lagi.
Bagian 2: 2008 — Pertemanan Bertumbuh
“Ampi, hari ini aku bawa temen,” kata Amanda suatu sore, waktu aku lagi main tanah pakai sendok plastik. “Dua malah. Tapi jangan takut, ya.”
Aku ngangkat kepala. “Temen?”
Dia ngangguk. “Mereka nggak gigit. Paling ngomel-ngomel dikit.”
Aku belum jawab. Belum siap. Dulu aku mikir Amanda itu cukup. Satu teman aja udah cukup. Dua tambahan rasanya kayak… dunia jadi terlalu ramai.
Tapi sebelum aku bisa bilang “enggak mau”, dua anak muncul dari balik pohon nangka. Satu tinggi besar, rambut cepak, jalannya kayak habis makan lima piring. Satunya lagi kecil dan kurus, rambutnya rapi, ekspresinya datar kayak anak bijak di film-film.
“Yang itu Hans,” kata Amanda sambil nunjuk yang besar. “Yang satu Iran. Mereka kadang nyebelin, tapi seru.”
Hans langsung menatapku dari atas ke bawah. “Ini Ampi?”
“Nama asliku Nguyen,” kataku cepat.
“Tapi Amanda manggil kamu Ampi?”
“Iya…”
Hans nyengir setengah. “Ampir nangis terus, kali.”
Iran mengangkat alis. “Nguyen... itu nama Vietnam ya?”
Aku ngangguk.
“Aku suka,” katanya. “Kalau Amanda itu Indonesia ya? Artinya pelindung? Kayaknya nggak cocok deh…”
“Woi,” Amanda protes, “aku pelindung Ampi dari orang-orang kaya kamu.”
Ngobrol sama Amanda itu satu hal. Tapi dimasukin ke lingkaran orang-orang seperti Hans dan Iran... rasanya kayak dilempar ke kolam tanpa ban pelampung.
Hari-hari setelah itu jadi lebih bising. Hans selalu berteriak, tertawa keras, dan kadang dorong-dorong orang sambil bercanda. Iran... lebih sunyi, tapi ucapannya kadang nusuk. Dia bukan tipe yang sok akrab, tapi sekali ngomong bisa bikin orang bengong.
Anehnya, Amanda selalu di tengah. Menghubungkan semuanya. Dia nyambung sama Hans, nyambung juga sama Iran, dan entah gimana... dia bikin aku yang canggung ini merasa nggak terlalu asing.
Aku mulai ikut ketawa, walau kadang telat. Mulai nyeletuk aneh, kayak “Kalau gorengan punya otak, pasti dia sedih digoreng.” Amanda ngakak, Hans malah nangis ketawa, dan Iran... cuma senyum kecil.
Amanda pernah bilang, “Ampi udah mulai aneh.”
Aku tanya, “Kenapa kamu senang aku jadi aneh?”
Dia jawab sambil nyengir, “Karena dunia terlalu waras, dan kamu terlalu diam. Jadi ya... seimbangin dikit.”
Aku gak ngerti sepenuhnya, tapi rasanya masuk akal—dengan cara Amanda.
Kadang aku mikir, kalau aku gak ketemu mereka bertiga... mungkin aku masih duduk sendiri di bawah pohon itu. Diam. Menjadi batu. Tapi sekarang, aku mulai tumbuh.
Dan diam-diam, aku suka rasanya.
Bagian 3: 2010 — Gorengan dan Ledakan Diam.
Kami lagi duduk melingkar di teras rumah Iran, main kartu remi dan debat gorengan paling enak—tempe vs. bakwan. Amanda di tengah-tengah, jadi juri.
“Tempe itu bisa jadi krispi,” kata Hans sambil nyemil. “Bakwan cuma kumpulan sayur lembek yang disatuin.”
Iran menyela, “Tapi bakwan fleksibel. Bisa isi apa aja. Tempe mah bosenin.”
Aku diem. Karena tempe dan bakwan sama-sama oke di mataku.
Waktu itu aku lagi pegang satu tempe goreng terakhir di piring. Hans main rebut aja.
“Eh jangan—” kataku pelan.
Tapi dia udah ngambil. Langsung digigit separuh, mulut penuh sambil ketawa.
Ada sesuatu yang meletik di dadaku. Bukan karena tempenya, tapi karena... itu bukan sekali. Udah kesekian kali Hans main nyaut makanan, ngejek, ngatain aku cengeng, bilang aku 'nggak jelas'.
Aku cuma nunduk. Gigit bibir. Amanda liatin aku, matanya sedikit sempit.
“Ampi?” dia manggil pelan.
Aku nggak jawab.
Hans masih ketawa, “Halah Yen, jangan baper lah. Tempe doang ini.”
Lalu entah kenapa, aku berdiri. Ngegebrak piring plastik sampai bunyinya keras. Semua kaget. Bahkan burung di pohon ikutan terbang.
“Diam lo, Hans.”
Itu suara pertamaku setelah sekian minggu cuma diem pas diejek.
Hans bengong.
“Ye-”
Aku jalan ke dia. Gak pakai lari. Langkah pelan, tapi dadaku udah kayak diisi granat. Dan sebelum dia bisa ngomong lagi, tanganku nyambung. Satu pukulan ke bahunya. Lalu satu lagi ke dadanya. Satu lagi ke wajah.
Hans jatuh. Iran berdiri. Amanda teriak, “Ampii!”
Tapi aku gak berhenti.
Aku gak marah karena gorengan. Aku marah karena tiap hari dibilang cengeng. Karena aku diem, mereka kira aku lemah. Karena aku mencoba baik, mereka kira aku gak bisa marah.
Dan hari itu, aku buktiin... aku bisa.
Amanda akhirnya narik bajuku dari belakang. Nahan aku. Tapi aku udah selesai.
Hans duduk di tanah, tangannya nutupin hidung yang berdarah.
Iran cuma diem. Mukanya pucat. Dan Amanda... matanya penuh bingung. Dia gak takut, tapi aku bisa lihat: dia gak nyangka aku bisa segelap itu.
Hari itu, aku gak nangis. Gak minta maaf. Aku cuma duduk lagi di bawah pohon cengkeh, sendirian.
Dan anehnya... rasanya lega. Tapi juga hampa.
Malamnya Amanda nyamperin. Duduk di sebelahku, diam cukup lama sebelum akhirnya berkata:
“Kamu kesel ya?, aku ngerti kok.”
Aku gak jawab.
Dia lanjut, “Tapi mulai sekarang... ayo marah dengan cara yang gak bikin kamu sendirian.”
Itu kalimat yang aku gak ngerti sepenuhnya sampai bertahun-tahun kemudian.
Bagian 4: 2011 — Kepergian dan Absurd yang Bertumbuh
Amanda mulai jarang main. Katanya les. Katanya mamanya nyuruh bantu beresin rumah. Katanya capek. Tapi aku tahu dari gerak tubuh dan cara dia ketawa yang makin pelan—ada yang berubah.
Suatu sore, dia duduk bareng aku di atas genteng rumahku. Tempat favorit kami kalau lagi males ketemu orang. Angin sore nyapu rambut dia yang mulai tipis di beberapa bagian. Tapi waktu itu aku belum ngeh.
"Ampi," katanya, "kalau aku pindah rumah... kamu bakal sedih, nggak?"
Aku mikir sebentar, terus jawab, "Tergantung. Rumahnya pindah ke mana."
Dia ketawa kecil. "Probolinggo."
Aku diam. Baru kali ini kata itu terasa kayak... jarak.
"Kenapa?" tanyaku akhirnya.
"Karena ada dokter di sana," katanya pelan. "Katanya, bisa bantu aku."
Aku noleh. "Kamu sakit?"
Dia senyum. Tapi bukan senyum absurd biasa. Senyum itu mirip kayak orang mau pamit tapi gak bisa bilang langsung.
"Leukimia, Ampi."
Dan saat itu, jantungku ngilu. Bukan kayak ditusuk. Tapi lebih kayak... ditarik pelan-pelan.
Aku gak tahu leukemia itu apa. Tapi dari nada suaranya, aku tahu: ini bukan flu biasa.
Sejak itu, aku mulai berubah.
Kalau dulu aku diem karena takut, sekarang aku diem karena mikir. Kalau dulu aku pendiam karena canggung, sekarang karena kosong. Tapi anehnya, justru absurd Amanda makin nempel ke aku.
Aku mulai niruin tingkah lakunya—pakai kalimat-kalimat aneh, bikin suara-suara nggak penting, narik muka konyol tiap kali suasana jadi terlalu sepi. Bahkan mulai pakai kaus kaki beda warna karena dia pernah bilang itu ‘lambang pemberontakan diam-diam’.
Iran kadang heran. Hans makin jaga jarak.
Tapi aku gak peduli.
Karena setiap absurditas yang aku lakukan, rasanya kayak... menjaga bagian dari Amanda yang belum pergi sepenuhnya.
Sebelum dia benar-benar pindah, dia datang sekali lagi ke rumahku.
Bawa sepucuk surat kecil, dilipat jadi segitiga. Dikasih stiker lumba-lumba.
"Kalau kamu ngerasa sendirian banget, baca ini."
Aku belum buka sampai bertahun-tahun kemudian.
Waktu dia pamit, gak ada drama. Cuma lambaian tangan dari belakang mobil.
Tapi di dalam hatiku, ada sesuatu yang jatuh pelan. Dan gak pernah utuh lagi.
Bagian 5: 2015–2016 — Layar Warnet, Inbox Facebook, dan Keheningan yang Melebar
Warnet di ujung gang jadi tempat paling rajin aku datangi setelah rumah dan kamar mandi. Bukan buat main game, bukan buat nonton video random, tapi cuma buat satu hal:
Buka Facebook.
Lebih tepatnya: ngecek inbox Amanda.
Karena aku gak punya HP. Karena belum ada WhatsApp. Dan karena, ya, cuma itu yang tersisa.
Setiap sore, setelah sekolah, aku ngumpulin recehan dari saku seragam, dari sisa jajan, dari kebohongan-kebohongan kecil kayak, “Enggak, Bu. Aku udah makan di sekolah tadi.” Semua demi 2.000 per jam di warnet.
Begitu duduk, aku login akun Facebook yang aku buat cuma buat bisa nge-chat dia. Foto profilnya masih pakai gambar kucing yang kami ambil bareng di tahun 2009. Nama akunnya: Manda kcill X hokya-hokya menolak sadar— karena dia yang kasih nama itu.
Inbox-nya sepi. Kadang aku cuma ngetik:
> "Panda, hari ini Iran ditunjuk jadi ketua kelas. Tapi dia malah nyuruh Hans yang ngomong."
Atau:
> "Aku ngelawak pake sendal sebelah lagi di kelas. Nggak lucu, tapi Pak Guru malah nyuruh aku maju ke depan. Kelas ketawa. Aku juga."
Atau cuma:
> "Aku kangen absurd kamu."
Kadang balesannya datang.
Lama.
Kadang cuma emoji hati atau “Ampi, jangan lupa makan ya.”
Kadang enggak sama sekali.
Tapi aku tetap datang ke warnet. Seolah mengetik dan mengirim itu sudah cukup. Seolah kalimat itu nyambung ke tempat dia berada.
Di suatu sore mendung, aku pernah nulis:
> "Aku gak tahu kamu masih baca ini atau enggak. Tapi aku pengen bilang, aku nyoba terus buat jadi absurd. Kadang berhasil, kadang nggak. Tapi aku inget janji kita: jangan jadi normal. Karena normal itu ngebosenin."
Hari itu dia gak bales. Tapi aku merasa... Amanda baca.
Atau minimal, aku butuh percaya begitu.
Dan dari situ, absurd yang ada di diriku terus tumbuh. Bukan lagi karena meniru, tapi karena itu satu-satunya cara untuk tetap waras. Satu-satunya cara buat menjaga dia tetap hidup, meski cuma di gaya tertawaku yang aneh, di baju belang-belang yang sengaja aku pasangkan asal, di setiap cerita yang aku buat di kepala biar dunia gak terlalu nyata.
Tapi dunia nyata tetap datang.
Dan tahun berikutnya, dunia itu nyeret aku ke kuburan Amanda.
Bagian 6: 2017 — Tertawa yang Menangis, dan Tangisan yang Tertahan
Kami naik mobil milik kerabat Iran. Tujuan kami: Probolinggo. Lebih tepatnya, sebuah pemakaman sunyi yang cuma muncul di cerita-cerita Amanda dulu, saat dia bilang:
> “Kalau aku mati, kalian harus ke kuburanku. Biar aku bisa ngagetin dari balik batu nisan.”
Itu terdengar lucu waktu dia bilang.
Tapi sekarang kami benar-benar dalam perjalanan ke sana.
Hans duduk paling belakang, sandaran kursi diturunin sampai dia bisa menyembunyikan wajahnya di balik jaket. Iran diam sejak berangkat, hanya sesekali membuka jendela dan memejamkan mata. Aku? Aku gak tahu ekspresi mukaku waktu itu. Tapi di dalam dada, rasanya seperti ada sesuatu yang gak bisa dikeluarin lewat kata, gak cukup dilepas lewat air mata, dan terlalu absurd kalau dijelasin.
Kuburan Amanda biasa aja. Tanah merah, nisan putih sederhana, dan bunga-bunga plastik yang mulai kusam. Tapi di mataku, itu tempat paling absurd di dunia—karena dia ada di sana, dan kami cuma bisa menatap dari luar tanah.
Iran berdiri paling dekat. Tangisnya meledak tanpa aba-aba. Bahunya berguncang, dan suara lirihnya seperti bisikan yang diterkam angin.
Hans menggenggam kerah jaketnya sendiri, wajahnya memerah, tapi matanya tetap kering—entah karena ego atau karena dia benar-benar gak bisa nangis. Tapi aku tahu... dia nahan.
Aku berdiri agak jauh. Melihat mereka, melihat nisan, melihat dunia yang seperti bercanda.
Aku ketawa kecil.
Gak keras, gak nyaring. Tapi jelas. Ketawa absurd yang sering Amanda tiru.
Ketawa itu keluar, dan... air mataku ikut keluar, pelan, pelan sekali.
Aku bilang ke nisan Amanda dalam hati:
"Aku berhasil, Panda. Aku masih absurd. Tapi... kenapa rasanya kosong banget, ya?"
Dan di detik itu, aku tahu. Kehilangan bukan tentang air mata yang jatuh. Tapi tentang seberapa lama kamu bisa bertahan pura-pura gak kehilangan apa-apa.
Epilog: 2025 — Pohon Cengkeh dan Pertemuan Tak Direncanakan.
Delapan tahun sudah lewat sejak Amanda meninggal. Tapi rasanya baru kemarin dia nyeret tanganku buat duduk di bawah pohon cengkeh ini.
Sekarang aku duduk sendirian. Ya, masih di tempat yang sama. Tanahnya sudah kering dan akar-akar pohonnya makin mencuat keluar. Angin lewat seperti biasa, tapi sepi kali ini agak lain.
Aku bawa sebungkus roti sobek, dan seperti biasa, gak habis. Kupikir, kalau Amanda masih hidup, dia pasti udah bilang:
> “Roti segede itu buat siapa, Ampi? Buat dimakan atau dijadiin bantalan tidur?”
Pikiran itu bikin aku senyum kecil. Tapi gak ada yang jawab. Dan sepi lagi-lagi menang.
Aku tarik napas panjang, mataku terpejam, dan aku bisik ke angin:
“Apa kabar, Panda?”
“Masih absurd kayak dulu, ya?”
Suara itu bukan dari dalam kepala. Itu nyata. Di belakangku. Refleks aku noleh, dan di sana—
Iran.
Dia berdiri, agak kikuk. Rambutnya dipotong pendek sekarang. Tas selempang kain tergantung di bahunya. Wajahnya gak banyak berubah, tapi matanya... matanya seperti nyimpan banyak yang gak pernah dikatakan.
Kami berdua saling tatap beberapa detik.
Lalu Iran angkat alis, senyum tipis, dan berkata:
> “Masih suka ngobrol sama pohon juga?”
Aku ketawa kecil. Kali ini, gak sambil nangis.
Aku geser dudukku, tepuk-tepuk tanah di samping.
“Kalau gak jijik duduk di sini, sini. Roti sobeknya belum gue gigit.”
Dia duduk. Dan untuk pertama kalinya dalam delapan tahun, aku gak ngerasa absurd sendirian.
Kami duduk lama, diam dulu. Tapi diam yang nyaman. Diam yang jarang bisa terjadi kecuali dengan orang yang pernah sama-sama kehilangan.
Iran akhirnya buka suara.
"We inget gak dulu Amanda pernah ngubur tutup botol Fanta di bawah sini, bilang itu 'harta karun'?"
Aku nyengir. "Yang dikubur bareng surat cinta buat ‘Oppa’ Korea fiktif, kan?"
Iran ketawa, lepas. “Ya Tuhan, itu... Oppa-nya bahkan gak punya nama. Cuma 'Oppa'."
"Amanda bilang, kalau surat itu dibaca Oppa-nya, dunia bakal jadi damai. Sumpah.”
"Aku dulu percaya, loh," kata Iran, lirih, masih tersenyum.
Kami diam lagi sebentar. Angin lewat, bawa aroma tanah dan daun cengkeh yang jatuh. Lalu Iran nyender pelan ke batang pohon, menatap langit yang mulai jingga.
"Kowe dulu takut banget ngobrol sama orang. Tapi kalo sama Amanda, we bisa nonstop kayak radio rusak."
Aku ngangguk. "Dia satu-satunya orang yang gak bikin gue ngerasa harus jadi orang lain."
Iran melirikku. “Sekarang we udah bisa ngomong banyak ke orang. Tapi kadang... kayak ada bagian dari kowe yang hilang juga.”
Aku pandangin tanah. Aku tahu maksud Iran.
Kadang untuk bisa jadi orang yang berani ketawa paling kencang, kita harus pernah jadi orang yang nangis paling diam.
Lama-lama matahari turun juga. Kami berdiri, sama-sama sapu celana yang berdebu. Jalan perlahan ke arah gerbang kebun yang udah berkarat, gerbang yang dulu kami takutin waktu kecil karena katanya dijaga ‘nenek pohon’.
Kami mulai melangkah ke arah gerbang. Jalan setapak tanah itu masih berdebu seperti dulu, cuma sekarang lebih sempit, diliputi rerumputan liar dan kenangan yang numpuk kayak sampah di pojokan warung kosong.
Dan di sana…
Hans.
Duduk di pinggir gerbang berkarat, senderan ke tiang besi, seolah dia udah nunggu dari tadi. Seekor kucing duduk di pangkuannya.
Dia gak bilang apa-apa saat kami mendekat. Cuma senyum kecil, tangannya ngelus kepala kucing.
"Aku mau ke sana juga tadinya," katanya pelan, ngangguk ke arah pohon cengkeh. "Tapi kulihat kalian udah duluan. Jadi… aku tunggu di sini."
Iran tertawa pendek. “Kenapa? Malu?”
Hans geleng. “Bukan. Gue cuma gak mau ganggu. Gue pikir... ada hal-hal yang cuma bisa dibicarakan sama orang yang pernah saling diam bareng.”
Aku menatapnya. Lalu menatap Iran. Dan tanpa banyak kata, kami bertiga berdiri dalam formasi lama—gue di tengah, Hans di kiri, Iran di kanan.
Gak ada komando, tapi kaki kami bergerak bersamaan. Langkah pertama selalu yang paling berat. Tapi setelah itu, entah kenapa rasanya ringan. Kayak dulu waktu kita naik sepeda boncengan bertiga sambil nyanyi lagu iklan susu.
Langit makin jingga. Angin sore lewat pelan, bawa aroma cengkeh dan debu yang hangat.
Di tengah jalan, aku melirik dua orang di sebelahku. Sahabat yang pernah gue musuhi cuma gara-gara gorengan jatoh. Sahabat yang pertama kali manggil gue Ampi. Sahabat yang diam-diam ninggalin surat ke Amanda waktu kita SMP, cuma karena gak sanggup pamit beneran.
Gue narik napas.
> Beberapa kenangan gak bisa diulang. Tapi bisa didatangi lagi.
Dan kadang…
> Luka itu bukan buat disembuhkan. Tapi buat diinget, supaya kita gak lupa siapa yang pernah bikin kita kuat.