Masukan nama pengguna
Desa ini tidak layak disebut dunia.
Langit telah menjadi langit-langit mulut raksasa—gigi-gigi batu karang menggantung, meneteskan lendir kuning yang membakar kulit jadi lepuh. Kami adalah kotoran di lidahnya.
Ia ada di mana-mana, tapi tak pernah ada.
Remaja tanpa wajah itu berdiri di persimpangan, kulitnya telah kami kupas untuk upacara panen yang gagal. Tiga tahun lalu, saat ususnya kami gunakan sebagai tali untuk menjerat serigala bermata delapan, ia tersenyum. Senyum itu masih melekat di dinding gereja, membusuk jadi lukisan daging yang berbisik:
"Kalian membutuhkanku lebih dari udara."
Kami menghidupkannya kembali setiap malam.
Dengan pisau tulang rusuk anak bungsu, kami ukir wajahnya di perut ibu hamil. Janin yang lahir nanti akan memiliki suaranya yang hilang—suara yang kami jadikan pupuk untuk ladang gandum bernyawa.
Tapi tanah memberontak.
Akar-akar menembus mata kami, menyatu dengan retina. Kini, kami melihat apa yang ia lihat: diri kami sendiri sebagai belatung raksasa yang menggerogoti bumi.
Di hari ke-100 tanpa siang, kami memutuskan:
"Dia harus dimakan."
Upacara diadakan di bawah altar dari tulang paha pendiri desa. Remaja itu diikat dengan rambut kami yang telah jadi cacing. Ibu-ibu menyayat dagingnya yang hantu—daging yang tak ada, tapi mulut kami penuh darah ketika mengunyah.
"Kuduslah dagingnya," kami menyanyi, sementara anak-anak terkecil mengukir simbol kesucian di punggung mereka sendiri dengan kuku mutan.
Tapi kami salah.
Yang kami makan bukan dia.
Perut kami membesar. Kulit perut transparan, memperlihatkan bayi-bayi dengan wajahnya yang terkikis. Mereka menggigit rahim kami dari dalam, menyanyikan liturgi kematian dalam bahasa kami yang sudah punah.
Kepala desa, kini jadi gundukan mata dan telinga, menjerit:
"Keluarkan dia! Keluarkan!"
Tapi kata-kata kami telah berubah jadi ulat. Setiap teriakan adalah telur yang menetas di paru-paru.
Di puncak penderitaan, gereja runtuh.
Patung Bunda Maria jatuh, wajahnya adalah wajah remaja itu. Dari mulutnya keluar akordeon usus—alat musik hidup yang memainkan lagu kelahiran kami sendiri.
Kami menari.
Daging kami meleleh, menciptakan sungai-sungai kecil yang mengalir ke altar. Di sana, remaja itu duduk di singgasana gigi manusia.
"Kalian desa," suaranya adalah gema dari perut kami yang sobek, "adalah kotoran yang memuja diri sendiri sebagai tuhan."
Kami memohon, tapi mulut kami dipenuhi kuku kami sendiri yang tumbuh ke dalam.
Di hari terakhir:
- Matahari terbit dari barat, berupa bola mata raksasa yang menangis darah beku.
- Anak-anak yang tersisa bermain lompat tali dengan otot paha kakek mereka.
- Lagu pengakuan dosa kami terkunci di kuping-kuping yang bermutasi jadi kelelawar.
Kami tidak mati.
Kami menjadi nyanyian.
Sekarang, ketika angin berhembus melalui lubang-lubang di tubuh kami yang berlubang, terdengar suara harmonisasi:
"Kami adalah doa yang tak dijawab. Kami adalah daging yang mengutuk diri sendiri."
Di suatu tempat, di antara usus bumi, remaja itu tersenyum.
Senyumannya adalah pintu ke desa berikutnya.