Cerpen
Disukai
6
Dilihat
11,095
Pacarku Preman
Romantis

Cerpen

PACARKU PREMAN

Oleh: Sulistiyo Suparno

 

Tinggal di daerah kumuh memang kurang nyaman. Kedamaian seperti barang mahal di daerah ini. Setiap saat keselamatan terancam. Anak-anak dilarang keluar malam oleh orangtua mereka, termasuk Reyna yang meski sudah kelas XII SMA, tetapi jam lima sore harus sudah berada di rumah.

Malam adalah saat yang menakutkan. Orang-orang entah dari mana hilir mudik, entah untuk urusan apa. Kata ayah, mereka sedang “bekerja”. Sekian lama Reyna tidak mengerti maksud ayah. Belakangan, Reyna tahu “pekerjaan” orang-orang itu sesuatu yang mengerikan.

Bila bisa memilih, Reyna ingin tinggal di lereng gunung, lembah, atau dataran tinggi yang dikelilingi persawahan, ladang sayur, atau bahkan di tepi hutan. Tempat di mana ia bisa melihat pepohonan dan dedaunan hijau yang menyejukkan mata, bukan melihat tumpukan sampah di sembarang tempat dan menghirup udara yang menyesakkan dada seperti saat ini.  

Reyna pernah meminta ayah untuk pindah ke daerah lain seperti yang ia impikan. Minimal ke tempat yang tenang dan aman. Di mana saja asal bukan lagi di dekat pelabuhan seperti sekarang. Di sini, hujan sedikit saja rumah berubah menjadi danau, setelah itu jalanan menjadi becek, nyamuk merajalela dan penyakit datang menyerang.

Tetapi ayah menolak karena sebagai pegawai rendahan pada kantor pelabuhan, hidup mereka pas-pasan, tidak mampu mengontrak rumah. Lagi pula sayang bila harus menjual rumah warisan.

Bila malam Minggu tiba, Reyna hanya bisa menelan keinginannya untuk bermalam panjang. Ayah melarang Reyna keluar malam. Lebih parah lagi Reyna belum punya kekasih. Pemuda mana yang mau memacari gadis pelabuhan?

Banyak pemuda yang takut berkunjung ke daerah kumuh itu, apalagi mengunjungi rumah gadis. Para pemuda takut pada preman-preman yang mangkal di pos ronda di mulut gang. Sekumpulan preman itu gemar memalak orang-orang yang lewat.

Preman-preman itu kebanyakan anak putus sekolah. Mereka hanya baik pada gadis cantik; itu pun dengan catatan mereka dalam keadaan sadar. Bila sedang mabuk, mereka lupa daratan. Siapa saja yang melintas mereka ganggu, termasuk Reyna yang terpaksa lari dan menangis karena seorang dari preman itu mencoba berbuat kurang ajar padanya.

Reyna menangis dalam pelukan ibu. Sementara ayah hanya diam menahan marah. Ayah terlalu sabar hidup di daerah itu. Malamnya, saat Reyna dan ibu sedang menonton televisi, ayah pulang dengan wajah menyisakan berang.

“Dari mana, Yah?” tanya ibu.

“Menghajar orang!” sahut ayah pendek.

Esoknya, Reyna melihat preman yang mencoba berbuat kurang ajar padanya kemarin, berwajah bengkak di bagian mata dan ada luka yang belum kering benar di bibir.

***

Suatu pagi di dekat rumah Reyna ada kerumunan orang-orang dan mobil polisi.

“Ada apa, Pak?” tanya Reyna pada seorang lelaki setengah baya.

“Jiteng ditangkap. Dia membacok orang.”

Jiteng adalah preman yang tempo hari hendak berbuat jahat pada Reyna. Nama aslinya, entah, tetapi orang-orang memanggilnya Jiteng karena kulitnya gelap dan dekil.

Reyna melihat Jiteng dibekuk polisi, keluar dari halaman rumahnya, lalu dinaikkan ke mobil tahanan bak terbuka. Beberapa orang berteriak memaki, tetapi sebagian besar orang-orang hanya diam, seakan tak ada yang perlu dipersoalkan.

Penangkapan seseorang di daerah itu adalah hal biasa. Masuk keluar tahanan atau penjara seperti piknik gratis saja bagi sebagian warga. Orang-orang di daerah itu sudah terbiasa berurusan dengan aparat keamanan dan hukum.

Reyna memandang dengan tatapan gamang pada Jiteng di mobil tahanan yang melaju perlahan meninggalkan kerumunan. Reyna merasa senang tetapi juga ada setitik iba. Tetapi, setidaknya Reyna merasa aman dari gangguan preman itu selama beberapa waktu ke depan.

***

Reyna merasa makin aman sejak akrab dengan Benny. Sebenarnya mereka sudah lama kenal, tetapi hanya sebatas bertegur sapa. Sampai suatu petang Reyna melihat Benny berdiri di depan rumah.

“Boleh jalan bareng?” tanya Benny.

Reyna mengangguk meski menyimpan ragu dan curiga. Tetapi, syukurlah tak ada insiden buruk sampai mereka memasuki halaman masjid. Kemudian, petang-petang berikutnya mereka sering berjalan bersama menuju masjid.

Benny anak Teknik Otomotif sebuah SMK swasta, usianya sebaya Reyna. Tubuhnya ceking dan tak terlalu tinggi. Meski sosoknya kecil, tetapi Benny jagoan, jadi bos pemuda-pemuda seusianya. Preman-preman di mulut gang juga segan padanya, sehingga mereka tak berani lagi mengganggu Reyna.

Benny itu pendiam, termasuk alim untuk pemuda yang kerap bergaul dengan berandalan.

“Aku nggak munafik, aku memang pernah coba ngisap ganja. Sekali saja, setelah itu nggak lagi,” kata Benny suatu petang.

“Aku nggak mau kamu pakai narkoba lagi, Ben. Kalau kamu pakai narkoba lagi, aku nggak mau jadi teman kamu.”

“Teman?” alis Benny bertautan.

“Ya....setidaknya teman dekat.”

Benny tersenyum mendengar jawaban Reyna.

Suatu hari Benny ingin mengajak Reyna jalan-jalan. Reyna gembira, tetapi harus meminta izin dulu pada ayah.

“Boleh ya, Yah?” Reyna merajuk.

Ayah hanya diam, memandang ibu seperti minta pertimbangan.

“Baiklah,” sahut ayah.

Nadya melonjak girang dan memeluk ayah.

“Terima kasih, Ayah, terima kasih.”

Usai sholat isya, Reyna mematut diri di depan cermin. Menaburkan bedak padat tipis-tipis pada pipinya yang sawo matang, mengoleskan lipgloss pada bibirnya yang tipis, dan menyisir rambutnya yang sebahu.

“Kamu cantik sekali, Reyna,” kata ibu.

Di teras, Benny telah menunggu. Di halaman, ada motor sport hijau. Reyna tersipu-sipu ketika naik ke boncengan. Ah, seperti bintang sinetron Anak Jalanan saja rasanya.

Beberapa ibu tetangga memandang dan mencandai mereka. Preman-preman di mulut gang bersuit-suit.

Mereka keliling kota, duduk di bangku beton di sudut alun-alun, setelah itu makan burger dan kentang goreng di restoran cepat saji. Malam itu Reyna bahagia sekali, wajahnya berseri-seri. Itu kali pertama bagi Reyna bermalam Minggu dengan seorang pemuda!

“Sudah malam. Kita pulang?” tanya Benny menggenggam tangan Reyna.

Dada Reyna berdebaran. Reyna tersipu dan mengangguk pelan.

Di depan rumah, ketika Reyna hendak membuka pintu pagar, Benny bertanya, “Malam tahun baru nanti, kamu ada acara?”

Malam tahun baru? Ah, tak terasa tahun 2016 segera berakhir. Seumur-umur, Reyna belum pernah merayakan malam tahun baru.

Reyna tidak segera menjawab, jantungnya berdebar. Pertanyaan Benny itu adalah ajakan untuk kembali jalan-jalan bersama. Merayakan malam tahun baru, oh, itu menyenangkan sekali. Reyna gugup, belum menemukan jawaban.

Di depannya, Benny masih menunggu jawab.

“Tak apa,” ujar Benny. “Aku mengerti, kamu harus minta izin sama ayah dan ibumu. Kutunggu jawabanmu besok magrib di masjid, oke?”

Reyna bernapas lega ketika melihat Benny tersenyum. Oh, sungguh preman yang santun.

***

Hari ini Reyna pulang sore. Reyna sudah pamit pada ayah dan ibu, bila hari ini ada pertemuan evaluasi akhir tahun anak-anak klub pencinta buku di sekolah, sehingga ia akan sampai rumah sekitar pukul empat sore.

Langkah Reyna terhenti ketika melihat kerumunan orang-orang dan mobil polisi. Reyna melihat dua polisi menggiring seseorang lalu menaikkannya ke mobil tahanan. Reyna terhenyak tak percaya, tubuhnya gemetar.

“Ada apa, Bu?” tanya Reyna pada seorang wanita setengah baya.

“Benny ditangkap. Dia anggota sindikat penyelundup barang-barang elektronik.”

Reyna terhuyung sejenak. Tidak, ini pasti mimpi! Benny yang baik, tak mungkin melakukan itu. Hati Reyna berontak, tetapi matanya jelas melihat Benny tertunduk dengan tangan diborgol, duduk diapit dua polisi.

Dari mobil tahanan, Benny mengangkat wajah sejenak. Reyna yakin Benny melihatnya. Orang-orang menatap Reyna, entah apa maksud mereka.

Reyna melihat beberapa anak kecil membawa terompet, berlarian di jalanan gang. Meniup-niup terompet itu meski tahun baru masih beberapa jam lagi.

Nanti malam, jelas, Reyna tidak bisa merayakan malam tahun baru bersama Benny!

***SELESAI***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)