Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
12,611
Mimpi Indah
Drama

Setelah empat tahun kuliah dan mulai menyusun skripsi, Piko mendapatkan mimpi-mimpi indah. Tiap pagi, ia berkeliling asrama, menceritakan mimpi-mimpi indahnya pada teman-teman mahasiswa. Menggebu-gebu ia bercerita. Teman-temannya mendengarkan dengan beragam tingkah; ada yang saksama, sambil mengupil, mengorek kuping, menjemur pakaian. Mereka mendengarkan tanpa berkomentar, hanya mendengarkan, sampai Piko menyurutkan langkah kembali ke kamarnya.

Bersama mimpi-mimpi indah, Piko senantiasa tersenyum sepanjang waktu. Pada siapapun ia bertemu, ia menawarkan apakah mereka mau mendengarkan mimpi-mimpi indahnya. Mereka yang mengenal Piko akan menghormatinya dengan meluangkan waktu untuk mendengarkan Piko bercerita tentang mimpi-mimpi indahnya. Mereka yang belum mengenal Piko akan mengernyitkan dahi atau lari menghindar.

Sinar mentari menerobos melalui ventilasi kamar. Piko duduk menghadap laptop. Sepuluh jemarinya bergerak-gerak cepat di papan tuts, bahunya bergoyang-goyang, sementara bibirnya melantunkan lagu, entah lagu apa. Piko selalu begitu tiap pagi.

Piko berhenti mengetik, menoleh ke sudut kamar.

“Bisa aku pinjam uangmu?” Piko menyeringai pada Frank, teman kamarnya.

“Berapa?”

“Seharga satu rim kertas A4. Aku perlu banyak kertas. Aku punya banyak mimpi indah.”

Frank melirik laptop Piko; layarnya penuh huruf berantakan. Di dekat laptop tampak tumpukan lima rim kertas A4 yang masih bersegel. Frank tak mau berdebat, meski ia tahu semua kertas di kamar itu akan penuh dengan huruf berantakan. Frank mengeluarkan selembar uang merah dari dompet.

Piko tersenyum menerima uang itu.

“Terima kasih, Frank. Akan kuceritakan sebuah mimpi indah untukmu.”

“Tak perlu, kawan,” sergah Frank. “Uang itu tak seberapa, tak sebanding dengan mimpi indahmu. Ambillah, dan seperti yang sudah-sudah, jangan pikirkan kapan kau akan mengembalikannya. Ambil saja. Kali ini anggaplah sebagai kado perpisahan kita.”

Frank mengambil satu tas lalu menaruhnya di punggung. Satu tas lagi ia tenteng, dan setelah mengucap, “Selamat tinggal, kawan. Semoga kau menemukan hari yang lebih baik,” Frank meninggalkan kamar mereka. Frank siap untuk berpindah asrama.

Siang, Piko berjalan kaki menuju kampus. Piko memasuki ruangan Tuan Mayo Draco, Ph.D., dosen pembimbing skripsinya. Piko menyerahkan setumpuk kertas. Tuan Draco memeriksa kertas-kertas itu dan tertegun. Setumpuk kertas dari Piko itu penuh huruf berantakan. Tuan Draco tersenyum, mengambil selembar notes dan menulis sesuatu, kemudian memasukkannya ke amplop putih berkop Metro University.

“Kau pulanglah. Ambil libur dua atau tiga minggu,” kata Tuan Draco, menyerahkan amplop pada Piko. “Sampaikan surat ini untuk orangtuamu.”

Piko menurut. Satu jam menumpang kereta api cepat, berganti setengah jam naik bus, Piko sampai di rumah. Piko menyerahkan sepucuk amplop putih pada Nyonya Marina, ibunya.

Usai membaca surat dalam amplop itu, Nyonya Marina meneteskan air mata. Nyonya Marina menggenggam tangan Tuan Thomas, suaminya. Bibir Nyonya Marina bergetar saat berkata, “Ini semua salah kita, Thomas. Kau dan aku. Tak seharusnya kita memaksakan cita-cita kita pada Piko. Ini salah kita, salah kita.”

***

Mengikuti saran Tuan Draco melalui surat tempo hari, Nyonya Marina dan Tuan Thomas membawa Piko ke sebuah gedung yang luas dan bercat putih. Seorang perempuan muda berseragam putih mengantar Piko memasuki sebuah ruangan. 

Satu jam kemudian seseorang mengantar Nyonya Marina dan Tuan Thomas ke ruangan Tuan Zigo, psikiater terkenal.

“Kasus Tuan Piko adalah yang ke sepuluh dalam setahun ini,” kata Tuan Zigo. “Siapa yang menentukan ke mana Piko harus kuliah?”

Nyonya Marina dan Tuan Thomas saling menatap.

“Kami,” jawab suami isteri itu serempak.

“Sudah saya duga,” kata Tuan Zigo. “Saya harap Tuan dan Nyonya bersedia bersikap bijak, membuang ego. Biarkan Tuan Piko menentukan sendiri arah hidupnya, cita-citanya.”

“Tapi, tinggal selangkah lagi Piko wisuda,” kata Tuan Thomas.

“Selangkah lagi,” sahut Tuan Zigo tersenyum, menahan tawa. “Tetapi itu akan membuat beban pikiran Tuan Piko bertambah berat. Apakah kertas-kertas skripsi Tuan Piko berisi hasil penelitian atau hanya berbaris-baris huruf berantakan?”

Tuan Thomas diam.

“Maafkan kami,” Nyonya Marina menyela. “Kami tak ingin berdebat. Apa yang harus kami lakukan?”

“Tak ada cara lain, Nyonya,” kata Tuan Zigo. “Biarkan Piko menentukan hidupnya sendiri. Dan untuk sementara waktu, dua atau tiga minggu, biarkan Tuan Piko dalam perawatan kami.”

Mobil suami isteri itu melintasi halaman gedung, melewati plang bertuliskan: Rumah Sakit Jiwa Kota Impian. Dari balik kaca jendela mobil, sepasang mata Nyonya Marina berkaca-kaca membaca tulisan itu. Sungguh, ia tak menyangka anaknya akan menghuni gedung itu untuk dua atau tiga minggu ke depan.

Piko mendapat ruangan 5 x 6 meter bercat putih, berpintu jeruji, toilet dalam, dan sebuah wastafel. Ada dua lemari, serta dua ranjang yang tertata berseberangan di sana. Piko duduk di tepi ranjangnya. Di ranjang lain, seorang pemuda tengah berbaring menatap langit kamar.

Piko mengulurkan tangan.

“Namaku Piko,” katanya. “Maukah kau mendengarkan sebuah mimpi indah dariku?”

“Tidak, terimakasih,” si pemuda menoleh sejenak dan mengabaikan uluran tangan Piko. Si pemuda kembali menatap langit kamar dan tersenyum seperti melihat sesuatu yang membahagiakan, lalu melanjutkan bicara, “Aku sudah punya mimpi-mimpi indahku sendiri.”

***SELESAI***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)