Masukan nama pengguna
Bagiku, Anita Rengganis adalah gadis tercantik di sekolah. Banyak cowok termasuk diriku berharap mampu merebut hatinya. Harus kupikirkan cara untuk memikatnya.
Aku wartawan majalah sekolah yang terbit bulanan. Setiap menuju Ruang Redaksi, aku melintasi kelas Anita, XII IPA 1. Sering kulihat Anita duduk di kursi taman di depan ruang kelasnya, sedang berbincang-bincang dengan teman-temannya.
Ingin sekali aku bergabung dengan mereka, setidaknya untuk menyapa gadis berkulit putih dan berhidung mancung itu. Tetapi selama ini keinginanku itu selalu sebatas impian. Aku wartawan, tetapi pemalu bila berhadapan dengan cewek.
Majalah edisi mendatang akan menurunkan laporan utama tentang persepsi remaja tentang cinta. Beberapa reporter mendapat tugas mewawancarai beberapa sumber. Spontan, aku menyatakan siap mewawancarai Anita Rengganis.
Cewek jangkung itu layak kujadikan narasumber, karena ia ketua klub diskusi Cinta Buku di sekolah. Hampir tiap hari klub itu melakukan diskusi di taman sekolah. Selain itu, tiap semester Anita selalu masuk peringkat 3 besar di kelasnya.
Aku telah membuat janji wawancara dengan Anita. Usai jam sekolah, kami telah duduk di rerumputan taman di depan ruang kelasnya.
Semua pertanyaanku tentang cinta dijawab Anita dengan cerdas. Beberapa kali ia mengutip pendapat para ahli dari berbagai sudut pandang. Aku seperti membaca buku mendengar uraian-uraian dari Anita. Kurekam wawancara itu di ponselku.
“Anggaplah ini sudah waktu bagi kamu, apa kamu siap jatuh cinta saat ini?” tanyaku.
“Jatuh cinta?” bola mata Anita mengarah ke langit, seakan mencari jawab di sana. Memainkan ujung hijab putihnya. “Aku nggak mau jatuh cinta,” katanya.
“Maksudmu, menolak jatuh cinta?”
“Mungkin,” Anita tersenyum. “Ah, bukan. Aku bukan menolak jatuh cinta, tetapi nggak mau jatuh cinta. Atau ..., ah, entahlah.”
“Mengapa nggak mau jatuh cinta?”
“Jatuh itu sakit. Aku ingin membangun cinta, bukan jatuh cinta,” kata Anita mengulum senyum.
Aha! Itu jawaban yang melegakan.
“Baiklah. Sekarang kita bicara hal lain, tetapi masih tentang kamu,” kataku.
“Tentang apa?”
“Apa cita-citamu?”
Anita tersenyum. “Kamu orang ke sejuta yang menanyakan itu. Dan sejuta kali kujawab aku ingin jadi dokter. Kami keluarga dokter.”
Anita bercerita tentang keluarganya. Papanya dokter umum, ibunya dokter kandungan, kakak perempuannya dokter spesialis THT. Mereka lulusan dari sebuah universitas swasta yang sama.
“Aku juga ingin kuliah di kampus itu. Aku sudah daftar lewat Jalur Prestasi,” kata Anita.
“Hebat! Aku yakin impianmu akan terwujud. Kamu cerdas dan cantik!” Aku terpana menyadari ucapanku sendiri. Aku gugup. Kulihat Anita tersipu dan pipi merona merah.
“Sekarang aku yang bertanya, apa cita-citamu? Apa kamu ingin jadi wartawan seperti papa, mama, dan kakakmu?” tanya Anita.
“Kamu tahu tentang aku? Dari mana kamu tahu?” tanyaku, terpana.
“Ada aja!” Anita tertawa, mengerlingkan mata.
***
Acara perpisahan baru saja usai. Kebaya dan hijab coklat muda membuat Anita tampak sangat mempesona. Dadaku selalu berdebar tiap kali menatapnya, apalagi berdekatan dengannya.
Di sudut lain aula sekolah, kulihat papa dan mamaku berbincang-bincang dengan papa dan mama Anita.
“Papamu sering ke rumahku, bertemu papaku. Papa sering jadi narasumber berita papamu,” kata Anita.
“Dan, kamu bertanya sama papaku tentang aku?” sahutku menebak.
“Iya,” Anita mengangguk.
“Curang!”
Anita tertawa. Ketika usai tertawa, Anita memperhatikanku dari ujung rambut sampai kaki.
“Kamu ganteng pakai jas,” ucapnya.
Wajahku menghangat, dada berdebaran, dan gugup. Anita tertawa lagi. Kegugupanku tentu menggelikan bagi Anita. Tak apalah, yang penting aku senang bisa berduaan dengannya di tengah keramaian aula.
“Aku diterima di Fakultas Kedokteran,” kata Anita, menyebutkan universitas swasta idamannya. “Kelak, kalau sudah jadi dokter, aku ingin bertugas di Palestina.”
“Hebat! Aku yakin cita-citamu akan terwujud.”
“Amin.”
“Kuharap, ketika kamu jadi dokter, keadaan Palestina sudah damai.”
“Amin,” sahut Anita mengela napas. “Bagaimana denganmu, Andre? Jadi kuliah jurnalistik?”
Aku mengangguk mantap. “Kelak, kalau sudah jadi wartawan, aku ingin bertugas di Palestina, setidaknya sering meliput ke sana.”
“Kenapa?”
“Karena ada dokter cerdas dan cantik yang ingin kutemui di sana.”
“Siapa?” tanya Anita, matanya berkilat seperti menyimpan kecemasan.
“Ada aja!”
“Ih, kamu jahat!” Anita mencubit lenganku. “Siapa, Andre? Siapa yang akan kamu temui di Palestina?”
“Tauk ah, gelap,” sahutku tertawa.
Anita kembali mencubit lenganku. Aku berlari menghindar. Anita mengejarku siap dengan cubitannya. Anita terus mengejarku, tak peduli pada orang-orang yang memandang kami. ***SELESAI***