Masukan nama pengguna
“Tempatkanlah jendela kamarmu menghadap timur, maka kamu akan menjaring matahari. Menyenangkan sekali. Sinarnya berkelepak di antara jeruji, menerobos ke penjuru kamar dan menghangatkan kulitmu.”
Miranti terpana mendengar kata-kata itu meluncur dari bibir Ryan pagi itu.
“Benarkah?” sepasang mata jernih gadis 17 tahun itu memancarkan pana. Sepasang pipi putihnya menyemburatkan rona merah. Sepasang bibir ranumnya sedikit terbuka. “Benarkah aku bisa menjaring matahari?” tanyanya mengulang.
“Ya, dan kamu akan sehat jiwa raga.”
“Tetapi, jendela kamarku menghadap ke barat.” Sepasang mata bayi Miranti meredup. Sepasang bibir tipisnya terkatup. “Aku tak mungkin menjaring matahari,” kata Miranti kecewa.
Sungguh, Miranti ingin menebarkan jejaring, dengan membuka jendela kamarnya, seperti yang dilakukan Ryan setiap pagi.
“Jangan pesimis, sayang. Bukankah rumahmu masih punya satu kamar lagi, seperti yang pernah kamu ceritakan padaku?”
“Tetapi itu kamar tamu dan tak ada jendela.”
Miranti tahu sejarah kamar tamu itu. Dulu, kamar itu adalah gudang, terletak di tengah, dekat kamar mandi. Kemudian, ketika ayah mendapat rezeki, dibuatlah sepetak loteng di bagian belakang untuk gudang. Bekas gudang berganti peran menjadi kamar tamu.
Tak ada jendela di kamar tamu itu. Kata ayah, tamu tak akan menginap lama, paling satu-dua hari, jadi tak perlu jendela. Cukuplah dengan tiga lubang ventilasi untuk sirkulasi udara. Hanya dengan tiga lubang ventilasi, mana muat untuk menjaring matahari?
“Aku akan meminta ayah membuatkan jendela di kamar tamu itu, dan itu akan menjadi kamarku,” kata Miranti memantapkan diri.
Miranti yakin ayah pasti mengabulkan permintaannya. Bukan saja karena Miranti anak tunggal, tetapi permintaannya itu bukan suatu yang mahal dan merepotkan.
“Jangan lupa, pilihlah jeruji jendela kamarmu bermotif hati.”
“Mengapa hati, Ryan?”
“Itu simbol cinta, sayang, seperti cinta kita.”
Miranti menatap takjub pada Ryan. Apa kurangnya kekasihnya itu? Tak ada. Ryan tampan, atletis, perhatian, dan...Pokoknya Miranti bahagia tiada terkira memiliki Ryan.
Mengajak janjian joging di Minggu pagi adalah satu bentuk perhatian Ryan pada Miranti. “Agar tubuhmu sehat dan cantik,” kata Ryan. Miranti menurut dan bersemangat, walau sebelum mengenal Ryan, urusan lari pagi tiada dalam agenda hidup Miranti.
Matahari bergerak naik, sinarnya masih menyisakan hangat. Wajah Miranti dan Ryan berkilap oleh keringat. Ryan menyeringai ketika perutnya berbunyi, lalu jarinya menunjuk pada warung tenda di sudut alun-alun.
“Makan bubur ayam, yuk, Mir?”
***
“Menjaring matahari?”
Sepertinya ayah hendak tertawa.
“Siapa yang mengatakan itu? Rendra?” tanya ayah.
“Bukan, Ayah. Ryan yang bilang.”
“Siapa itu Ryan?”
Ups! Miranti kelepasan bicara. Ayah belum mengetahui bila Miranti telah punya tambatan hati.
“Pacar kamu?”
Oh, tak perlu penjelasan dari Miranti, rupanya ayah telah mengetahuinya. Tetapi, Miranti terlalu malu untuk mengakuinya.
“Hanya teman, Ayah.”
Ayah hanya tersenyum.
“Setelah kamu menjaring matahari, lalu apa yang akan kamu lakukan? Menggorengnya?” tanya ayah. Sepertinya tawa ayah hampir lepas.
Miranti gugup.
“Bila kamu telah menggoreng matahari, jangan lupa, Ayah minta sedikit, ya?”
Benar, bukan? Tawa ayah lepas sudah.
“Ha ha ha .....”
***
Pagi ini Miranti berhasil menjaring matahari. Ia telah bangun ketika hari masih gelap, menunggu matahari terbit, lalu menjaringnya dengan membuka jendela kamar barunya yang menghadap timur, yang berjeruji motif hati.
Miranti tak sabar untuk sampai ke sekolah. Ia akan mengabarkannya kepada Ryan. Tetapi apa yang terjadi? Mengapa Ryan tiada tersenyum menyambut Miranti? Kekasihnya itu seperti menjaga jarak dengannya.
Miranti tidak konsenterasi menerima pelajaran. Berbagai dugaan memasuki pikirannya. Pada jam istirahat pertama, Miranti bergegas menuju ruang kelas Ryan. Miranti tiada terbiasa memendam masalah berlama-lama. Gadis berambut panjang itu mendesak Ryan untuk bicara.
“Kemarin kakekku berkunjung ke rumahku,” kata Ryan. “Kami ngobrol sampai larut malam. Aku ceritakan juga tentang kamu. Ternyata kakekku kenal dengan kakekmu. Sekarang aku sudah tahu semuanya.”
“Semuanya? Tentang apa?”
“Kakekmu pernah ikut organisasi terlarang!” tegas Ryan.
Tiba-tiba saja Miranti seperti melihat film sejarah. Terpampang dalam ingatannya, ketika ayah bercerita perihal kakek.
Benar, kata ayah saat itu, kakek pernah ikut organisasi terlarang yang mengakibatkan beliau dipecat sebagai guru SD. Ayah terkena getah pula; ayah kehilangan hak menjadi pegawai negeri, bahkan kantor swasta juga menolaknya.
Syukurlah, ayah punya jiwa bisnis. Usaha toko ikan hias ayah cukup untuk menghidupi keluarga.
“Tetapi, Ryan, ini sudah era reformasi. Hal-hal seperti itu nggak relevan lagi,” kata Miranti.
“Benar. Tetapi, bagaimana kalau rezim lama, suatu saat berkuasa lagi dan aturannya pun kembali berubah?”
Miranti mengatupkan bibir. Matanya terasa panas dan dadanya membara. Miranti tiada menyangka pikiran dan nyali Ryan akan sekerdil itu. Mana keagungan cinta yang selalu ia bisikkan di telinga Miranti?
Cis! Cowok munafik!
Detik itu juga Miranti bersumpah tiada sudi lagi bertemu Ryan.
***
Miranti memutuskan memakai kamar lamanya, dan mengembalikan kamar barunya berfungsi kembali sebagai kamar tamu.
“Nanti kamu tidak bisa menjaring matahari lagi?” tanya ayah.
Miranti tersenyum. Hanya pada ayahlah, Miranti leluasa berkeluh. Mengadu pada ibu? Tiada mungkin. Ibu telah meminta cerai pada ayah lima tahun silam, karena tiada kuat menghalau gunjingan sebagai menantu tokoh organisasi terlarang. Oh, mengapa ibu begitu rapuh?
Sementara itu mengapa Miranti bisa tegar, termasuk berani mengakhiri hubungan kasih dengan Ryan?
“Miranti tetap akan menjaring matahari, Ayah,” kata Miranti.
Miranti menyeka air matanya dan mencoba tersenyum. Ia tiada ingin tampak rapuh di hadapan ayah. Miranti harus tegar seperti ayah!
“Ayah bangga padamu, Nak,” kata ayah.
“Miranti juga bangga pada Ayah,” sahut Miranti memeluk ayah.
Begitulah, Miranti tetap menjaring matahari dari jendela kamar lamanya yang menghadap barat, yang berjeruji garis-garis vertikal dan horisontal. Bukan di pagi, melainkan saat sore.
***SELESAI***