Masukan nama pengguna
Masih ada orang yang menganggap gagak adalah burung siluman. Burung yang sekujur tubuhnya hitam pekat ini sering muncul dan pergi tak terduga. Burung bersuara memekakkan telinga ini adalah burung pembawa maut. Bila burung yang sering menjadi sajian sesajen ini muncul, orang akan sigap mengusirnya. Itulah yang terjadi di sebuah kampung, dan di kampung itu pula cerita ini mengalir.
Di sebuah kamar, beberapa perempuan berkerudung duduk di lantai melantunkan Surat Yasin dengan suara-suara lirih. Di sudut kamar, seorang lelaki tua berbaring lemah di ranjang dengan mulut melompong dan sepasang mata menatap kosong ke langit kamar. Seorang perempuan tua berkerudung coklat menekuk kedua lututnya di lantai, terus menerus membisikkan asma Allah ke telinga lelaki tua itu. Di dekat perempuan tua itu, duduk seorang gadis berkerudung hijau pupus dengan kepala menunduk dan bahu berguncang oleh isak yang tertahan. Di dekat gadis itu, duduk bersila pula seorang pemuda dengan sorot mata gelisah. Berkali-kali pemuda itu mengarahkan pandangannya ke luar jendela kamar.
Suara itu terdengar lagi. Kaaookk, kaaookk! Suara gagak itu terdengar tepat di atas rumah itu. Beberapa perempuan di kamar itu menghentikan membaca Yasin dan saling pandang. Tatapan mereka menyimpan resah akan sesuatu yang mencekam. Begitu pula pemuda itu, ia kembali mengarahkan pandangan ke luar jendela. Tubuh pemuda itu bergetar oleh sesuatu yang membuncah dalam dadanya.
Kaaookk, kaaookk!!!
Pemuda itu bangkit dari duduk dan bergegas ke luar kamar. Seorang lelaki setengah baya bergegas pula ke luar kamar, mengikuti pemuda itu.
Pemuda itu mencomot senapan angin yang terpajang di dinding ruang tengah. Lelaki setengah baya yang mengikutinya, menyentuh bahu pemuda itu.
“Kamu mau ke mana, Seno?” lelaki setengah baya itu bertanya.
“Paman Sanip di sini saja. Temani ibu dan Seruni,” jawab Seno, pemuda itu. “Saya harus mengusir gagak itu, Paman.”
“Untuk apa?” Paman Sanip, lelaki setengah baya itu, bertanya lagi.
Seno memandang Paman Sanip sesaat dan memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaan itu. Seno mengambil sekotak peluru timah di lemari pajangan di ruang tengah, lalu bergegas ke luar rumah dengan menenteng senapan angin dengan posisi laras menghadap ke bawah.
Seno berjalan menuju belakang rumah dan kepala mendongak ke langit. Seekor gagak masih berputar-putar di angkasa. Kaaookk, kaaookk!
Seno memasukkan sebutir peluru timah mungil dan mengokang beberapa kali senapannya. Ia bersiap membidik gagak itu. Seno menahan napas dan menarik picu. Jret!
“Sial!” Seno mengumpat. Tembakannya meleset. Sulit bagi Seno membidik dan menembak dengan tepat karena gagak itu terus bergerak, melayang-layang di angkasa. Seno kembali mengisi peluru, mengokang senapan dan menembak. Jret! Luput lagi.
Gagak itu terbang ke selatan, menjauh dari angkasa di atas rumah Seno. Seno setengah berlari mengejar. Gagak itu terus terbang menjauh dari perkampungan dan Seno tiada lelah terus mengejarnya.
Seno sampai di hutan. Pandangan Seno terhalang oleh pohon-pohon yang tinggi, tetapi ia masih mendengar gagak itu berkaok-kaok. Dengan panduan suara kaok itulah Seno masih gigih mengejar si gagak.
Seno berhenti. Napasnya tersengal-sengal. Ia duduk di tanah dan bersandar pada batang pohon kelapa. Ia mendongakkan kepala dan matanya menatap ke pohon-pohon yang tinggi. Suara gagak tak terdengar lagi. Tetapi, beberapa saat kemudian Seno melihat seekor gagak berkelebat hinggap di ranting pohon durian, tak jauh dari tempatnya duduk.
Gagak itu hinggap di ranting yang tak terlalu tinggi dan tak terhalang oleh daun-daun. Dalam posisi yang terbuka seperti itu si gagak akan menjadi sasaran empuk bagi Seno. Pelan-pelan Seno berdiri. Mengisi peluru dan mengokang senapannya sepuluh kali. Ia segera membidik. Jret!
Gagak itu terpental dari ranting tempatnya bertengger, lalu tubuhnya meluncur ke bawah.
“Yeah! Mampus kau!” Seno mengepalkan tangan dan berseru girang.
Seno berlari menuju ke semak-semak di bawah pohon durian. Ia menggunakan laras senapan untuk menyibak belukar yang lebat. Ia telah mengitari belukar di sekeliling pohon durian itu, tetapi ia tak menemukan gagak itu. Seno yakin, ia telah menembak dengan telak dan yakin gagak itu pasti mati. Tetapi, di mana mayat gagak itu?
“Mustahil bila gagak itu hidup lagi. Aku telah membidik tepat di dadanya,” Seno bergumam sambil terus menyibak belukar dengan laras senapan. Ia melihat bercak darah di belukar, tetapi ke mana mayat si gagak?
Seno belum menyerah. Ia terus melangkah menyibak semak, tetapi langkahnya terhenti ketika mendengar suara Paman Sanip memanggilnya.
“Seno, kamu di mana?”
Seno mendengus, lalu berbalik arah mendekat ke arah suara yang memanggilnya.
“Apa-apaan kau ini, Seno? Bapakmu sekarat tapi kau malah pergi?” hardik Paman Sanip dengan berkacak pinggang dan menatap tajam pada Seno.
“Saya memburu gagak itu, Paman. Saya telah menembaknya dan yakin gagak itu mati,” sahut Seno.
“Mengapa kamu lebih peduli pada gagak itu daripada bapakmu yang sekarat?”
“Bapak sekarat karena gagak itu mendatangi rumah kami, Paman.”
“Gagak itu mampu mencium bau bangkai dari jarak belasan kilometer. Gagak itu mencium bau bangkai dari tubuh bapakmu yang sekarat, makanya ia mendatangi rumah kamu. Apa kamu tak pernah belajar biologi, nonton tivi?”
Seno terdiam dan mengalihkan pandangan ke pepohonan di belakang Paman Sanip.
“Saya kecewa, Paman. Bapak nggak adil. Makanya saya harus membunuh gagak itu, agar kematian menjauh dari bapak. Saya harus bicara dengan bapak. Bapak harus mengubah keputusannya,” kata Seno.
“Keputusan yang mana?” tanya Paman Sanip mengernyitkan dahi.
“Saya ingin warisan tanah yang di utara, yang dekat jalan raya. Saya ingin bangun ruko di sana. Tapi, mengapa bapak mewariskan tanah itu pada Seruni? Saya dapat tanah yang di selatan, di sini, di hutan. Itu nggak adil, Paman,” jelas Seno dengan napas memburu menahan emosi.
Paman Sanip tertegun. Amarah di wajahnya perlahan surut. Paman Sanip menghela napas, melangkah mendekat dan menyentuh bahu Seno.
“Bapakmu sudah adil, Seno. Sebelum membagi warisan, bapakmu pernah minta pendapat Paman dan bapakmu mengikuti saran Paman.”
Seno terhenyak.
“Mengapa Paman memberi saran seperti itu?” protes Seno.
Paman Sanip menghela napas, lalu menjelaskan, “Seruni, adikmu itu gemar memasak dan ingin punya warung di tepi jalan. Ia layak mendapat warisan tanah di utara yang di tepi jalan raya, agar kelak ia bisa membuka warung atau restoran di sana. Sedangkan kamu, tubuhmu kekar dan gagah, tenagamu cukup kuat untuk mengolah tanah di selatan, di sini di hutan ini.”
“Tapi saya ingin bikin ruko, Paman. Tidak mungkin saya bikin ruko di hutan!”
“Kalian bisa bekerja sama. Kamu membangun ruko di tanah Seruni. Kamu bisa menyisihkan satu atau dua unit rukomu untuk Seruni membuat warung. Dan tanahmu yang di hutan ini, kamu bisa menanam sayuran atau membangun peternakan ayam. Seruni bisa membeli sayuran dan ayam darimu untuk kebutuhan warungnya.”
Seno menundukkan kepala mendengar penjelasan Paman Sanip.
“Lupakan gagak itu,” kata Paman Sanip menepuk bahu Seno. “Ayo, kita pulang. Temui bapakmu.”
Seno berjalan di belakang Paman Sanip dengan terus menunduk. Mereka melewati jalan setapak, meninggalkan hutan di pinggang bukit itu. Memasuki perkampungan, mereka melihat beberapa pemuda berjalan gegas.
“Kalian mau ke mana?” tanya Paman Sanip.
“Mengambil keranda di kuburan, Pak Sanip,” jawab seorang pemuda. Pemuda itu kemudian menatap Seno.
“Kamu ini sinting atau gimana, No? Bapakmu sekarat, kamu malah pergi?” hardik pemuda itu.
“Siapa yang meninggal?” Paman Sanip menyela.
“Apa Pak Sanip tidak mendengar siaran?” si pemuda balik bertanya.
“Kami tadi di hutan, tidak mendengar siaran,” jawab Paman Sanip.
“Yang meninggal.....” si pemuda menghentikan bicara, ketika melihat Seno melempar senapannya ke tanah, lalu berlari meninggalkan mereka.
Seno berlari kencang. Sepasang matanya basah dan merah. Seno melihat orang-orang berkerumun di depan rumahnya. Sampai di pintu rumah, Seno menjerit, “Bapaaakkk....!!!”
***SELESAI***