Masukan nama pengguna
Rumah di lahan bekas rawa, dekat pantai? Bagaimana kalau tiba-tiba rumah mereka amblas atau dihantam Tsunami? Lusi sebal karena papa membeli rumah di real estate yang menyeramkan ini.
“Jangan remehkan daerah ini. Papa sudah lihat master plan-nya. Sepuluh tahun lagi tempat ini akan jadi kawasan elite,” kata papa.
Sepuluh tahun lagi? Sehari saja sudah bikin Lusi stres. Kawasan ini masih sepi, rumah juga baru ada beberapa biji, di sekeliling masih banyak lahan kosong. Bahkan masih ada lahan yang berupa rawa, belum ditimbun tanah.
Bila malam tiba, suara kodok bikin Lusi tak bisa tidur. Di antara kodok itu pasti ada ular yang siap menerkam. Bisa jadi, suatu saat ular itu akan mampir ke kamar Lusi melalui jendela. Hiiii ...
Ini bukan real estate! Ini pedalaman Amazon!
Ini pasti karena Om Hansen. Mantan teman kuliah papa yang arsitek dan developer itu pasti telah memengaruhi papa untuk tinggal di real estate menyeramkan ini.
Memang sih Om Hansen juga punya rumah di sini, tapi hanya disinggahi setiap akhir pekan saja. Seperti villa. Selebihnya, Om Hansen tinggal di rumahnya di selatan kota, dekat bukit hijau, damai, nyaman.
Papa sudah dikibuli Om Hansen. Tapi papa tenang-tenang saja. Sudah begitu, dapat dukungan dari mama dan Kak Aldo lagi. Huh!
“Asyik, kok. Kita bisa lihat sunset dari jendela kamar atau teras. Mau ke pantai kapan saja juga dekat, cuma sejengkal,” kata Kak Aldo.
“Makan tuh sunset! Kak Aldo sekongkol sama papa mama, kan? Awas! Kak Aldo nggak boleh lagi pinjam komik Lusi,” sahut Lusi.
“Biar saja. Kak Aldo mau beli sendiri, weeekk!” Kak Aldo menjulurkan lidah.
***
Senja menjelang. Dari jendela kamar tampak langit barat berselimut pendar merah. Matahari bulat kilau keemasan menakjubkan, menyentuh cakrawala. Lusi terpana.
Perlahan Lusi bangkit dari spring bed pink bergambar Barbie, lalu mendekat ke jendela. Sepasang mata indahnya tak lepas memandang matahari yang mulai tergelincir di ufuk barat itu. Lusi seperti melihat lukisan di kanvas kelabu yang begitu menggetarkan.
“Wow, indah sekali,” Lusi berdecak kagum.
Selama ini Lusi tidak peduli dengan sunset. Baginya, itu peristiwa biasa yang terjadi tiap sore, bila tidak ada awan menghalang. Tapi sekarang, dia begitu terpesona pada keajaiban alam itu.
“Indah sekali. Sungguh indah,” senyum Lusi mengembang.
***
Lusi di sini. Senja menjelang. Pantai cukup ramai. Anak-anak kecil berlarian, berkejaran, tertawa ceria. Lusi tersenyum melihatnya.
“Bagus, ya?” ucap seseorang.
Lusi menoleh ke kanan. Seorang cowok berdiri di dekatnya. Cowok bertubuh jangkung, berjaket merah marun itu sedang memandang ke laut lepas.
“Ya, bagus,” sahut Lusi.
“Namaku Rudy. Pakai y, bukan i,” cowok itu mengulurkan tangan.
Lusi terdiam sejenak. Tapi melihat cowok itu tersenyum dengan tangan masih terulur, Lusi pun mengulurkan tangan.
“Aku Lusi. Pakai i, bukan y,” katanya tersenyum.
“Sering ke sini?” tanya Rudy, cowok itu.
“Beberapa kali.”
“Aku pertama kali ke sini. Ini hari pertama aku di kota ini.”
“Baru pindah?”
“Ya,” Rudy mengangguk. “Aku akan kuliah di kota ini. Aku tinggal di rumah paman. Kamu sudah kuliah, Lusi?” Rudy menatap Lusi.
“Aku masih SMA, kelas XII.”
“Kamu suka sunset, Lusi?” tanya Rudy kemudian.
Lusi mengalihkan pandangan. Ia tak kuasa menangkap terlalu lama tatapan Rudy yang teduh. Lusi merasakan dadanya berdesir halus.
“Ya, aku suka,” kata Lusi.
“Kalau kamu suka, sunset itu untukmu.”
“Apa?” Lusi menahan tawa.
“Sunset itu untukmu,” kata Rudy mengulang.
Lusi tersenyum, walau sebenarnya ingin tertawa.
“Thanks. Tapi bagaimana aku membawanya pulang?”
Rudy tersenyum, menatap lekat mata Lusi.
“Akan kupetikkan untukmu,” kata Rudy, lalu merentangkan kedua tangannya di depan dada. Telapak tangan kiri menghadap ke atas, telapak tangan kanan menghadap ke bawah, seolah sedang menggenggam matahari dengan kedua telapak tangannya.
“Ambillah,” kata Rudy tersenyum.
Ini menggelikan. Namun, Lusi menurut, melakukan gerakan seolah sedang menerima bola kristal hadiah dari Rudy. Hati-hati Lusi menggenggam matahari itu; kedua telapak tangannya seolah-olah sedang menggenggam matahari.
“Lantas, harus kuapakan sunset ini?” tanya Lusi.
“Akan kukembalikan lagi,” sahut Rudy, melakukan gerakan mengambil kembali matahari dari telapak tangan Lusi. Perlahan, Rudy merentangkan kedua tangannya ke barat, lalu seolah-olah meletakkan kembali matahari pada tempatnya.
“Selesai,” kata Rudy tersenyum.
Lusi tak kuasa menahan tawa.
“Apa yang kita lakukan barusan?” tanya Lusi di sela tawa.
“Kamu melakukannya dengan bagus,” sahut Rudy.
“Maksudmu?” tanya Lusi.
“Itu salah satu adegan teater di SMA-ku. Adegan memetik sunset. Kami mementaskannya saat perpisahan, beberapa bulan yang lalu,” kata Rudy.
“Oh, begitu rupanya?” sahut Lusi, mengangguk mengerti.
Rudy menatapnya, tersenyum lembut. Ada desir halus di jantung Lusi.
“Matahari sudah tenggelam. Aku harus pulang. Senang bertemu denganmu, Lusi,” Rudy mengulurkan tangan.
Lusi ragu.
“Sampai jumpa lagi,” Rudy masih mengulurkan tangan.
“Sampai jumpa lagi,” akhirnya Lusi mengulurkan tangan pula.
Rudy membalikkan badan, lalu pergi.
Tunggu! Ingin Lusi berteriak memanggil Rudy, tapi tidak kesampaian. Teriakannya berhenti di tenggorokan. Ah, mengapa perjumpaan itu berlalu begitu cepat? Lusi ingin mengenal cowok itu lebih jauh, tinggal di mana, berapa nomor hape, akun Facebook, Twitter, dan segudang data lainnya.
Lusi mendengus, melempar kecewa ke udara.
***
Sore ini Lusi sudah bersiap-siap.
“Ke pantai lagi?” tanya Kak Aldo di teras.
“Ya.”
“Untuk apa ke pantai tiap sore?”
“Memetik sunset.”
***SELESAI***