Masukan nama pengguna
Widati bekerja di sebuah minimarket di pinggiran kota. Pukul 9 malam minimarket itu tutup. Setelah beres-beres, membuat laporan harian dan lainnya, gadis 19 tahun itu keluar dari tempat kerjanya pada pukul 10 malam.
Malam ini kakak lelakinya ada kuliah malam sehingga tidak bisa menjemput Widati. Kalau ayah masih hidup, tentu beliau yang akan menjemput. Ajakan rekan kerja untuk pulang bareng, ditolak Widati dengan senyum manis.
Biasanya, kalau sang kakak tidak bisa menjemput, maka Widati pulang naik ojek online. Tetapi, malam ini Widati memilih pulang berjalan kaki. Biarlah uang ojek ia alihkan untuk keperluan lain.
Lagi pula jarak rumahnya dengan minimarket itu hanya satu kilometer; sepasang kaki jenjang Widati masih sanggup menempuh jarak yang cuma sejengkal itu.
Sebelum melangkah pulang, Widati mampir ke kedai martabak manis di depan minimarket. Bang Kohar menyambutnya dengan senyum lebar dan menyapa, “Selamat malam pelangganku yang paling cantik, Nona Widati.”
Itu sapaan yang sangat menyenangkan bagi gadis yang sedang mekar seperti Widati. Ia memesan satu porsi martabak manis rasa coklat. Itu martabak favorit Widati dan ibunya. Ah, ibu tentu telah menunggu Widati di depan pintu rumah. Membayangkan itu, Widati meminta Bang Kohar untuk segera membuatkan pesanannya.
“Sabar, Nona Widati. Beberapa detik lagi biar matang benar, biar rasanya manis seperti wajah Nona Widati.”
“Gombal!”
Bang Kohar terbahak. Tak lama kemudian ia menyerahkan plastik putih pada Widati. “Ini sudah jadi, Nona Cantik dan Manis. Mana kakakmu?” tanya Bang Kohar.
“Malam ini saya pulang sendiri, Bang. Jalan kaki.”
“Tidak ngojek? Jalan kaki? Kamu serius?”
“Duarius, Bang,” sahut Widati tersenyum. “Yuk, Bang. Duluan.”
“Widati,” panggil Bang Kohar ketika gadis itu hendak meninggalkan kedai.
“Ya, Bang?”
“Ini malam Jumat, Dati.”
“Saya tahu, Bang. Lantas?”
“Ah, tidak. Hanya mengingatkan saja. Hati-hati di jalan.”
Widati tersenyum dan mengangguk, lalu melangkah pergi. Untuk pulang, Widati bisa menempuh jalan memutar tetapi lebih jauh. Ia memilih rute terdekat saja, meski harus melewati belakang rumah kuno yang sepi.
Konon, rumah besar model kolonial itu milik orang Belanda, lalu dibeli orang Tionghoa. Di belakang rumah itu ada pohon kamboja yang tinggi berusia puluhan bahkan mungkin ratusan tahun.
Si Tionghoa punya sepasang anak kembar yang cantik. Si kembar senang menggelar tikar dan bermain congklak di bawah pohon kamboja itu. Suatu kali ketika si kembar berboncengan naik sepeda hendak berangkat sekolah, sebuah truk yang remnya blong menabrak mereka. Sepasang gadis kembar itu tewas seketika. Orang tua mereka memakamkan si kembar di bawah pohon kamboja.
Zaman terus bergerak. Di belakang rumah kuno itu dibangun perumahan. Jalan di belakang rumah kuno yang semula sempit diperlebar, makam si kembar dipindah ke tempat lain, tetapi keluarga si Tionghoa menolak pohon kamboja itu ditebang.
Perumahan di belakang rumah kuno itu kurang laku dan tampak tidak terurus. Ilalang dan rumput liar tumbuh di sekitarnya. Di ujung jalan menuju perumahan, tepat berada di seberang pohon kamboja, ada pos ronda.
Semula, pos itu selalu ada yang jaga, tetapi lama-lama tak ada yang mau “ngantor” di sana. Pos ronda itu kini tampak kumuh. Meski begitu bila hari telah gelap, selalu ada orang yang menyalakan lampu di sana. Mungkin untuk mengurangi kesan seram, meski kenyataannya, pos ronda dengan lampu temaram itu tetap menyeramkan.
Pos ronda itu sering dijadikan tempat mangkal preman atau berandalan; main gaple atau mabuk di sana.
Memang, jalan yang melewati belakang rumah kuno itu adalah rute terdekat menuju rumah Widati, tetapi sungguh berbahaya. Namun, Widati tenang saja. Di dalam tas selempang hitam, Widati telah menyiapkan gas pemedih mata. Gas dalam tabung kecil, sekilas tampak seperti tabung parfum.
Selain itu, Widati menguasai beberapa jurus silat Tapak Suci yang pernah ia pelajari semasa MTs dan Madrasah Aliyah. Itu bekal yang cukup bagi Widati bila ada gangguan dari preman atau berandalan mabuk.
Widati juga punya taktik lain menghadapi preman, berandalan, atau lelaki iseng; ia akan berpura-pura jadi hantu. Taktik ini Widati peroleh dari unggahan temannya di Facebook.
Widati melangkah gegas. Bukan karena takut, tetapi ia tak ingin ibunya cemas menanti kepulangannya. Widati melirik jam tangannya; pukul 22.40.
Widati menghentikan langkah, beberapa meter di depannya sudah tampak pohon kamboja tinggi dan besar itu. Tak jauh dari pohon kamboja, semak belukar tumbuh lebat dan rumah kuno yang gelap tak berpenghuni, karena pemiliknya pindah entah ke mana. Dalam temaram lampu penerang jalan, rumah kuno itu seperti siluet raksasa yang menyeramkan.
Widati melangkah pelan dan hati-hati. Di seberang jalan, dua pemuda tampak bermain gaple di pos ronda. Sesekali tampak sepeda motor melintasi jalan itu. Seorang pemotor tampak oleng, lalu memacu motornya begitu kencang setelah melihat Widati yang berjalan mendekati pohon kamboja. Tentu, pemotor itu mengira telah melihat hantu.
Suara deru motor itulah yang memancing penasaran dua pemuda di pos ronda. Ketika melihat Widati, dua pemuda itu pun keluar dari pos ronda, berdiri di seberang jalan.
“Sendirian aja, Neng?” sapa pemuda bertubuh gemuk.
“Abang temani, ya?” sahut pemuda bertubuh pendek.
Dua pemuda itu saling pandang, menganggukkan kepala, lalu melangkah hendak menyeberang jalan. Langkah mereka terhenti ketika Widati yang telah berdiri di bawah pohon kamboja dan dengan wajah beku bertanya, “Kalian bisa melihatku, seperti pemotor yang ketakutan tadi?”
Wajah dua pemuda itu mendadak tegang, mata membelalak, dan tubuh gemetar, lalu berbalik arah, berlari menjauh dan berteriak, “Hantuuuuu ....”
Widati melonjak gembira. “Aku berhasil. Aku pura-pura jadi hantu. Aku berhasil, aku berhasil,” pekiknya tertahan dan bernapas lega.
Widati menarik tangannya dari dalam tas selempang hitamnya. Semula ia hendak mengambil gas pemedih mata dari tas, namun tak jadi.
Tanpa menoleh ke arah manapun, Widati bergegas mempercepat langkahnya. Martabak manisnya akan keburu dingin bila ia tak segera sampai rumah.
Setelah Widati pergi dari bawah pohon kamboja, suasana tampak sepi. Di sana, di bawah pohon kamboja tampak sebuah tikar pandan tergelar dan dua gadis kembar berbaju putih tampak sedang bermain congklak.
Widati tidak melihat sepasang gadis kembar itu, tetapi seorang pemotor dan dua pemuda dari pos ronda melihatnya!
***SELESAI***