Cerpen
Disukai
1
Dilihat
1,908
Magdhalena dan Topengnya
Slice of Life

Aku mengenalnya sejak lama. Kutaksir mungkin sekitar sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu, kami saling bersitatap dengan hangat. Dia sangat cantik. Kala itu ia memakai pakaian indah layaknya ratu. Di atas jilbab yang ia kenakan bertengger sebuah mahkota kecil bertahta batu permata yang berkilauan. 

Ia menatapku dengan senyuman terkembang. Ada binar bahagia di matanya. Beberapa orang di sekitarnya tidak henti-henti memujinya. Sesekali ia memamerkan hena yang menghiasi tangannya dengan bangga. Warna merah yang terang sangat kontras dengan kulitnya yang putih. 

"Aku akan menikah," ucapnya pelan. Ia menatapku lekat seolah ingin bertanya apakah penampilannya sudah sempurna. 

Hari-hari berikutnya, begitu banyak hal manis yang telah terjadi kepadanya. Aku bahkan hampir tertawa melihat tingkah manjanya. Terkadang kulihat ia begitu gelisah saat lelaki yang telah menjadi teman hidupnya tersebut belum menampakkan batang hidungnya padahal hari sudah malam. Lain hari lagi, ia merajuk saat keinginannya tidak terpenuhi oleh lelakinya. Sungguh kehidupan yang manis. 

Hari, minggu, bulan dan tahun. Aku selalu mengamatinya. Selalu melihat semangatnya yang berkobar. Melihat kedukaannya yang mendalam juga muslihatnya dalam bermain peran. 

Maghdalena, kini ia berubah. Ia bukan Magdhalena yang dulu. Binar matanya tidak lagi sama. Sepertinya, ia kini telah candu dengan topeng-topengnya. Maghdalena lebih memilih orang lain tinimbang dirinya sendiri. 

Suatu malam, pernah ia mendatangiku dan berkata; "Mereka kehidupanku. Lebih baik bermain peran daripada aku membuka topeng dan mereka takut mendekatiku." Sungguh naif bukan? 

Topeng-topeng itu berjajar rapi di dinding kamar. Sepertinya, ia sudah menikmati perannya sehingga begitu cekatan mengganti tiap topeng saat berhadapan dengan orang-orang di luar kamarnya. Saat bersama anak-anaknya ia mengenakan topeng badut. Maka terdengarlah tawa peri-peri kecil memenuhi ruangan. Kadang ia juga mengenakan topeng einstein agar anak-anaknya tahu kalau ia ibu yang jenius. Begitu seterusnya saat ia berhadapan dengan orang berbeda, ia selalu menyesuaikan topeng yang ia pakai. 

Oh, Magdhalenaku yang malang. Entah sampai kapan ia terus bermain. Bahkan lelaki yang telah mengambil tanggungjawab atas dirinya, pun tidak tahu seperti apa rupa Magdhalena yang sekarang. 

Hari ini, ia duduk di hadapanku. Rambutnya kusut masai. Bajunya lusuh dan kotor. Sorot matanya begitu sayu seakan beban yang ia tanggung sudah tidak bisa lagi ia pikul. 

"Aku lelah. Aku ingin mereka memelukku hangat. Aku ingin mereka melihatku seperti dulu. Tanpa topeng dan peran yang harus kulakoni."

Aku memandangnya iba. Jika saja aku bisa meringankan bebannya, pasti akan kulakukan. Sayangnya, aku sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa mendengarkan celotehnya. Memandangi kesibukannya bertukar topeng. 

Magdhalena menatapku hampa. "Aku ingin beristirahat. Tidur dalam keheningan yang abadi. Tetapi aku takut," ujarnya lirih. Jemarinya bermain, memutar sebuah pisau silet. 

"Suamiku, anak-anakku. Mereka membutuhkanku. Suamiku butuh seorang pelayan dan anak-anakku butuh seorang pengasuh. Aku tidak bisa mengabaikan mereka. Ya, aku mencintai mereka. Sebab itu aku bertahan. Padahal aku sudah sangat lelah berlakon dari hari ke hari." Tangis Magdhalena pecah di hadapanku. Kemudian ia menatapku begitu lama. Tajam dan menusuk. 

"Aku sudah tidak membutuhkanmu. Saat melihatmu, aku semakin merasa sakit. Aku melihat wajahku yang sesungguhnya," ucapnya kemudian. Magdhalena beranjak. Sesaat sebelum ia pergi, sebuah vas kecil ia layangkan ke arahku.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)