Masukan nama pengguna
Kak Isah lihat kanan kiri lalu mengunci pintu kamar. Setelah merapal doa, tujuh kali dia langkahi nasi yang masih mengepulkan uap panas.
"Patuh anak, patuh laki." Sambil tersenyum ia berujar lalu mengangkangi nasi di antara dua kakinya yang terbuka lebar.
Ia menekuk kakinya sedikit setengah berjongkok. Menundukkan kepala melihat ke arah nasi. Setelah dirasa cukup memberi jampi, Kak Isah kembali meluruskan kakinya baru kemudian dibawanya nasi keluar dari kamar.
Sebentar lagi suami dan anaknya akan pulang. Nasi terhidang dan lauk lun disiapkan. Sejak Ia melakukan ritual seperti ini suami dan anaknya benar-benar patuh. Tidak sia-sia Kak Isah mengikuti pituah dari kawannya yang tinggal di kampung sebelah. Atas keluhannya dengan sikap suaminya yang selalu pemarah dan juga anak-anaknya yang pelawan.
Kak Isah hampir putus asa melakukan banyak hal dan berbuat sebaik mungkin agar rumah tangganya tenang dan tak ada kegaduhan.
"Kalau kau mau suami dan anakmu berubah, kau kasih mereka nasi tangkas. Kujamin usaha kau tak akan sia-sia. Suamimu bertambah cinta, anak kaupun bertambah sayang. Mereka tak akan pernah bisa lepas darimu selama-lamanya," ucap kawannya bersemangat.
Terarik mendengar saran dari kawannya, Kak Isah menuruti apa-apa saja syarat-syarat yang harus ia lakukan demi bisa mendapatkan ilmu penunduk.
Tak lama, keluarganya pun kembali. Dengan hangat ia sambut dan mempersilakan mereka makan. Senang hatinya Anak dan Suami makan dengan lahap.
"Kau mau ke mana?" tanya Kak Isah kepada anak sulungnya yang berdiri saat masih lagi makan.
"Nasi dah habis. Nak ambil nasi ke dapur," jawab anaknya seraya berjalan menuju periuk di atas tungku.
Lama sulungnya berdiri melihat nasi di dalam periuk hingga Kak Isah menegurnya. Sulungnya tersentak lalu tiba-tiba berbalik badan dan kembali duduk menghadao hidangan.
"Ada apa? Kenapa tak jadi ambil nasi? " tanya Kak Isah melihat baskom yang dipegang anaknya masih kosong.
"Nasi kita ada ulatnya, Mak. Padahal masih panas berasap," jawabnya dengan wajah bingung.
"Kau mengada-ada. Nasi panas mana mungkin berulat. Sini Mak yang ambil. Sudah rabun mungkin kau, sampai tak tau beda nasi dan ulat."
Kak Isah berdiri lalu menuju periuk. Diambilnya nasi, dipenuhinya baskom.
"Mana ada ulat?" ujarnya seraya menyodorkan baskom nasi.
Sulungnya bergidik ngeri. Jelas pada pandangannya makhluk kecil itu begitu banyak menggeliat di antara bulir nasi. Ia tak sanggup lagi menyelesaikan makannya.
"Mak, tak lihat banyak ulat?" tanya sulungnya keheranan bercampur geli.
"Meracau, Kau! Dah buta mata, kau? Kalau tak nak makan, jangan banyak kau buat cerita!" hardik Kak Isah marah.
Sulungnya terkejut ketika Kak Isah menghardik. Beringsut ia ke belakang, mundur dari hamparan hidangan. Selera makannya dah hilang berganti dengan rasa mual dan jijik melihat ulat menggeliat melampaui piring-piring berisi makanan.
"Astaghfirullah!"
Sulung Kak Isah menjerit tatkala dilihatnya sosok makhluk hitam dengan tatapan tajam, mengintai dari tirai pintu. Hampir terjengkang ia ke belakang. Belum habis ia keheranan melihat nasi yang berubah menjadi ulat, kini sudah pula ia melihat sosok menakutkan datang mendekat.
Ia mengalihkan pandangan ke arah maknya. Sekali lagi ia terpekik melihat wajah Kak Isah yang busuk setengah.
*****
Seminggu sudah anak Kak Isah demam panas, sejak ia bisa melihat hal buruk di rumahnya, hampir asal terpejam ia mengigau menjerit ketakutan.
Kak Isah tak bisa mengambil banyak tindakan, apa hendak dikata, ia sudah mengikat perjanjian dengan dukun yang jadi juru pembuka jalannya mengamalkan nasi tangkas. Salah satu anaknya akan jadi tumbal demi ilmunya agar tetap bisa bertahan.
Rantauprapat, September 2023