Masukan nama pengguna
SUDAH DUA TAHUN Maryani duduk di kursi roda karena penyakit stroke yang menyiksanya. Perempuan paro baya itu tidak hanya kesulitan untuk menggerakkan seluruh anggota tubuhnya, melainkan juga sulit berbicara. Ia hanya bisa berteriak meraung-raung atau menjerit-jerit memanggil suami atau anaknya bila menginginkan sesuatu. Entah itu ia mau buang air kecil atau besar, mau makan, mau minum, atau mau mandi. Untuk menyiasati agar lebih mudah buang air, jadi suaminya, Kasiadi, membelikannya pampers untuk orang dewasa. Tapi belakangan ini, penumpang becaknya semakin sepi, sehingga membuatnya mengeluh kalau membeli popok tiga pack. Orang-orang kebanyakan lebih memilih naik kendaraan pribadi ketimbang naik becak. Sudah setahun ini kondisi pemasukan becak lelaki paro baya itu mengalami terjun payung macam harga rupiah anjlok di bursa efek. Belum lagi ditambah dengan biaya pengobatan istrinya yang mahal. Selama ini, meskipun Kasiadi termasuk golongan masyarakat miskin, namun pemerintah desa salah sasaran. Justru yang dibantu oleh pemerintah pusat adalah perempuan yang tak bersuami atau tidak pernah menikah dan lelaki yang secara fisik masih kuat membanting tulang.
Selain memasak dan menanak nasi serta mengais nafkah di simpang lampu merah dengan menarik becak motor, tugas Kasiadi adalah merawat istri yang telah empat puluh tahun mendampinginya baik dalam keadaan suka maupun duka. Setiap pagi sebelum berangkat kerja, lelaki itu menggendong istrinya ke kamar mandi, lalu mengganti popoknya. Setelah menggantikan pakaiannya, ia masih menyuapinya makan bubur. Ah, andai saja waktu bisa diputar kembali dari awal mungkin Maryani tidak akan sakit seperti ini. Semua berawal saat Kasiadi sekeluarga menghadiri acara makan-makan pada lebaran Idul Fitri di rumah salah satu keluarga istrinya. Saat itu tuan rumah menyediakan seafood. Ada udang windu sebesar bayi berumur dua minggu, kepiting jumbo, kerang, cumi-cumi, ati ayam, limpa ayam, dan sayuran berupa kacang-kacangan. Belum lagi di meja satunya juga ada sate dan gulai kambing. Karena jarang makan seafood, Maryani memenuhi piringnya dengan udang dan kepiting. Tiga hari setelah acara makan-makan itu ia mengeluhkan kolesterolnya kumat. Apalagi selama ini ia memang sering naik darah. Lantas setelah itu ia mengalami stroke.
"Kapan Gusti Allah akan mengangkat semua penyakit Ibu?" sambat Kasiadi saat menyuapi istrinya. Maryani hanya meresponsnya dengan menangis tak jelas. "Bapak sudah capek merawat Ibu selama dua tahun ini. Sudah dibawa ke dokter, paranormal, dukun pijat, tapi hasilnya nihil. Belum lagi kondisi ekonomi rumah tangga kita dari dulu tidak pernah ada kemajuan sama sekali."
Betapa tidak. Kasiadi hanyalah seorang lelaki yang berasal dari keluarga tak mampu. Ia semuanya berlima. Dari kelima bersaudara itu hanya adik bungsunya yang tamat sampai SMP. Sedangkan Kasiadi dan ketiga saudaranya yang lain tidak seorang pun yang tamat SD. Karena itulah nasib pun melemparkan dirinya menjadi tukang becak. Sementara ketiga adiknya yang lain bekerja sebagai tukang bangunan. Dulu, sebelum banting stir menjadi tukang becak Kasiadi pernah bekerja sebagai juru kunci di salah satu SD desa, namun karena dituduh mencuri barang milik sekolah oleh temannya, ia pun dirumahkan secara tidak terhormat. Tapi karena merasa tidak pernah melanggar tindak pidana, ia bebas-bebas saja. Dan setelah itu, orang yang menuduhnya mencuri berurusan dengan yang berwajib.
"Duh, Gusti, andai saja aku menjadi anak orang berada, pasti aku punya selembar ijazah dan nasibku tidak miskin seperti ini," ujar Kasiadi meratap pada Tuhan dan Tuhan tidak menjawab keluhan umat-Nya. "Apakah ini resikonya menjadi orang Islam? Di mana-mana orang Islam hidupnya miskin makan tanah. Berbeda dengan para kiai, ustadz dan habaib yang hidupnya bak sultan kaya raya."
Apa yang dikatakan oleh Kasiadi memang benar adanya. Di belahan dunia mana pun mayoritas orang yang beragama Islam hidupnya miskin dan tinggal di rumah reyot. Berbeda dengan tokoh agama yang disebut sebagai kiai. Coba tengok kehidupan mereka. Segala kebutuhannya terpenuhi. Hidupnya makmur.
***
Belum lagi jika melihat gaya hidup para ustadz yang setiap Ramadan muncul di layar televisi. Bak seorang bijak, para ustadz yang memakai gamis dan kopiah putih itu menceritakan tentang kehidupan Nabi Muhammad yang tinggal di gubuk reyot beratapkan daun kurma, sama sekali tak punya harta benda, dan juga tak mewariskan apa pun kepada putrinya selain Al Quran, karena sewaktu masih jayanya dulu seluruh harta bendanya disumbangkan untuk agama Allah.
"Wahai Saudaraku, kaum muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah, Baginda Nabi Muhammad adalah seorang panutan yang hidupnya sangat miskin. Maka sebagai umat beliau sudah sepantasnya kita harus meneladani hidup beliau," kata seorang ustadz yang entah pernah nyantri di mana kala bernasihat.
Bah, menasihati orang agar hidup miskin seperti Nabi Muhammad, sementara hidup mereka? Lalu, Nabi siapa yang mereka jadikan panutan? Dasar munafik! Sok suci! Bahkan ada ustadz dan habib yang kerjanya memalak jamaahnya dengan topeng agama dan Tuhan. Tuhan kok dibawa-bawa.
Belum lagi Kasiadi mendapat penumpang, ia mendapat kabar dari tetangganya bahwa anak bungsunya ditangkap anggota reserse narkoba di rumah salah satu temannya karena dicurigai sedang pesta sabu-sabu. Pas sampai di rumah, ujiannya makin bertambah saat anak sulungnya yang gadis menangis karena tengah hamil anak pacarnya. Dunia seakan hendak kiamat. Kasiadi menangis dan meratapi nasibnya yang selalu didera ujian yang bertubi-tubi.
"Persetan dengan kehidupan Nabi Muhammad. Semuanya bohong! Dusta! Dongeng! Kalau memang Nabi Muhammad miskin, tentu para tokoh agama yang mengaku sebagai pewaris para nabi hidupnya juga miskin! Apa gunanya aku hidup sebagai orang Islam tapi miskin!" Kasiadi membentur-benturkan kepalanya di tembok rumahnya yang setengahnya adalah kayu tripleks. "Hidup di dalam Islam hanya penuh dengan kepalsuan. Semuanya bohong!"
Di tengah-tengah penderitaan yang membebani kehidupan Kasiadi, Tuhan pun mengutus hamba-Nya. Lelaki itu berwajah cerah dan kata-katanya penuh dengan kalimat langit. Namanya Bapa Leonardus.
"Bapak mau terlepas dari semua penderitaan hidup ini? Bapak mau Ibu sembuh dari penyakit stroke-nya? Bapak mau anak-anak Bapak terlepas dari nasib sialnya?" ujar lelaki berkacamata itu dengan penuh kelembutan, dan Kasiadi mengangguk. Ia terpesona dengan ucapan lelaki itu. "Saya akan kasih Bapak jalan untuk mengenal Tuhan. Mau?"
Tanpa berpikir panjang lagi karena demi memperoleh kehidupan yang lebih layak, keesokan harinya Kasiadi sekeluarga menghadiri undangan lelaki baik hati itu di gereja. Ya, saat itu juga Kasiadi berpindah agama.
Ajaibnya, setelah didoakan oleh lelaki berwajah menyenangkan itu Maryani yang sakit stroke stadium akhir dan tak bisa mengoceh itu, pagi itu bisa berdiri sendiri dan mulutnya yang mencong karena habis ditempeleng malaikat langsung berseru, "Haleluya! Puji Tuhan."
Sejak hari itulah, Kasiadi yang dulunya rajin ke masjid atau musala untuk menyembah Allah atau tadarus Al Quran, mulai rajin pergi beribadah ke gereja setiap hari Minggu. Salahkah lelaki miskin itu? Oh, sama sekali tidak. Bukankah Al Quran telah mengatakan, "Tidak ada paksaan dalam menganut agama Islam ini." Bukan karena agama di dunia ini sama. Bukan karena Tuhan yang disembah sama. Bukan tujuan akhirnya sama. Agama adalah pilihan. Dan setiap manusia yang lahir ke dunia ini merdeka dalam menentukan agama yang akan diyakininya. Agama adalah tongkat bagi orang yang buta. Bila tidak ingin buta maka kenalilah pencipta.
Tidak hanya itu saja, sejak rajin beribadah kepada Tuhannya, anak bungsu Kasiadi dibebaskan dari kepolisian karena tidak terbukti mengonsumsi sabu-sabu. Saat tes urine pun ia negatif. Begitu juga dengan anak sulungnya berbahagia karena ada pemuda baik hati yang akan menikahinya bahkan mau menerima janin yang tengah dikandungnya itu. Tapi, semua kebahagiaan yang dirasakan oleh Kasiadi hanyalah kesemuan belaka. Ia bahagia ketika di hadapan orang lain, namun ketika ia sedang sendiri hatinya menangis.
Malam ini, ia duduk sendiri dengan dilumat sepi. Di atas bale-bale bambu di teras rumahnya ia menatap rembulan. Malam kesebelas.
***
Dari petala langit, sepasang mata lelaki paro baya itu seakan sedang melihat sebuah cahaya putih yang terang-benderang. Cahaya itu seperti meteor yang jatuh menabrak bumi. Kemudian, cahaya itu menjadi seukuran bumi dan terangnya bisa membuat mata mengalami kebutaan.
"Kamu diuji sedikit saja sudah mengeluh, Kasiadi. Padahal, ujian kemiskinan dan penderitaan yang diberikan oleh Tuhan padamu tak sampai seujung kuku pun dengan penderitaan yang kualami dulu saat Tuhan mengutus aku," kata sosok bercahaya itu dengan kalimat selembut melebihi sutra. "Dan kau akhirnya memilih meninggalkan agama yang kubawa. Bukankah aku sudah meninggalkan rahasia agar kamu jangan mendalami agama melainkan mengenal siapa penciptamu? Ah, sungguh malang sekali hidupmu, Nak."
Tubuh Kasiadi mematung saat ia berdiri di depan sosok bercahaya itu.
"Ah, kamu hanya mendengar tentang mukjizat yang diberikan oleh Allah melalui cerita usang. Baiklah, atas izin dari Allah di malam kelahiranku ini akan aku tunjukkan bahwa aku bukan seorang pendusta. Aku akan membelah bulan itu di hadapanmu."
Kemudian, lelaki bercahaya itu menjulurkan tangan kanannya ke langit, lalu ia mengambil bulan tersebut, lantas ia benar-benar membelahnya menjadi dua bagian di hadapan Kasiadi. Lelaki kampungan itu melongo dan kedua matanya terbelalak macam Abu Lahab.
Setelah itu, lelaki bercahaya itu menyatukan bulan dan mengembalikannya ke tempat asalnya. Ia pun tersenyum penuh kecewa karena Kasiadi lebih memilih menuruti nafsunya. Bahkan ia menganggap bahwa orang tadi hanyalah seorang penyihir. []
2024