Flash
Disukai
2
Dilihat
16,445
Kursi Goyang, Kursi Maut
Drama

Rumi kerap melihat nenek duduk di kursi goyang di serambi rumah limasan kayu jati. Dengan mata terpejam, nenek melantunkan tembang-tembang Jawa. Suara nenek bening dan kadang melengking. Di telinga Rumi tembang-tembang itu seperti mantra yang menakutkan, membuat bulu-bulu tangan dan tengkuk anak lima tahun itu merinding. 

Suatu hari nenek masih duduk di kursi goyang, meski sudah saatnya makan siang. Ibu menyuruh Rumi memanggil nenek, tapi ia tak berani. Rumi tak ingin bulu-bulu di tubuhnya merinding.

Ibu menuju serambi. Rumi mengintip dari balik pintu. Rumi melihat ibu memanggil dan menyentuh pelan tangan nenek, seperti memeriksa. Rumi melihat wajah ibu terhenyak dan mengucap sesuatu. Ibu menoleh ke arah Rumi yang bersembunyi di balik pintu. Mata ibu berkaca-kaca. 

Kemudian orang-orang berdatangan. Kemudian mereka bergantian memanggul keranda berselimut kain hijau menuju selatan desa. Masuk ke pekuburan. Mereka mengubur nenek. 

Kemudian ibu menggantikan nenek duduk di singgasana bergoyang itu. Rumi meminta ibu jangan menyanyikan tembang-tembang aneh seperti yang dilakukan nenek.

“Baiklah. Ibu akan mendongeng,” kata ibu.

Ibu duduk di kursi goyang. Rumi duduk di lantai dengan kepala agak mendongak, mendengarkan ibu mendongeng. Kancil mencuri mentimun, pangeran dan puteri raja, dan dongeng lainnya. Saat itu Rumi sudah sekolah, sudah bisa baca tulis.

“Sekarang kau tulislah dongeng yang kau dengarkan tadi,” kata ibu tiap kali usai mendongeng.

Rumi mengambil kertas dan pensil. Mula-mula kalimat yang ia susun berantakan. Ibu memeriksa dan mengoreksi. Mengajari cara membuat paragraf dan sebagainya. Ibu juga memberikan Rumi banyak buku cerita. Rumi membacanya dengan rakus dan mencoba menulis cerita sendiri. Saat lulus SD, Rumi sudah bisa menulis cerita dengan lancar.

Saat SMP, Rumi mencoba mengirim cerita pendek ke koran. Tiga kali ia mengirim melalui pos, tiga kali pula tulisannya dikembalikan. Pada kiriman yang keempat, cerita pendeknya dimuat. Rumi melonjak-lonjak. Menunjukkan koran itu pada ibu, ayah, dan teman-teman. Saat lulus dari SMP, belasan cerita pendeknya telah termuat di berbagai koran dan majalah.

Saat masuk SPG, Rumi harus pindah ke kota. Tinggal di rumah teman ibu. Rumi terus menulis dan sering dimuat, sehingga ia bisa membayar sewa kamar sendiri. Meski begitu ibu masih mengirim uang untuk Rumi. Kata ibu, sekaya apa pun anak perempuan, bila belum menikah, maka orangtua wajib menafkahinya.

Bila ada hari libur, Rumi pulang ke kampung. Rumi meminta ibu duduk di kursi goyang, sementara ia duduk di lantai tegel. Ibu mendongeng dan Rumi mendengarkan.

“Ibu tak punya dongeng lagi. Sekarang, kamulah yang mendongeng,” kata ibu dan meminta Rumi duduk di kursi goyang. 

Rumi menurut. Dadanya berdebar ketika duduk di kursi goyang. Rumi menghela napas sejenak, kemudian mulai mendongeng. Ibu duduk di lantai mendengarkan dan bibirnya menggariskan senyum.

“Kelak, kamu akan mendongeng untuk anak-anakmu, cucu-cucumu,” kata ibu, usai Rumi menyelesaikan dongeng pertamanya. Rumi tersenyum. Wajah Harun melintas di pikirannya. Ah, ibu belum tahu siapa Harun.

Lulus dari SPG, Rumi mengabdi di sebuah SMP Negeri di Kecamatan Limpung, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Jarak rumah dengan SMP tempat Rumi mengajar sekitar tiga kilometer. Dua tahun kemudian, Rumi bercerita tentang Harun.

“Dia lelaki hebat, Ibu. Dia lulus lebih dulu dari SPG. Sekarang dia mengajar di SMP swasta di Pekalongan,” kata Rumi.

“Kalau kamu yakin dia lelaki hebat untukmu, maka ibu pun yakin dia menantu yang hebat untuk ibu,” ibu tersenyum dan wajah Rumi bercahaya seketika.

“Tapi kalau kamu menikah, kamu akan meninggalkan rumah ini,” senyum di bibir ibu surut.

“Tidak, Ibu,” sergah Rumi. “Kami sudah sepakat, bila menikah kelak, Rumi akan tetap tinggal di sini. Mas Harun akan pulang sebulan sekali.”

Ibu tersenyum.

“Bila begitu, tunggu apa lagi?”

Pernikahan Rumi dan Harun meriah sekali, tiga hari tiga malam. Ada barongan, kuda lumping dan wayang kulit. Pernikahan anak tunggal memang selalu meriah.

Sebulan setelah Rumi menikah, ibu meninggal di kursi goyang. Tak ada tanda-tanda atau menderita sakit. Memang sudah waktunya meninggal. Setahun kemudian ayah wafat, setelah sekian lama berlarut-larut memendam rindu pada ibu. Ibu dan ayah tak sempat melihat cucu mereka lahir.

Cucu yang tak sempat melihat kakek dan neneknya itu hanya satu. Sampai Rumi berambut memutih sebagian, tak ada lagi anak yang lahir dari rahimnya. Kata orang, sudah turunan.

Alia, anak Rumi, juga memiliki satu anak –setidaknya sampai saat ini. Kata orang, sangat mudah menggambar denah silsilah keluarga Rumi, karena selalu hanya punya satu anak. Mustika, anak Alia –alias cucu Rumi—kini berusia tujuh tahun, sudah kelas 2 SD.

Alia dan suaminya tinggal di Semarang. Tiap akhir pekan mereka mengajak Mustika berkunjung ke kampung, menengok Rumi. Sabtu sore kemarin mereka datang. Namun karena Alia ada janji wawancara dengan nara sumber dan suaminya harus meliput seminar lingkungan hidup, mereka menitipkan Mustika. Minggu sore atau malam, Alia dan suaminya, atau satu dari mereka –mana yang sempat-- akan menjemput Mustika.

Bila berkunjung ke kampung, Mustika selalu meminta Rumi duduk di kursi goyang. “Ayo, Nek, mendongeng,” pinta Mustika dari tempatnya bersila, di lantai tegel yang tak pernah berganti motif sejak dulu kala.

Dongeng turun-temurun terdengar lagi di teras rumah kayu jati itu.

“Besok nenek ulang tahun, ya?” kata Mustika ketika Rumi usai mendongeng.

“Masa?”

“Iya, Nek. Kakek yang bilang. Nenek minta hadiah apa? Nanti Tika belikan, deh.”

“Mm, apa ya? Bagaimana kalau buku cerita rakyat?”

“Baiklah. Besok pagi Tika dan kakek akan ke kota.”

“Pakai uang siapa?”

“Uang kakek.”

Rumi terkekeh.

Harun, suami Rumi, menetap di rumah kayu jati itu setelah permohonan mutasinya dikabulkan. Usai salat subuh, Harun dan Mustika berangkat ke Pekalongan naik bus. Mereka membeli beberapa buku cerita rakyat untuk kado ulang tahun Rumi. Menjelang asar mereka telah pulang.

“Nenek, Tika pulang,” seru Mustika dari halaman.

Harun menyilangkan jari di bibir.

“Sstt, Nenek tidur,” bisiknya. “Hati-hati. Bangunkan pelan-pelan.”

Mustika mengangguk dan tersenyum. Ia menyentuh tangan Rumi, menepuk-nepuk pelan. Tak ada reaksi.

“Nenek,” Mustika berbisik.

Harun ikut menepuk pelan tangan Rumi. Menyentuh dan mengguncangkan bahu Rumi, hingga kursi itu bergoyang pelan. Harun tertegun, meletakkan jari telunjuknya di bawah hidung Rumi. Harun terhenyak.

Innalillahi ...”

Mata Harun berkaca-kaca menoleh pada Mustika. Bibir Mustika bergetar.

“Neneeeeekk ..!!”

Mustika memekik. Tas plastik putih di tangannya jatuh. Buku-buku cerita terserak di lantai. 

***SELESAI***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)