Masukan nama pengguna
Tugas saya sederhana: mengantar barang sampai ke alamat penerima. Manajer yang mewawancarai saya mengatakan bahwa, kesukesesan itu butuh proses yang dapat diraih dengan terlebih dahulu menjadi kurir.
“Jadi kurir, Pak? Ah, Bapak bercanda. Saya lulusan S1 lho, Pak?”
Manajer tersenyum, menyandarkan punggung ke kursi mewahnya.
“Lihat kursi yang saya duduki ini, empuk sekali,” kata manajer. “Anda pun bisa duduk di kursi ini, suatu saat.”
“Bagaimana mungkin seorang kurir duduk di kursi manjer, Pak?”
Masih dengan tersenyum, manajer berkata: “Anda tahu dulu saya memulai karir sebagai apa?”
Saya menggeleng.
“Lebih rendah dari seorang kurir. Sebagai jongos.”
“Jongos?” saya melongo.
“Ya. Tukang bersih-bersih lantai, toilet, membuatkan minuman untuk semua karyawan. Padahal saya juga lulusan S1 Manajemen seperti anda.”
Saya masih melongo.
“Bagaimana? Anda berani terima tantangan saya, menjadi kurir untuk meraih kursi manajer?”
Saya sudah capai bila harus mengirim lagi puluhan e-mail lamaran, masuk keluar gedung menenteng ijazah. Saya benar-benar letih!
Saya mengangguk lemah. Manajer menjabat erat tangan saya.
“Selamat bergabung dengan kami dan selamat menyongsong kesuksesan yang sudah di depan mata anda!”
***
Pagi ini, sebagai langkah awal karir sebagai kurir, saya harus mengantar paket untuk seseorang bernama Hardiman Suryajaya. Kata resepsionis, hampir tiap hari ada paket untuk Hardiman Suryajaya.
“Beliau pengarang buku. Semua paket untuknya, mayoritas dari penerbit. Entah apa isinya,” kata Rahma, resepsionis.
“Kamu tahu ancar-ancar rumahnya?” tanya saya.
Rahma mengangkat bahu.
“Saya ini resepsionis, Hanif, bukan kurir.”
Saya menyeringai.
Setelah bertanya sana-sini, saya menemukan alamat rumah Hardiman Suryajaya. Rumah itu besar dengan pagar besi. Saya memencet bel di dinding pagar.
Seorang perempuan muda berjilbab pink keluar dari pintu rumah. Tergopoh-gopoh mendekati pagar dan tersenyum tipis.
“Ada paket untuk ayah saya? Ayah sedang ke luar kota, launching buku terbarunya,” katanya sambil membuka pintu pagar.
Saya melepas helm cakil.
“Oh, yang ngantar ganti, ya? Bukan Mas yang biasanya?”
“Ya, Mbak. Saya pegawai baru,” kata saya. Sengaja saya ganti kata kurir menjadi pegawai, biar keren.
“Silakan masuk, Mas.”
Kami duduk di teras. Saya menyerahkan paket padanya.
“Mohon tanda tangannya, Mbak.”
Perempuan itu membubuhkan tanda tangan di lembar tanda bukti terima paket.
“Terima kasih, Mbak. Maaf, apa mbak anaknya Pak Hardiman?” tanya saya.
“Ya, Mas. Saya anak sulung Pak Hardiman,” jawabnya tersenyum membuat dada saya berdebaran.
Berapa usianya, masih kuliah atau sudah kerja, dan pertanyaan lain mengendap di kepala saya. Saya ingin bertanya banyak pada perempuan berkulit putih itu, tetapi saya gagap bila berhadapan dengan perempuan, apalagi bila baru bertemu. Bahkan bertatapan sejenak pun, wajah saya menghangat dan dada berdebaran.
“Saya permisi dulu, Mbak. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Di perjalanan, saya mengutuk diri sendiri. Mengapa kesempatan bercengkerama dengan perempuan muda, cantik dan berjilbab, saya buang begitu saja? Tetapi sudahlah, lebih baik saya melanjutkan tugas mengantar barang.
Pukul lima sore, saya kembali ke kantor dengan tubuh letih. Banyak paket bertumpuk di lantai, untuk diantar esok hari. Saya terkejut membaca paket bertuliskan: Kepada Bapak Hardiman Suryajaya.
“Benar, bukan?” kata Rahma. “Hampir tiap hari ada paket untuk beliau?”
Saya tersenyum. Keletihan saya seketika lenyap. Besok saya akan melalui hari yang mendebarkan.
***SELESAI***