Cerpen
Disukai
4
Dilihat
13,490
Kinjeng Biru (Cinta yang Kandas)
Drama

Ketika Surip masih bercelana pendek dan hidung sering ingusan, ada sebuah gubuk di tengah sawah milik Haji Karmijan. Semua sawah di kampung pasti punya gubuk di tengahnya, tetapi gubuk di sawah Haji Karmijan adalah yang istimewa bagi Surip. Di sanalah ia menemukan cinta pertamanya.

Gubuk itu seperti gubuk di tengah sawah pada umumnya, berukuran dua kali dua meter dan berbentuk panggung setinggi satu meter. Dindingnya berupa bilah-bilah bambu setinggi satu meter yang disusun vertikal dengan jarak tertentu, seperti jeruji penjara. Atapnya dari welit.

Setiap pulang sekolah, sebelum pulang ke rumah, Surip bersama beberapa teman mampir dulu ke gubuk. Di sana, pasti sudah ada makanan yang dibawa Emak untuk Bapak. Emak sengaja membawa banyak makanan, karena tahu Surip dan teman-teman pasti akan ke gubuk usai sekolah.

Usai makan siang di gubuk, Surip dan teman-teman berlarian menuju sungai yang tak seberapa jauh dari sawah. Mereka suka ria terjun ke kedung, berenang, saling mencipratkan air ke wajah.

Setengah jam kemudian mereka mentas. Teman-teman menyusuri pematang sawah, pulang ke rumah masing-masing, sementara Surip kembali menuju gubuk.

Bapak tersenyum melihat Surip, dan sambil mengangkat cangkul, ia berkata: “Ayo, belajar macul lagi.”

Bapak menyiapkan Surip menjadi petani yang terampil. Tiap hari Bapak mengajari Surip mencangkul dan bercocok tanam yang baik. Surip menurut saja, karena kalau menolak, Bapak pasti marah. Kata Bapak: “Kita ini keturunan petani, maka kamu juga harus jadi petani.”

Surip mengira sawah yang digarap Bapak adalah milik keluarga, sampai suatu kali Surip melihat Haji Karmijan berbicara dengan Bapak. Berkali-kali Bapak membungkuk dan mengangguk-anggukkan kepala, seperti kompeni pada orang pribumi di film.

“Ada apa, Pak?” tanya Surip setelah Haji Karmijan pergi menyusuri pematang sawah.

“Ah, tidak apa-apa. Pak Haji tanya, kapan mulai tanam padinya?”

“Kapan tanam padinya, Pak?”

“Tak lama lagi. Ayo, mumpung sawah ini belum ditanami padi, kamu belajar macul lagi.”

***

Ketika Surip telah remaja, gubuk di tengah sawah milik Haji Karmijan itu masih ada dan tampak masih baru. Surip dan Bapak telah membongkar dan membangun lagi gubuk itu. Modelnya masih seperti dulu, hanya kini atapnya dari genting bekas.

Usia Bapak telah bertambah, tenaganya makin berkurang. Kini Surip sudah berseragam putih abu-abu, dan setiap pulang sekolah, sebelum pulang ke rumah, Surip mampir dulu ke gubuk. Selalu Surip melihat Bapak kelelahan di gubuk. 

“Kamu sendirian lagi? Ke mana Bakir, Rahmat, dan Pranoto?” tanya Bapak sambil mengipaskan caping ke tubuhnya.

“Bakir main PS, Rahmat les Bahasa Inggris, Pranoto les komputer, Pak.”

“Apa mereka tidak membantu ayah mereka di sawah?”

Surip tidak menjawab.

“Sudahlah, jangan pikirkan teman-temanmu yang tidak mau jadi petani itu,” kata Bapak, mengambil cangkul, lalu menyerahkannya pada Surip. Kata Bapak: “Kita ini keturunan petani. Ini, mencangkullah.”

Surip menurut, karena kalau menolak, Bapak pasti marah. Dan sudah jadi kesepakatan mereka, Bapak mencangkul dari pagi sampai siang, Surip mencangkul dari siang sampai sore.

Gubuk itu menjadi rumah kedua bagi Surip. Di sana ia mengerjakan PR atau membaca buku, saat istirahat sejenak dari kesibukan mencangkul yang membuat tubuhnya tampak kekar.

Suatu sore, usai salat asar di gubuk, Surip melihat seorang gadis memakai rok merah muda bermotif kembang-kembang, rambut berkepang dua, berjalan menyusuri pematang, mendekat ke arah gubug.

“Hai, Surip?” gadis itu melambaikan tangan, ketika sampai di depan gubuk.

Surip gugup.

“Sedang apa kamu, Mila?” sahut Surip, kikuk.

“Mencari kinjeng. Nih, aku sudah dapat tiga,” kata Jamila, gadis itu, menunjukkan kantong plastik bening berisi tiga kinjeng berwarna merah, kuning, dan hijau. “Aku mencari kinjeng warna biru. Ada nggak, ya?”

Kinjeng biru? Itu kinjeng langka. Aku belum pernah melihatnya.”

“Aku juga belum pernah melihatnya. Kamu mau bantu aku mencari kinjeng biru?”

Sore-sore berikutnya, Jamila selalu ke gubug di tengah sawah milik Haji Karmijan. Bersama Surip, gadis berkulit sawo matang dan bermata lentik itu mencari kinjeng biru yang tak kunjung ketemu.

“Mungkin kinjeng biru itu hanya mitos,” kata Surip, ketika mereka istirahat di gubug.

“Aku yakin kinjeng biru itu ada, kok,” sahut Jamila.

“Aku berharap kita tidak menemukan kinjeng biru.”

“Mengapa begitu?” alis Jamila bertautan.

“Agar kamu selalu ke sini untuk mencarinya,” Surip tertawa.

“Ih, kamu jahat!” Jamila tersipu.

***

Ketika Jamila tidak datang ke gubuk tanpa alasan, Surip melihat seekor kinjeng biru hinggap di rerumputan dekat gubuk. Surip mengendap-endap dan hati-hati sekali menangkap kinjeng itu dengan tangannya. Hup! Sekali tangkap, kinjeng itu telah berada dalam genggaman tangan Surip.

“Ah, beruntung sekali aku. Jamila pasti senang bila kuberikan kinjeng biru ini padanya,” gumam Surip dan tersenyum lebar. Bergegas ia meninggalkan gubug, menyusuri pematang, menuju rumah Jamila.

Surip menghentikan langkah. Dari kejauhan Surip melihat beberapa mobil di depan rumah Jamila. Ramai sekali tampaknya di rumah gadis manis itu. Surip mengurungkan niat, ia berbalik arah. Genggaman tangannya melemah, telapak tangannya terbuka, seekor kinjeng biru terbang suka ria menjemput kebebasan.

Keesokan harinya, Surip menemukan jawaban, saat Jamila menyeretnya ke toilet sekolah. Jamila menangis dan bercerita bila dirinya telah dilamar seorang tentara, anak teman ayahnya.

“Kamu tidak ingin kuliah?” tanya Surip dengan suara bergetar.

“Kata ayah, aku boleh kuliah setelah menikah.”

Dua anak manusia yang terluka hati, saling bertatap dalam kedukaan. Dan, sore itu mendung, Surip duduk termenung seorang diri di gubuk.

***

Ketika hari kelulusan tiba dan pesta perpisahan di aula sekolah telah usai, Jamila menemui Surip dan berbisik: “Nanti malam purnama. Temui aku di gubuk.”

Surip terhenyak, tetapi berusaha untuk tenang dan mengangguk. Jamila bergegas berjalan menuju tempat parkir. Di sana, Haji Karmijan telah menunggu Jamila di dekat mobil merah mengkilap.

Bapak menyikut lengan Surip.

“Bicara apa kamu pada anak Haji Karmijan?”

“Ah, tidak apa-apa, Pak. Hanya ucapan selamat.”

Malamnya, Surip telah menunggu di gubuk. Ia tidak tahu mengapa harus berada di sana malam itu. Kemudian datanglah Jamila, seorang diri. Surip berdiri menyambut kedatangan gadis itu. Dalam temaram purnama, wajah Jamila tampak bersemangat.

Tanpa berkata-kata, Jamila menubruk Surip, memeluknya erat-erat, mencium bibir dengan menggebu-gebu. Tubuh mereka jatuh ke lantai gubuk yang terbuat dari bilah-bilah bambu. Lantai itu berderit-derit, tertimpa dua tubuh dalam gelegak asmara.

***

 Ketika Surip telah dewasa dan patah hati selama tiga tahun, gubuk itu masih ada di tengah sawah Haji Karmijan. Gubuk itu seperti tak terurus; beberapa genting tampak bolong. Sudah waktunya gubuk itu diperbaiki, tetapi Surip malas melakukannya.

Surip duduk di gubuk, melepas lelah. Tiga tahun ini Surip cepat merasa lelah. Ia ingin pergi ke mana saja, tetapi itu tidak mungkin. Siapa yang akan mengurus Bapak dan Emak, bila ia pergi dari kampung?

Seekor kinjeng biru hinggap di rerumputan dekat gubuk. Surip terhenyak, seperti teringat masa silam. Surip bergegas bangkit, bergerak cepat mendekat, tetapi kinjeng biru sigap terbang pula. 

Surip mengejar, mengejar, tanpa peduli arah. Kinjeng biru terus terbang tak tentu arah, seperti tahu bahaya sedang mengancamnya. Surip makin jauh meninggalkan gubuk, masih terus mengejar kinjeng biru. Surip menjerit ketika tubuhnya terperosok ke jurang yang dalam. Sementara kinjeng biru terus terbang, terbang, dan terbang.

***SELESAI***

Keterangan dalam bahasa Jawa:

Welit: atap terbuat dari daun nipah

Mentas: keluar dari dalam air/sungai

Macul: mencangkul

Kinjeng: capung

Caping: topi lebar dari anyaman bambu

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)