Masukan nama pengguna
Pukul 06.30, Hans sudah nangkring di Satria berkelir hitam kesayangannya. Tak lama kemudian, muncul Marina dari dalam rumah mengenakan helm pink dan senyum merekah. Dada Hans berdebaran menikmati senyum menawan gadis itu.
“Sudah panas mesinnya, Kak?” tanya Marina tersenyum dan sepasang matanya mengerjap sesaat.
Hans menoleh ke bawah, ke mesin motornya dan ia tersenyum. “Sudah, dong,” jawabnya.
“Yuk, berangkat,” sahut Marina, lalu duduk di boncengan. Marina duduk menghadap samping karena ia mengenakan rok abu-abu panjang sebatas mata kaki.
Hans menekan tombol starter. Mesin motor menderu-deru ketika Hans memainkan handle gas.
“Sudah siap, Nona?”
“Sudah, Bos.”
Marina melingkarkan tangan kanannya ke pinggang Hans. Hans tersenyum girang. Saat seperti inilah yang selalu Hans tunggu. Hans memutar handle gas, motor melaju santai meninggalkan halam rumah, menyusuri jalanan kota yang padat.
Sudah tiga bulan ini Hans mendapat tugas yang sangat menyenangkan. Pagi, mengantar Marina berangkat sekolah. Siang, bila Hans tidak ada kuliah, ia menjemput Marina pulang sekolah.
***
Semula Hans tinggal di rumah Paman Hanif yang hanya punya dua kamar. Hans sekamar dengan Andre, anak tunggal Paman Hanif. Mula-mula tak ada masalah, tetapi lama-lama Hans merasa terganggu bila berbagi kamar dengan anak kelas 6 SD.
Hanya sebulan Hans bertahan numpang hidup di rumah Paman Hanif. Hans hendak mencari tempat kos sendiri, tetapi Paman Hanif menawarinya untuk kos di rumah Om Budi, rekan kerja paman. Ada satu kamar di rumah Om Budi yang belum ada penghuni baru, setelah penghuni lamanya pergi karena telah lulus kuliah.
Hans menurut. Ia percaya pamannya akan mencarikan tempat kos yang representatif; nyaman dan dekat dengan kampus.
“Kamu pasti suka. Paman yakin, berani taruhan,” kata Paman Hanif begitu yakin.
Hans penasaran. Mengapa Paman Hanif begitu yakin telah memilihkan tempat tinggal yang layak untuk Hans? Penasaran Hans terjawab, ketika mereka berkunjung ke rumah Om Budi. Kamarnya luas, 4 x 4 meter dan ber-AC.
“Bagaimana? Kamu berminat?” tanya Paman Hanif.
Hans mengangguk-angguk tetapi belum memberikan jawaban. Saat itulah dari pintu depan muncul seorang gadis berambut panjang sebahu memakai rok abu-abu panjang sebatas mata kaki dan berkemeja putih.
“Selamat siang. Marina pulang!” seru gadis itu dengan wajah ceria, lalu mencium tangan Om Budi dan Tante Elina.
Hans terpana melihat kedatangan gadis bertubuh semampai itu.
“Oh ya, Hans. Kenalkan, ini Marina anak Om Budi,” kata Paman Hanif.
“Marina,” gadis itu mengulurkan tangan.
“Oh ya ... Hans Mulyadi,” gugup, Hans menyambut tangan itu. Dada Hans berdebaran seperti genderang.
“Bagaimana, Hans? Kamu jadi kos di sini?” tanya Paman Hanif menyela.
Hans tergagap dan sigap menjawab, “Ya, Paman. Hans mau kos di sini saja.”
Paman Hanif, Om Budi dan Tante Elina tertawa melihat kegugupan Hans.
***
Simbiosis mutualisme. Mungkin itu ungkapan yang tepat untuk hubungan Hans dan Marina selama tiga bulan ini. Marina butuh tumpangan untuk berangkat dan pulang sekolah. Marina tidak perlu lagi menunggu angkot di pinggir jalan yang bikin kaki pegal dan hati kesal. Sementara Hans butuh penyemangat hidup.
Motor masih melaju santai. Hans tidak perlu buru-buru dan Marina pun tidak protes. Malah, suatu kali Marina pernah meminta diantar melalui jalur lain yang lebih jauh dan mereka tiba di sekolah pas saat pintu gerbang sekolah hendak ditutup oleh satpam.
Di depan ada pertigaan. Belok kanan ke SMA Bangsa.
“Belok kiri saja, Kak Hans,” kata Marina di dekat telinga Hans.
“Lho?”
“Marina suntuk. Malas sekolah!”
“Tapi ....”
“Sudah. Belok kiri saja!”
Hans menurut. Motor berbelok ke kiri.
“Kita ke mana?” tanya Hans.
“Ke pantai.”
Hans menurut lagi. Mereka sampai di pantai. Mereka duduk di bangku bambu di bawah pohon cemara. Sekira duapuluh meter di depan mereka, lidah gelombang menjilati pasir coklat pantai yang masih sepi pagi itu.
Marina duduk dan terdiam. Sepasang mata bulatnya menatap lurus pada deburan gelombang yang meliuk-liuk mencapai tepian pantai. Tetapi mata indah itu kini bersinar resah. Bibir Marina cemberut. Hans salah tingkah karenanya. Belum pernah Hans menemukan Marina seresah itu.
“Hampir jam delapan. Kamu sudah terlambat ke sekolah,” kata Hans.
“Biarin. Ke sekolah pun percuma. Nggak konsen. Marina suntuk!” jawab Marina masih menatap lurus pada deburan ombak.
“Jam pertama pelajaran apa?” tanya Hans.
“Sejarah.”
“Kamu nggak suka pelajaran Sejarah?”
“Suka.”
“Lantas, mengapa kamu pilih membolos?”
“Marina sudah bilang, Marina suntuk. Marina suntuk, Kak! Ngerti nggak, sih?”
“Maaf. Maafkan, Kakak,” sahut Hans.
Hans memutuskan untuk membiarkan saja Marina dengan kesuntukannya. Hans diam dan diam-diam mencuri pandang pada gadis itu. Hmm, meski saat resah dan suntuk pun Marina masih mempesona. Kecantikannya tiada berkurang. Dada Hans berdebar seperti ombak berdebur.
Hans melirik jam tangannya.
“Hampir jam sembilan. Kamu harus ke sekolah. Lebih baik terlambat daripada bolos,” kata Hans.
Marina tak menjawab. Ia beranjak dari bangku bambu, berdiri dan mendekap tas pink bermotif Barbie. Rambut panjangnya berkibar diterpa angin pantai yang mulai terasa panas.
“Ayo,” kata Hans mengulurkan tangan.
“Nggak!” Marina menepis tangan Hans. “Kak Hans pulang saja. Biarkan Marina di sini!”
“Sampai kapan?”
“Terserah Marina!”
“Kamu kenapa, sih? Apa kakak sudah berbuat salah? Ngomong, dong?”
“Marina suntuk!” sahut Marina ketus.
“Iya, tapi suntuk kenapa?”
Marina menatap tajam Hans.
“Marina suntuk!” kata Marina mengulang, masih ketus.
“Suntuk kenapa!” tanpa sadar suara Hans meninggi.
“Marina suka sama Kak Hans tapi nggak berani ngomong!”
Hans terpana, begitu pula Marina. Keduanya saling bertatapan. Perlahan, Hans menyentuh dagu Marina.
“Sungguh?” tanya Hans lembut.
Marina mengangguk pelan.
“Kakak juga suka sama kamu,” bisik Hans.
Sepasang mata Marina membelalak.
“Sungguh?” suara Marina bergetar.
Hans mengangguk dan tersenyum. Marina memejamkan mata. Tanpa ragu, Hans mengecup kening Marina lalu merengkuh gadis itu dalam dekapannya.
***SELESAI***