Cerpen
Disukai
1
Dilihat
6,575
Judi
Religi

Berapa kali Marjono utang padaku? Seribu kali atau lebih, entahlah. Seharusnya aku mengusirnya atau menghindar bila Marjono muncul, tapi aku tak tega. Hanya aku yang masih mau berteman dengannya. Hanya aku yang masih terpedaya oleh wajah memelasnya tiap kali lelaki pendek dan kurus itu datang. Hanya aku yang tidak memakinya sebagai calon penghuni neraka!

Suatu pagi, Marjono datang ke rumahku membawa pesawat telepon tua; hitam dan masih cukup mengkilap. Sebuah benda antik yang sangat kukenal. 

Dahulu, telepon tua itu berada di sebuah ruangan sempit di sisi belakang kantor kecamatan. Dahulu, aku dan Marjono suka bermain di kompleks kantor kecamatan. Dahulu, kami bebas bermain di sana karena Pak Ramelan, ayah Marjono, kerja di sana sebagai penjaga telepon.

Sering kulihat Pak Ramelan duduk dengan kepala tertunduk mengantuk. Kata Marjono, dalam seminggu telepon itu berdering satu-dua kali. Praktis, tugas Pak Ramelan hanya duduk dan mengantuk sepanjang hari.

Mungkin untuk mengusir kantuk, Pak Ramelan mencoret-coret sesuatu di kertas. Suatu kali ketika Pak Ramelan sedang ke kakus, Marjono mengajakku ke ruang kerja ayahnya. Kami melihat kertas-kertas itu; kertas bertuliskan angka-angka, dan kertas fotokopian bergambar Petruk, Bagong, Gareng, dan Semar.

“Ini ramalan SDSB,” kata Marjono, lalu menyobek kertas, mengambil pulpen, dan menulis sederet angka, kemudian bergegas menarik tanganku keluar dari ruangan sempit itu.

“Kita cari Pak Jamin,” kata Marjono.

Kami mengelilingi kompleks kantor kecamatan dan menemukan Pak Jamin si tukang kebun sedang membakar sampah di pojok halaman belakang.

“Kamu tunggu di sini,” kata Marjono.

Aku menurut. Kulihat Marjono berbicara dengan Pak Jamin, merogoh uang dari kantung celana pendek, lalu menyerahkannya bersama sobekan kertas pada lelaki tua itu.

Hari berikutnya, Marjono mengajakku menemui Pak Jamin lagi. Kawanku itu menyerahkan sejumlah uang dan mengucapkan terima kasih pada Pak Jamin karena berhasil nembus buntut SDSB. Kami masih kelas 3 SMP saat itu.

Ah, Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB), judi lotere yang dilegalkan pemerintah itu seperti candu. Ada beberapa deret angka yang bisa ditembak (dibeli) untuk mendapatkan hadiah uang yang sangat banyak. Kalau cuma membeli empat atau dua angka saja disebut nembak buntut, uang hadiahnya pun sedikit.

Semua orang tergila-gila, bahkan anak SMP seperti Marjono pun keranjingan membeli SDSB.

Masa berganti, teknologi berkembang. Telepon dengan tombol putar berganti telepon tombol pencet. Pak Ramelan berganti tugas, jadi pesuruh kantor. Ruang telepon beralih fungsi jadi gudang. Telepon tombol pencet berada di ruang kerja Pak Camat. Meski begitu, masih sering kulihat Pak Ramelan mencoret-coret kertas di sebuah ruangan.

Kebiasaan Marjono pun berlanjut, mencuri waktu untuk menyobek kertas dan menulis sederet angka dari meja di ruangan itu. Menemui Pak Jamin untuk membelikan nomor SDSB, meski hanya dua atau empat angka saja alias buntut. Tetapi sampai ayahnya pensiun, Marjono tak pernah lagi nembus buntut.

Suatu sore, ketika kami kelas 3 SMA, kami bermain catur di teras rumah Marjono. Kami mendengar jerit perempuan dari dalam rumah. Bu Sakdiah, ibu Marjono, menangis dan mengabarkan bila Pak Ramelan meninggal. Kami melihat Pak Ramelan duduk kaku di kursi di ruang tengah. Di depannya, sebuah meja penuh kertas ramalan SDSB.

“Cepat, kalian singkirkan semua kertas itu!” perintah Bu Sakdiah.

Buah jatuh tak jauh dari pohon. Marjono gemar bermain-main dengan nasib, seperti ayahnya. Setelah pemerintah melarang peredaran SDSB sejak November 1993, Marjono berganti bermain rolet, kemudian judi dadu.

Judi sudah mendarah daging bagi sebagian warga di kampung kami. Marjono suka pergi ke kuburan Cina di dekat hutan di selatan kampung untuk bermain dadu. Ramai orang di sana, siang-malam, baik penjudi maupun penonton. Konon, seorang tokoh masyarakat anggota DPRD jadi beking, sehingga arena perjudian itu aman tenteram. Beberapa pedagang kecil menggelar dagangan di sana, ikut mengais rupiah. 

Kegilaan Marjono pada judi dadu demikian parah. Ia dipecat dari kantor pasar desa. Keluarganya kacau. Istrinya minta cerai dan membawa anak tunggal mereka ke kota. Kabarnya, mantan istri Marjono telah menikah lagi dengan seorang pedagang buah. Pada usia yang masih muda -35 tahun- Marjono telah menduda karena dadu.

Marjono sering datang padaku, meminjam uang, apalagi bila ia melihatku keluar dari kantor pos usai mencairkan wesel. Kadang ia membawa barang untuk jaminan.

“Ini telepon tua warisan ayahku. Bisa aku pinjam lima puluh ribu? Bila seminggu aku tak menebusnya, ini jadi milikmu,” kata Marjono pagi itu.

Ah, aku tak bisa menolak, selalu begitu. Marjono penjudi yang tepat janji. Bila menang judi, ia selalu melunasi utangnya padaku, bahkan memberi lebih.

“Doakan aku sering menang, agar tak perlu pinjam uang terus sama kau,” katanya.

Dasar penjudi. Doa macam apa itu?

***

Telepon tua itu masih di rumahku. Sudah tiga bulan Marjono belum mengambilnya. Aku bukan penggemar barang antik dan tak tahu bagaimana merawatnya. Jadi, kubiarkan saja telepon tua itu dimakan debu. Aku pun tak memikirkan mengapa Marjono belum menebus barang jaminannya. Anggap saja uang lima puluh ribu itu sebagai sumbanganku pada sahabat. 

Ada yang kupikirkan saat ini: menyelesaikan novel yang telah dipesan sebuah penerbit. Di kamar, aku mengetik di dekat jendela. Hari masih pagi, udara masih sejuk.

Tiga jam kemudian, seseorang mengetuk pintu rumahku. Pak RT datang membawa kabar bahwa, Marjono dan beberapa penjudi lainnya diciduk polisi. Pak RT mengajakku menengok Marjono di kantor Polsek. Tetapi, Marjono telah dibawa ke kantor Polres. Seorang polisi di Polsek menyarankan agar kami jangan menengok Marjono hari ini, karena masih diinterogasi. Besok atau lusa saja.

“Saya dengar Pak Satrio punya telepon tua. Mau dijual? Saya punya kenalan seorang kolektor barang antik,” kata Pak RT di pelataran parkir motor di kantor Polsek, ketika hendak pulang.

“Tidak akan saya jual, Pak,” sahutku. “Sebenarnya itu milik teman saya.”

Aku masih berharap Marjono suatu saat menebus telepon tuanya, meski harapan itu mungkin sangat tipis terwujud. Apalagi kemudian kudengar Marjono masuk penjara!

***

Bertahun-tahun kemudian ketika Marjono keluar penjara dan menghilang entah ke mana, telepon tua itu masih kusimpan. Teronggok di sudut kolong tempat tidur yang dingin.

Istriku merasa terganggu. Ia memintaku untuk menjual atau membuang telepon tua yang tidak bisa berdering itu.

“Tak baik menyimpan benda milik penjudi. Bisa bawa sial,” kata istriku.

Aku menurut. Sebaiknya kuhubungi dahulu Pak RT. Semoga kolektor barang antik kenalan Pak RT mau membeli telepon tua itu.

Untuk menuju rumah Pak RT, harus melewati musala. Langkahku terhenti. Kulihat seorang lelaki pendek dan kurus, bersarung kotak-kotak, sedang mengepel lantai serambi musala. Mungkin mendengar langkah kakiku yang bersandal, lelaki itu menoleh. 

“Marjono?” gumamku terhenyak.

Lelaki itu tergopoh-gopoh menyambutku, menjabat erat tanganku seperti bertemu tamu agung.

Assalamualaikum, Saudaraku,” ucapnya, pakai membungkukkan badan segala.

Mulutku mengangga. Belum pernah kudengar Marjono mengucap salam seperti itu sebelumnya.

Waalaikumsalam,” jawabku gugup. 

Marjono masih menjabat tanganku, bahkan memelukku seperti yang sering kulihat bila sesama kiai bertemu. Aku merasa risi.

“Bagaimana keadaanmu? Sehat?” Marjono tersenyum lebar, menepuk bahuku.

“I-iya, sehat.”

Alhamdulillah. Kemarilah, duduklah. Berapa lama kita tidak bertemu?” katanya. 

Kami duduk di lantai serambi musala. Aku masih bingung dengan keadaan ini. Benarkah yang kulihat itu Marjono si penjudi yang menghilang sekian lama?

“Kamu Marjono, kan?” tanyaku menatapnya.

Marjono tertawa.

“Kenapa? Apa aku telah berubah?”

Aku mengangguk. Jenggotnya yang cukup lebat, itulah yang membuatku ragu padanya. 

“Ke mana saja kamu, Jon?” 

Kemudian Marjono bercerita tentang dirinya selama menghilang, selepas keluar penjara. Konon, selama di penjara Marjono rajin ikut pengajian seorang kiai. Pihak LP memang secara khusus mendatangkan kiai untuk memberikan pengajian bagi para napi yang muslim. Marjono dan kiai itu jadi akrab.

Keluar dari penjara, Marjono berguru pada sang kiai. Nyantri di pondok pesantren sang kiai. Bahkan sempat diajak sang kiai untuk umrah. Dadaku berdebar mendengar kisahnya. 

“Kapan kamu pulang, Jon?”

“Tadi malam. Pak Kiai memberiku libur seminggu,” katanya. 

“Lalu, apa yang kamu lakukan di sini, di musala ini?”

Marjono tersenyum, menghela napas.

“Dulu aku tak pernah ke musala ini, bahkan tak pernah ke musala atau masjid di manapun. Itu menyedihkan, memalukan. Sekarang aku selalu rindu musala, masjid,” katanya.

Aku mengangguk-angguk.

“Kamu mau ke mana?” tanya Marjono.

Aku gugup sejenak. Telepon tua melintas dalam pikiranku, tetapi aku tak enak hati membahasnya.

“Ke rumah Pak RT. Ada sedikit urusan,” jawabku.

Marjono mengangguk-angguk.

“Mampirlah ke rumahku, kita ngobrol di sana,” kata Marjono. “Tapi sebelumnya, ayo kita wudu lalu salat.”

Aku tertegun. Melirik jam tanganku.

“Masih jam sembilan pagi, salat apa?” kataku.

Marjono terkekeh.

“Salat duha, tentu saja.”

“Tapi....”

“Jangan takut. Aku yang jadi imam. Kamu ikuti saja gerakanku,” kata Marjono, seperti mengerti pikiranku.

Meski bingung dan canggung, aku menurut saja. Kami berwudu, kemudian masuk ke musala. Marjono berdiri di depanku menghadap kiblat, lalu melafazkan takbir.

Allahu akbar ....”

Seperti kata Marjono, aku mengikuti semua gerakannya. Dadaku berdebar. Sungguh, seumur-umur itu kali pertama aku salat duha!

***SELESAI***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)