Masukan nama pengguna
Ada suara ketukan di pintu depan.
Lelaki usia kepala empat itu menoleh ke kamar anaknya yang pintunya terbuka, Disuruhnya anak gadisnya itu melihat ke depan, karena dia sedang sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya.
“Di lihat itu siapa yang ketok pintu depan, Pit!” Pintanya. Dia memang suka memanggil anaknya dengan panggilan Sipit. Karena mata anak gadisnya memang sipit, turun dari ibunya yang keturunan china.
“Biar saya saja yang bukain pintunya…” Suara seorang perempuan muda muncul dari ruang dapur.
“Biar mbak, aku telpon saja ini dari sini, biar masuk sendiri dia.” Gadis di dalam kamar itu mencegahnya.
“Kayanya Ita deh…” Lanjutnya tanpa bergeming di tempat tidur. Dia mengambil ponsel yang tergeletak di sebelahnya, lantas menelepon.
“Masuk aja, ga di kunci, aku di kamar…!” Seru gadis itu, Ruwen namanya, sedang yang berada di luar kamar, yang sedang berada di depan laptop itu adalah Om Roy, ayah Ruwen. Dan perempuan muda yang muncul dari dapur tadi adalah mbak Ratih. Perempuan yang tiap hari datang untuk bekerja di rumah itu, pulang pada sore harinya.
Gadis remaja itu menekan handle pintu kebawah dan mendorongnya kedalam. Melepas sepatunya lalu masuk.
“Selamat sore, Om…” Sapa gadis remaja tadi, setelah di ruang tengah.
“Selamat sore, silahkan, silahkan…” Om Roy menjawab ramah. Ita tersenyum mengangguk, terus masuk kekamar yang pintunya sudah terbuka.
“Jumat depan jadi kan, Wen?” Gadis tadi sudah menggelesot di sebelah Ruwen.
“Jadi dong.., kamu gak jadi ikut?”
“Ikut! Aku jadi ikut..!” Jawabnya.
“Siapa saja ya yang berangkat?”
“Yang kemarin itu, yang kita obrolin di kantin!”
“Weni gak ikut?” Ita menatap Ruwen, mencari kepastian sebelum kawannya itu menjawab.
“Enggak si katanya”
“Kenapa memang, Weni doang di tanyain?”
“Enggak, ga ada apa-apa!”
“Kamu tumben tiba-tiba ikut naik gunung?”
“Pingin saja, bolehkan?” Ita melirik Ruwen, lalu mencoba mengangkat ransel punya Ruwen yang sudah ter-packing di pojok bersender di lemari.
“selalu segini beratnya, tiap naik gunung?”
“Nggak juga, kan tergantung kita berapa lama, bawaan menyesuaikan.”
“owh...” Ita manggut-manggut.
“Kamu gimana? Sudah disiapin bawaannya?” Ruwen memandang Ita lekat. Seperti ada yang di sembunyikan olehnya.
Ita menghindar kontak mata. Dia mengangguk. “ Iya, sudah.., seperti yang kamu tulis kemarin itu kan, yang di siapin?”
Ruwen mengangguk mengacungkan jempolnya dan tertawa. Dia khawatir sebetulnya Ita ikut mendaki gunung. Karena setahu dia, Ita bukan tipe cewek yang suka dunia seperti ini. Waktu di tanya tempo hari, jawabannya, “Aku pingin mencoba hal baru.” Sambil tersenyum tapi sorot matanya entah kemana, menerawang jauh.
**********
Hari yang di jadwalkan tiba, ada tiga cowok yang sudah menunggu di stasiun dengan gelisah. Karena waktu sudah menunjukkan jam keberangkatan kereta kurang sepuluh menit tapi dua cewek yang mereka tunggu belum muncul.
“Nah, itu mereka!” Bobon menunjuk dengan dagunya.
Dua gadis yang berbeda tampilan itu baru turun dari mobil. Mereka di antar kakaknya Ita rupanya. Dika dan Bobon mendekat dan menyambut ransel kedua gadis itu. Kakak Ita hanya say hallo dengan isyarat tangan pada kawan-kawan adiknya. Dia langsung pergi lagi.
Setelah mencetak tiket, mereka segera mencari gerbong sesuai dengan nomor pada tiket.
Berlima, mereka akan mendaki gunung Lawu. Bobon, Dika, Igo, Ruwen dan Ita. Sebenarnya pendakian ini adalah kegiatan dari pecinta alam sekolah yang akan mendaki gunung Lawu. Mereka berempat hanya bergabung saja, sekaligus nanti ikut mengawal anggota-anggota baru yang ikut pendakian ini. Karena Igo memang kepala sukunya grup pencipta alam itu.
Ruwen bercanda, menginjak kaki Ita, tertawa kecil. Dia melihat sepasang sepatu trekking baru di kaki Ita. Waktu berangkat dari rumah tadi dia tidak memperhatikan.
Mereka sudah dalam perjalanan menuju Solo dari kota kecil pinggir pantai tempat mereka tinggal.
“Kapan belinya? Ukurannya di lebihin satu nomor kan?”
“Iya, ini aku lebihin satu nomor, kakiku tiga sembilan, aku beli empat puluh, Wen.., beli sudah agak lama, dari aku pernah bilang ke kamu itu, bilang pingin ikut naik gunung.”
Ruwen memgacungkan jempolnya. “Bagus, lebih baiknya memang sepatu buat naik gunung itu di lebihin satu nomor, gunanya kalau kita pas turun, ujung jari kaki tidak terlalu menekan ujung sepatu, mengurangi rasa sakit juga!” Balas Ruwen lagi.
“Kan kamu yang kasih tahu juga.” Ita menarik kakinya dan memencet ujung sepatunya.
“Ya gak usah di tunjukin juga kali.” Ruwen tertawa kecil. Ita nyengir.
*Peralatan yang lain? Beli juga?”
“Iya!”
Ruwen melebar matanya, menatap Ita. Bukan apa-apa sih, di pikirannya, peralatan mendaki gunung kan rata-rata mahal. Dari sepatu yang di pakai kawannya saja itu sudah di atas satu juta harganya. Ada carrier, sleeping bag, jaket tebal penahan dingin. Itu barang wajib yang musti ada. Dia saja dulu beli peralatan hingga komplit seperti sekarang, belinya satu-satu dalam jangka lama. Maklum, musti nabung dulu!
“Iya nih, kok aku baru ngeh ya, kamu pake peralatan baru semua kayanya.” Ujar Ruwen kagum, dia memandang sekilas ke ransel Ita yang terbungkus cover bag. Ita lagi-lagi hanya tersenyum.
“Ransel kamu apa itu?” Ruwen iseng menanyakan merk. Ita menyebutkan sebuah merk ransel produk luar.
“Belinya sekaligus?”
“Iya, kan referensinya dari kamu, Wen.”
“Maksud aku, kamu itu beli semuanya sekaligus?”
“Iya, hampir sebulan yang lalu belinya.” Jawab Ita ringan.
Ruwen tertawa, “Dasar anak orang kaya!” lanjutnya masih terkekeh.
“Jangan gitu dong, Wen!”
Ita tadi menyebutkan peralatan yang dibelinya, buatan luar semua, bahkan tendapun dibelinya juga. Astaga!
“Nanti, sebelum berangkat mendaki, kita packing ulang ya, biar di bagi beban kamu ke Bobon atau Dika. Terutama tenda. Aku rasa ransel kamu berat juga tadi.” Kata Ruwen. Dia yakin kalau tidak di bantu bawaannya, Ita bakal meleyot pada satu jam pertama berjalan naik nanti.
“Aku bisa, Wen.., kuat!”
“Jangan sok iye deh...” Ruwen melotot geli.
“Aku pasti kuat, Wen..! Kamu ngeremehin aku sih, sama kaya Igo!” Nada bicara Ita tiba-tiba penuh tekanan, tapi lantas terkejut sendiri, menutup mulutnya.
Ruwen tak kalah terkejut, dia menatap Ita lekat-lekat.
“Please Wen...” Ita memberi isyarat untuk tidak melanjutkan bicara, ketika Ruwen akan bicara.
Ruwen terdiam, mulai menyambung-nyambungkan sikap dan beberapa kalimat serta obrolan mereka kebelakang lalu dan sudah lama, yang menjadi kecurigaan dia selama ini ketika tiba-tiba Ita ingin naik gunung. Dia memandang Ita yang bersandar dan menoleh ke jendela. Bayangan pada kaca itu terlihat sahabatnya menahan tangis.
**********
Selesai berdoa, kelompok itu mulai berjalan menapaki jalan pendakian yang masih landai dengan kondisi jalan berbatu yang di tata sedemikian rupa, agar lebih nyaman bila di tapaki, jalan makadam. Igo berada paling depan memimpin rombongan anggotanya yang hampir semua baru sekali ini naik gunung. Ada delapan belas orang. Limabelas cowok, tiga cewek.
Posisi Dika di tengah, dan Bobon jadi penyapu bersama Ruwen dan Ita.
Sudah di sepakati, bahwa untuk naiknya mereka semua lewat jalur Cemoro Sewu, dan turun nanti lewat jalur Cemoro Kandang yang lebih landai, walaupun jalannya nanti akan lebih panjang dari jalur Cemoro Sewu,
Pos dua, pada ketinggian sekitar 2500 meter dari permukaan laut, baru saja di tinggalkan untuk istirahat dan membuat minuman untuk menghangatkan badan tadi. Kini mereka menuju pos tiga. Trek bebatuan masih mendominasi jalur. Bahkan jalur ini adalah jalur paling curam dan menguras tenaga. Tapi pemandangan mulai terbuka, bisa melihat awan yang mengapung di kejauhan sana. Jadi bisa sedikit terhibur dari siksaan jalur yang ekstrim ini. Beda dengan jalur pos satu ke pos dua, yang tertutup oleh vegetasi hutan pinus dan semak gunung.
“Masih aman kan, Ta?” Tanya Bobon, di sela-sela napasnya yang sedikit memburu. Dia berada di belakang Ita.
Ita menganggu saja, padahal dia sudah merasa kepayahan sekali.
Ruwen memandang Ita yang ada di belakangnya. Wajahnya pias.
Untuk kesekian kalinya mereka berhenti beberapa saat untuk mengatur napas yang memburu.
Ruwen menyedot air minum lewat selang kecil yang terhubung ke kantong air di ranselnya.
“Kantong air masih ada isinya?” Tanya Ruwen pada Ita. Kawannya itu hanya mengangguk saja. Agak limbung dia berdirinya.
“Ta, kamu gak apa-apa?” Bobon melihatnya.
“Aku tidak apa-apa kok.., cuman pusing aja dikit, kepalaku nyut-nyut.”
“Duduk dulu saja, lepas daypack-nya, Ta.” Bobon maju mendekati gadis itu.
“Coba di buka resleting jaketnya, biar sirkulasi udara di tubuh kamu nyaman. Atau di lepas aja sekalian. Kaya aku sama Ruwen tuh, ga pakai jaket, ga kedinginan kok, kan kita berjalan, keluar keringat, tubuh kita panas.” Kata Bobon lagi.
“Iya Ta, di pakainya nanti saja kalau istirahat lamaan.” Sambung Ruwen.
Ita menurut. Memang lumayan segar jadi tubuhnya, walaupun dingin, tapi nyaman rasanya. Bobon membantu melipat jaketnya dan memasukkan ke daypack-nya.
Di depan mereka, tidak jauh, ada tiga anggota cewek dan dua cowok yang juga sedang berhenti beristirahat.
“Aman ya kak?” Tanya cowok yang di depan Ruwen.
“Aman, lanjut aja kalau kalian mau lanjut!” Balas Ruwen. Bobon mengacungkan jempolnya.
Ada teriakan kode dari Dika. Bobon membalasnya. Mereka saling berteriak sesekali untuk memastikan kalau rombongan tidak tercecer berjauhan. Juga untuk melatih disiplin dan kebersamaan, tidak saling tinggal. Yang kuat tidak egois meninggalkan yang lemah, dan yang lemah merasa aman dan terpacu untuk terus melanjutkan perjalanan oleh support kawan mereka yang kuat.
Watak asli seseorang bisa terlihat dengan jelas bila mendaki gunung, kata orang-orang. Ada benarnya itu!
Walaupun dengan susah payah, Ita tetap melanjutkan langkahnya. Untuk kesekian kalinya dia berhenti lagi untuk meneguk air dari dalam daypack-nya lewat selang yang terhubung keluar dan terpasang sedemikian rupa pada bahu tali ranselnya. Dia jadi berpikir, coba kalau aku tetap bersikeras untuk membawa barang bawaanku sendiri tadi, ketika Ruwen meminta Bobon dan Dika untuk berbagi beban bawaan milikku, dan aku menolaknya. “Jangan, gak apa-apa, aku kuat kok nanti!”
Ruwen dan dua cowok itu malah tertawa saja. “Iya, Ta...tapi biarin saja mereka bawa bawaan kamu ya...” Jawab Ruwen. Dan mereka tetap membongkar ranselnya serta dua cowok itu berbagi barang bawaannya. Sekarang hanya menggendong daypack yang isinya air 2 liter, makanan ringan, serta keperluan pribadinya saja dia merasa semakin berat saja, bukan malah berkurang beratnya, padahal air nya dia minum terus sepanjang perjalanan walaupun tidak langsung banyak tegukan. Hanya cukup untuk membasahi tenggorokan saja. Karena kata Igo tadi pas briefing dan berdoa bersama, kalau kebanyakan minum, di badan juga tidak nyaman buat jalan. Ita memperhatikan sekali apa yang di katakan cowok itu, cara dia bicara, gerak tubuhnya. Semuanya. Masih menempel dan terekam jelas di dalam kepalanya.
“Masih mau lanjut?” Suara Bobon membuyarkan lamunannya.
“Lah, terkejut dia, Bon!” Ruwen tertawa kecil.
“Kamu melamun, Ta?”
Gadis itu hanya menggeleng dan tersenyum sedikit malu.
Lima remaja di depan mereka menyahut suitan Igo, lalu nyengir ke belakang. Bobon tersenyum mengacungkan jempolnya.
“Sepertinya kita sudah mendekati Taman Sari Atas nih!” Kata Ruwen,
“Taman Sari Atas?” tanya Ita.
“Kayanya iya, Taman Sari Atas itu pos tiga, Ta.., kalau Taman Sari Bawah itu tadi, pos dua.., jalur curam sudah tidak banyak yang panjang, tidak seperti di bawah tadi. Dan kita mulai di jalur agak landai!” Bobon mengiyakan.
“Berapa menit lagi, Bon?” Tanya Ita.
“Pos tigaaa..!!” Itu teriakan Igo.
“Itu suara Igo, dia sudah sampai pos tiga, sudah dekat ini.” Jawab Bobon.
Dan setelah sekian menit dengan langkah kaki gontai dan napas yang tersengal-sengal, Ita akhirnya sampai juga di pos tiga, Taman Sari Atas.
Pos tiga ditandai dengan area datar yang lumayan luas, ada beberapa bangunan shelter sederhana , itu sisa bangunan permanen yang mulai rusak di makan waktu.
Istirahat lama di putuskan di pos tiga, mengingat areanya yang luas dan banyak tempat yang datar. Mereka mulai membongkar ransel masing-masing dan saling berbagi tugas, memasak membuat makanan berat, membuat air minum yang panas, susu, coklat atau kopi, bahkan teh.
Igo memastikan team dalam kondisi masih sehat. Dia menanyai beberapa anggota yang terlihat seperti sudah drop, tapi ternyata mereka baik-baik saja.
Aku yakin dia tahu kondisiku, kenapa aku di lewati? Tidak di tanya? Batin Ita. Dia mencuri-curi pandang ke cowok itu. Mondar-mandir kesana kemari kadang berbicara sebentar pada anggota rombongan, dan tertawa-tawa lepas.
“Kita lanjut sampai dengan nanti pos lima, disana kita nanti buka tenda dan bermalam untuk besoknya kita bangun pagi untuk mengejar sunrise. Tapi sebelum itu, masih ada pos Penggik, atau pos empat yang akan kita lewati. Teman-teman masih aman kan?” Igo tertawa kecil, di sambut teriakan semangat dari beberapa anggota rombongan.
Mereka mulai lagi menapaki trek menuju Penggik, sebelum nanti sampai di Janganan, atau pos lima. Formasi masih seperti tadi. Hanya saja tiga cewek yang tadinya di depan Ruwen kini malah bergabung dengan Ita.
**********
“Ta, bangun Ta... katanya mau lihat sunrise, ayo sekarang bangun...” Ruwen membangunkan kawannya. Sempat tertawa kecil melihat posisi Ita yang tidur terbungkus sleeping yang model kotak, resleting penutupnya di tarik sampai habis menutup seluruh tubuhnya sampai dengan kepalanya.
Gadis dalam sleeping bag itu hanya menggumam saja tidak jelas. Bergerak beberapa saat lantas diam lagi. Ruwen mengguncang tubuh itu lagi agak keras. Agar dia terbangun.
Kepala Ita muncul dari balik resleting sleeping bag itu. Matanya sebentar-sebentar terpejam.
“Jadi ikut kepuncak gak ini!” Ruwen mengguncang tubuhnya lagi.
Di luar sana sudah mulai terdengar suara-suara para pendaki yang akan menuntaskan pendakiannya sampai dengan puncak. Melihat keindahan matahari terbit yang muncul dari balik awan yang mengapung. Banyak sekali ternyata yang akan summit attack. Di gunung Lawu ini, rata-rata para pendaki lebih memilih bermalam di Hargo Dalem untuk menuju puncak pada keesokan harinya. Lebih dekat dan beberapa pertimbangan lainnya antara lain, cuaca masih stabil, angin belum terlalu kencang, jadi resiko adanya badai kecil, juga menghindari kelelahan yang ekstrim, karena nanti setelah sampai puncak, musti turun gunung lagi apabila memang tidak berencana menginap lagi. Dan momen yang paling pasti adalah, mengejar matahari terbit yang sangat indah.
“Ayo, Ta...!” Ruwen menyemangati
kawannya yang berada di belakangnya agak jauh, di gandeng oleh Dika, karena jalannya terlalu pelan, padahal masih landai sekali trek-nya. Bobon sekarang menggantikan posisi Dika di tengah mengawal barisan depan.
“Pelan dikit, Dik...!” Ita tersengal-sengal.
“Aku pelan ini!” Balas Dika. “Ayo, nanti telat gak dapat sunrise kita.” Kata Dika lagi.
Ruwen melambai di atas tertawa melihat Dika yang menuntun Ita setengah menyeretnya. Dia sudah berada di area Hargo Dumilah. Area puncak Lawu, batas akhir pendakian gunung ini.
***********
Ita memandang warna yang mulai berpendar di ufuk timur. Lalu disusul semburat merah muda dan oranye, yang menghapus hitam malam satu per satu. Ita menahan napas, matanya membelalak kagum. Di bawahnya, awan bergulung seperti samudra putih, seakan dunia sedang terlipat jauh di bawah kakinya. Dan saat matahari akhirnya muncul bulat sempurna, menyapu wajahnya dengan sinar keemasan, gadis itu merasakan ada air hangat mengambang di matanya. Semua letih semalam, semua dingin yang menusuk tulang, seketika lenyap. Yang tersisa hanya rasa syukur mendalam, bahwa ia diberi kesempatan untuk menyaksikan lahirnya hari di puncak Lawu ini. Dia terduduk di batuan, tidak bisa menahan tangisnya. Terisak disana sambil memeluk lututnya, wajahnya masih menengadah membiarkan sinar emas itu melumat wajahnya. Matanya terpejam, bahunya berguncang.
Dika memandang Ruwen dan memberi isyarat dengan dagunya untuk mendekati Ita. Keduanya memang sengaja berdiri agak kebelakang, ingin melihat ekspresi Ita yang pertama kali mendaki gunung.
“Hey.., kenapa Ta, kamu seterharu ini sampai ke puncak?” Ruwen bertanya lembut, merangkul bahu kawannya itu. Ita berusaha yersenyum dan menghapus air mata. Kepalanya bersandar di lengan Ruwen. Mereka duduk bersila berdampingan rapat.
“Ternyata aku juga bisa kan, Wen...” Kata Ita setelah isaknya reda.
“Yeah...kamu keren, Ta...” Ruwen meenggoyang-goyangkan bahu Ita.
“Perjuangan yang hebat, Ta!” Tambah Dika yang duduk di sebelah Ruwen tapi berjarak.
“Aku juga bisa seperti Weni yang jago mendaki gunung!” Ita menegakkan tubuhnya, sudah tidak bersandar lagi di lengan Ruwen.
“Maksudnya.., Ta, kamu ikut kami naik gunung cuma buat kalimat yang baru kamu ucapkan itu?” Ruwen terkejut dan menatap wajah Ita yang masih menatap kedepan, tapi kali ini tatapannya seperti menerawang jauh.
Ruwen menghela napas, menoleh ke kejauhan mencari sosok Igo. Cowok itu sedang mengobrol dengan teman-teman lain. Dia tahu memang Ita menaruh hati pada Igo. Hanya saja cowok itu sudah milik Weni.
“Lantas kamu mau apa setelah kamu bisa mendaki gunung dan sampai kepuncak? Mau bilang ke dia, bahwa kamu juga mampu? Kenapa begitu, Ta?” Tanya Ruwen.
Dika beringsut menjauh, memberikan ruang untuk keduanya berbicara.
“Kalau dari awal tujuan kamu seperti ini, aku tak akan mengijinkan kamu ikut!” Ujar Ruwen, memandang tajam ke arah Ita.
“Kenapa?” Air mata gadis itu mengambang lagi. Suaranya pelan, hampir tak terdengar.
“Harusnya itu pertanyaan buat kamu. Ta.”
“Aku tidak mau, sahabatku yang cantik ini, menjadi orang lain.” Kata Ruwen lagi.
“Dia itu sudah milik orang lain, dan kamu tidak perlu berusaha menjadi orang yang di cintai cowok itu. Aku tahu sakit itu, tapi itulah kenyataan, kamu harus bisa menerimanya. Mengikhlaskannya itu lebih baik, Ta.”
Ita memejam, memikirkan kalimat Ruwen yang sederhana itu, tapi ternyata membuatnya menyadari bahwa itu benar adanya.
Dalam hatinya, dia akan melakukan apa yang Ruwen katakan. Walaupun mungkin berat. Tapi memang harus di lakukannya.
Matahari terus bergerak ke atas...Angin di area puncak ini mulai berhembus sedikit kencang.
SELESAI