Cerpen
Disukai
0
Dilihat
101
KEPADA SENJA
Self Improvement

Selamat malam, Nja...

Ini malam ke dua, hari pendakianku, pada ketinggian...

Jaya menghentikan aktifitasnya sejenak untuk melihat jam tangannya dan memencet ke mode altimeter, lantas menulis kembali...

pada ketinggian 2004 meter dari permukaan laut...suhu bulan agustus di Rinjani ini dingin sekali Nja, 10 derajat celcius, beda dengan suhu di kota kita yang hangat. 

Air danau Segara Anak ini indah banget, Nja..., kemilau di timpa sinar bulan, romantis banget suasananya. Jaya berhenti menulis, memandang sebentar keluar tenda, terdengar juga keriuhan para penghuni tenda-tenda sebelah yang sedang bergembira mengitari api unggun, menyanyi sambil bermain harmonika dan ukulele. berkemah di pinggiran danau Segara Anak ini memang menakjubkan.

Siang tadi sempat ikut memancing di danau ini.., lantas malamnya kami berpesta ikan bakar versi anak gunung. Yah di bakar alakadarnya, yang penting bisa buat teman nasi makan malam.

Dia lanjut menulis.

Besok rencana aku turun. Dari Lombok langsung ke Bali, mungkin mampir ke gunung Agung, tapi gak naik sepertinya, bertenda aja di kaki gunungnya, di titik start point pendakian di timur Besakih, di Mulut Junggul.

  Senja.., sengaja aku menulis surat ini dari jauh, seperti cerita-cerita lainnya yang selalu aku kirim ke kamu lewat obrolan whatsapp yang aku tulis dari medan petualangan untukmu, karena sebagai sahabat terbaikku, aku selalu ingin kamu tau secepat mungkin kabarku di belantara petualangan. Tapi kali ini aku sengaja menulis surat untukmu dari medan petualangan khusus untuk kamu, maksudku untukmu pribadi, tidak untuk kamu ceritakan ke teman-temanmu seperti chattingan kita sebelumnya, karena ini bukan cerita petualanganku yang selalu aku kirim ke kamu setiap aku bertualang kemanapun.

  Nja, sebetulnya sudah lama sekali aku memendam rasa ini ke kamu, perasaan seorang lelaki pada wanita, perasaan yang aku sendiri bingung harus bagaimana menyikapinya. Aku merasa seperti mengkhianati persahabatan kita bila aku jujur padamu.

Iya, aku bingung.., bahkan mungkin takut untuk berkata jujur ke kamu. Lucu ya? Bagaimana tidak lucu bahkan mungkin aneh bagimu? Aku seorang petualang yang pemberani, yang tidak pernah merasa takut, tepatnya bisa mengabaikan rasa takut menghadapi medan petualangan yang kadang bisa merenggut nyawa, medan petualangan yang membutuhkan skill yang tidak main-main untuk bisa melewatinya. Iya, aku sudah terbiasa bercumbu dengan ganasnya badai gunung, menghadapi tingginya tebing yang menjulang kokoh untuk di panjat yang memang butuh tenaga dan keahlian yg terlatih, tidak gentar menelusuri gua yang kadang sempit dan pengab dengan pandangan yang terbatas serta udara yang kadang terbatas juga. Aku tidak pernah punya rasa takut menghadapi itu semua, tepatnya bisa mengabaikan ketakutan yang timbul karena tempaan ilmu yang aku dapat dari pendidikan dasar petualangan yang pernah aku jalani dan rasakan. Tapi entahlah, setiap aku berhadapan dengan mu, aku selalu tidak bisa mengontrol diriku...

  "Kamu kenapa si. Jay..., kaya orang gelisah begitu?" Tanyamu waktu kita duduk minum jus di kedainya mas Kunto seniorku. 

  Nah, itu contohnya, aku begitu tidak percaya diri untuk berhadapan denganmu, ngobrol dengan bertatap muka pada momen-momen tertentu, itu sungguh seperti ujian berat, bahkan lebih berat daripada ketika dulu aku ikut Pendidikan Dasar pada sebuah organisasi Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung ternama di negri ini.

  Jaya berhenti menulis sebentar untuk berfikir lagi, dia mematikan headlamp nya untuk menghemat baterai. Suara-suara para pendaki yang sedari tadi asik bergembira sudah tidak terdengar lagi, mungkin mereka sudah kelelahan dan sudah bergelung dalam sleeping bag di tenda masing-masing. Dia benar-benar sendirian kini. Kebingungan untuk menulis suratnya lagi. Berpikir keras untuk mengungkapkan perasaan hatinya tetapi yang tidak berkesan gombal. 

Dia mengambil bungkusan rokok di tas kecilnya, mencomot sebatang sekaligus menyelipkan ke bibirnya, sesaat, ting..! cress...! geretannya menyala, di bakarnya ujung rokok itu, menghisap asap tembakau dengan nikmat dan menghembuskannya, seperti membuang rasa gelisah yang tiba-tiba menyergapnya. Dia keluar dari tendanya. Berjalan kian kemari sambil menghisap dan melepaskan asap rokok itu dengan hati gelisah. Lantas kembali lagi menghampiri tendanya serta mengambil kertas suratnya tadi, di nyalakannya headlamp di kepala yang terbungkus bandana merah itu, di bacanya lagi surat yang dia tulis untuk Senja. Tiba-tiba keraguan menghantamnya, katakutan kembali memukuli hatinya.

  "Benarkah ini yang aku inginkan? Apa jadinya nanti kalau Senja tidak punya rasa yang sama sepertiku? Sangat memalukan sekali bila itu terjadi..., mungkin dia akan bercerita pada kawan-kawannya tentang aku yang ke ge er an mencintainya, padahal dia hanya menganggap teman baik, menganggapku sahabat, pasti dia akan kecewa karena aku sudah menodai persahabatan selama ini..." Pertanyaan-pertanyaan itu tiba tiba-tiba muncul dan membuatnya ketakutan.

Headlamp itu masih menyala, matanya pun masih memandangi barisan barisan kalimat itu, tetapi tidak fokus pada apa yang di lihatnya. seperti memandang kosong.

Jaya seperti di kejutkan oleh sesuatu, dia tergeragap sebentar. seperti terlempar kembali ke alam sadarnya. 

Suasana hening sekali.

hanya napas dan hembusan asap rokok yang sudah di sulutnya lagi, yang terdengar. Keraguan dan ketakutan masih memukuli jiwanya. 

Lantas dengan gerakan yang tiba-tiba, di ambilnya surat yang sudah tergeletak di lantai dalam tendanya. agak gemetar di bacanya lagi surat yang belum terselesaikan itu. Kemudian beranjak dengan pelan dan sepertinya berat ketika dia melangkah menuju api unggun di tengah lingkaran tenda-tenda. Jaya berjongkok di depan api unggun yang apinya sudah mulai mengecil. Melipat surat itu menjadi dua dan mendekatkan ujung lipatan itu pada api yg masih menyala. Pelan-pelan mulai terbakar kertas itu, dimulai dari ujung hingga membakar ke tengah. Ketika api sudah mulai menjalar ke bagian kertas yang di jepit oleh jarinya dan mulai terasa panas, dia melepaskan kertas tersebut kedalam api unggun. Di pandanginya kertas yang sudah menjadi abu tersebut. harapan yang tadi membludak tak terbendung, kini hilang bersama terbakarnya kertas tadi.

Hangus, hilang!

  Jaya berdiri dengan dengan hati beku. Dia menarik nafas dalam-dalam melalui hidungnya. udara semakin dingin menyergap, suasana sepi dan hening menyelimutinya.

  Kabut mengambang di atas permukaan danau Segara anak. Dingin semakin menggigit. Lelaki itu membenahi jaket parasutnya yang berlapis kain berbahan polar. Dia memutar badan dan berjalan menuju tendanya lagi.

  "Tahukah kamu, Nja..., kalau aku cinta ke kamu?" Jaya menggumam pelan sambil mendongak, seperti berbicara pada langit.

Biarlah, tak apa sekarang aku tidak berani mengungkapkannya.

Atau mungkin aku buat surat seperti itu lagi dalam bentuk cerpen? Siapa tahu Senja membacanya dan mengerti isi hatiku...

Jaya menutup pintu tendanya rapat untuk mengurangi hawa dingin yang menyergap. Masuk kedalam sleeping bag dan menarik resletingnya hingga sebatas leher. Dia memejamkan matanya berusaha tidur.

SELESAI


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)