Cerpen
Disukai
1
Dilihat
796
Romi Dan Juli
Drama
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Romi menguap lebar, tangan kanannya seolah akan menutup mulutnya tapi sudah terlambat, jadi seperti perbuatan yang sia-sia, karena mulut itu sudah tertutup lebih dulu dan tersedak. Seekor nyamuk telah memaksa dia menutup mulut sebelum menguapnya terpuaskan. Memaki-maki sendiri dia, sambil terbatuk-batuk, memaksakan hewan nyasar itu dikeluarkan dari dalam kerongkongannya. 

Karena tak kunjung bisa keluar, akhirnya di telan juga nyamuk itu dengan tegukan air mineral dari botol yang ada di dasbor motornya. Dia tetap masih ngedumel dan memaki pelan.

   “Kenapa Rom?” Tanya seorang kawan yang ada di sebelahnya, duduk sambil bermain ponsel.

   “Nyamuk sialan, bikin nguap jadi gak puas!” Jawabnya meringis. Awan, kawannya itu tergelak.

Lalu ada bunyi notif dari ponsel, Romi tahu itu miliknya. Dia menarik ponsel yang ada di tas kecilnya. Melihat siapa yang mengiriminya text. Sesaat matanya melebar senang. 

   “Hahay…!” Serunya gembira. Dia melihat jam pada ponselnya, pukul 01.45 persis. Seperti beberapa hari sebelumnya, dia selalu mendapat panggilan jemputan offline lewat text di ponselnya di jam-jam seperti sekarang ini.

   “Ada order masuk?” Tanya Awan lagi. Sesama driver ojol.

   “Ini, si cewek yang tempo hari aku ceritain ke kamu itu, kan hampir tiap hari aku jemput dari Saphire KTV…” Romi memakai jaket ojol-nya. Awan membulatkan bibirnya, tanda dia tahu jawaban Romi. Matanya masih tetap pada layar ponsel.

   Adalah sebuah pertemuan yang berlangsung agak seru. Ponsel Romi berdering khas notifikasi sebuah aplikasi ojek online kala itu, di suatu pagi dini hari, seperti jam saat sekarang ini, sebuah order dari tempat karaoke ke sebuah tempat kost yang di ketahui adalah tempat kost para pekerja karaoke yang ada di kota kecil pinggir pantai ini, iya, hampir semua pekerja karaoke di kota ini semua berada di kost tersebut. Letaknya berada di sebuah gang cukup dua mobil kecil, Di kiri kanan seruas jalan gang itu hampir semuanya kost-kost an. Memang ada juga rumah, tapi tidak banyak, justru lebih banyak bangunan kost an.

Dan Romi pun sampai di depan sebuah gedung berlantai dua dengan tulisan besar-besar yang bila terlihat dari jauh pun orang bisa melihat dan membaca bahwa itu adalah tempat untuk bersenang-senang. 

Berbasa-basi sebagai driver pengguna aplikasi. Tanpa banyak bicara, perempuan muda yang memesan jasanya itu pun langsung duduk membonceng setelah memakai helm. Lumayan cakep, postur tubuhnya tinggi dan badannya semampai bagus, rambutnya panjang ikal melebihi bahunya , terurai. Tapi agak sempoyongan, wangi tubuhnya bercampur dengan kelebat bau alkohol dari mulut gadis itu. Romi meringis ketika tercium kedua bau-bauan tersebut.

   “Mas, maaf.., boleh saya memeluk pinggangnya? Saya takut jatuh.” Nada bicara gadis itu agak tidak jelas artikulasinya. Romi tahu perempuan muda ini sedang tidak “sehat” alias mabuk.

   “Oh..eh.., iya, boleh, boleh mbak…” Romi agak gugup.

Gadis itu tak menghiraukan jawaban Romi, karena sebelum dia selesai bicara, gadis tersebut sudah mendekap pinggangnya dan meletakkan kepalanya ke punggungnya.

   “Munduran dikit mas…” Dia menarik dekapannya. Romi memundurkan pantatnya sedikit gugup.

   “Maaf mbak…” Katanya. Gadis itu tidak menjawab. Lebih merapatkan tubuhnya ke tubuh Romi. Tanpa sadar Romi nyengir ketika merasakan sesuatu yang lembut menekan punggungnya.

Belum juga sampai, baru setengah perjalanan gadis tadi meminta untuk menepi secara tiba-tiba, perutnya mual.

   “Saya mau muntah…” Kata gadis itu. Romi buru-buru menepikan motornya, belum juga bener-benar berhenti, Dia sudah tidak bisa menahan mualnya, jebol sudah. Romi kaget dan reflek badannya maju kedepan, tapi terlambat, pundak sebelah kiri dan punggung bagian kirinya tersembur muntahan. Gadis itu sendiri karena tertarik tubuh Romi, dia nyungsep kedepan dan jatuh kesamping kiri.

   “Aduh, maaf mbak…” Romi menyetandarkan motor dan segera menolongnya untuk berdiri. Tubuhnya menggelayut ke tubuh Romi, berusaha menjaga keseimbangan untuk berdiri dengan benar.

   “Maaf mas…saya gak kuat nahan muntahnya.” Gadis tersebut dengan tubuh gontai, memeriksa jaket Romi.

   “Biar mbak, tidak apa-apa…” Ujarnya, dia melepas jaketnya. Agak menjauh dari gadis tersebut lantas mengkibas-kibaskan jaket itu. Melipat asal-asalan lalu meletakkan di bagian bawah motor matiknya. merasa bersalah sekali dan tidak henti-hentinya meminta maaf.

Si cakep berambut ikal itu duduk menggelesot di rumput pinggir jalan, kepalanya menunduk berada di antara dua lututnya. 

   “Masih mual?” Tanya Romi, berjongkok di depannya. Dia hanya memberi isyarat dengan tangannya kalau dia sudah agak baikan. 

Tanpa diminta, Romi memapah perempuan itu berdiri.Agak canggung sikapnya.

   “Let’s go..!” Romi berusaha mencairkan suasana karena sepertinya dia agak takut-takut kalau Romi bakal marah.

   “Maaf ya mass…maaf bangeet…” Ujarnya lagi, suaranya sudah tidak begitu belel, artikulasinya sudah agak jelas terdengar, tidak seperti tadi.

   Mereka sampai di tempat kost gadis itu. Perempuan muda tersebut pelan-pelan turun dan memberi isyarat kalau dia bisa sendiri ketika Romi berusaha membantu.

   “Tunggu bentar mas…” Dia melangkah pelan ke pintu kamar kost-nya, membuka kunci pintu. Romi mengikutinya dan berhenti di depan pintu, agak menjauh.

Tak berapa lama keluar lagi dan memberikan jaket jeans kepada Romi serta uang selembaran warna merah. Sebelum Romi berkata-kata, gadis muda itu bilang “Ini jaket di pakai saja mas, terus jaketnya mas sini biar saya cuci, besok bisa di ambil di sini.” 

Romi terdiam sepersekian detik, “Uang pas saja mbak, ini saya gak punya kembalian.” Dia mengembalikan lembaran seratusan ribu itu.

   “Anbil semua, kan saya gak bilang minta kembalian.” Perempuan itu mulai ada senyum.

   “Wah, terimakasih banget ini, mbak!” Romi nyengir.

   “Ini mas jaketnya.” Dia menyodorkan jaket jeans-nya yang memang size agak besar.

“Terimakasih mbak…” Romi lalu pamit.

Da itu awal mereka pertama bertemu. Romi jadi ojek online hanya untuk mengisi waktu luang dikala dia sedang tidak ada pekerjaan di project. Romi tahu dia bernama Juli, saat mereka bertukar nomor telepon atas permintaan gadis tersebut, “Biar nanti kalau saya butuh ojek, langsung ke mas-nya saja.” Katanya. Lantas hubungan mereka semakin dekat.

**********

   Juli sudah ada di depan pintu keluar bersama beberapa gadis-gadis muda lainnya, kawan-kawan Juli.

Dia sedang bermain ponsel saat Romi berjalan menghampiri. Dia menyapa beberapa kawan Juli yang sudah dikenalnya.

   “Kalian ini keknya berjodoh deh, namanya sama sudah kaya cerita roman yg terkenal itu, Romi dan Juli.” Ada suara ledekan di antara beberapa gadis yang ada disitu.

   “Asal jangan berakhir sama juga dengan cerita itu..!” Yang lain ikut menimpali. Lantas tawa berderai dari semua yang ada di situ. Romi nyengir kuda, Juli menjulurkan lidah, matanya melirik ke atas. 

******

   “Kita ke nasi goreng yang di Katamso dulu ya, laper…” 

Mereka sudah melaju di jalan raya. Udara dingin pagi dini hari menerpa keduanya. Romi membelokkan motornya masuk ke jalan Tengger, ruas jalan yang tidak sampai empat ratus meter itu hanya dua menit dilewati. Keluar dari jalan Tengger, masuk ke jalan Katamso. Langsung berbelok kekiri. Tidak ada satu menit, mereka sudah berhenti di kedai nasi goreng yang tidak pernah tutup ini.

Kawan-kawan Romi sesama ojol ada beberapa disitu. Mereka memang sengaja untuk onbid pada sore sampai pagi. Istilah mereka itu ngalong. Di ambil dari nama hewan kalong, yang beraktivitas pada malam hari untuk mencari makan dan lainnya.

   “Aku beli rokok sebentar ke seberang ya!” Romi menepuk pelan lengan Juli dan beranjak dari kursinya. Juli tidak bersuara, dia hanya mengangguk saja.

Romi berjalan keluar kedai itu dan menyeberang menuju ke arah warung Madura. Letaknya di depan, di seberang kedai nasi goreng tapi agak melebar ke kanan. 

Setelah membayar, Romi berbalik dan memandang ke arah kedai.

Dia terkesiap, seperti ada keributan kecil di kedai itu. Setengah berlari, dia menyeberang dan langsung masuk ke kedai. Langkahnya tertahan saat dia melihat seorang lelaki muda, yang sepertinya seumuran dengan dia sedang mencengkeram lengan Juli dan di kerubuti oleh beberapa kawan-kawan ojol. Pemuda yang memegang tangan Juli juga ada membawa teman, yang berusaha melindungi pemuda yg menggenggam pergelangan tangan Juli.

   “Lepasin Bon!” Suara Juli tidak keras tapi penuh tekanan amarah.

Pemuda itu makin erat mencengkeram lengan Juli. Dia menyeringai pada orang-orang yang mengepungnya.

   “Ada apa Juli?” Romi menyeruak ke kerumunan. 

Juli menggeliat berusaha melepaskan tangannya.

   “Ada apa ini mas, tolong lepaskan tangan Juli, dia kesakitan.” Romi berusaha tersenyum ke pemuda itu.

   “Kamu siapa!?” Hardik pemuda itu.

   “Saya bersama dia tadi kesini.” Nada Romi masih berusaha santai.

   “Oo…, dia pacar baru kamu? Kamu mutusin aku karena ada lelaki ojol ini!” Pemuda itu tersenyum mengejek ke arah Juli dan Romi. 

Situasi jadi memanas. Pemilik kedai menghardik pemuda itu untuk keluar dari kedainya. 

Pemuda tadi memilih pergi bersama ketiga kawannya karena mereka merasa kalah jumlah dengan para pasukan nokturno itu. Apabila terjadi baku hantam, mereka bertiga pasti bonyok duluan.

   Romi menjalankan motornya melaju sedang, hari semakin merangkak ke pagi, pukul 03.00, dinginnya semakin menggigilkan badan di kemarau ini. 

   “Itu tadi namanya Bobon, kami memang pernah dekat, tapi gak lama, dia suka main tangan ke aku.” Juli membuka obrolan. “Itu yang membuat aku pergi dari dia. Tapi dia gak mau putus gitu saja, dia sering tiba-tiba datang ke kost, ke karaoke juga. Mengganggu hidupku. Tapi aku tidak peduli, lama-lama dia berhenti sendiri.” Lanjut Juli. Romi hanya menggumam. 

   “Kayanya rata-rata anak orang kaya begitu ya?” Kata Juli.

   “Enggak laah…” Romi tertawa.

   “Eh, kamu juga anak orang kaya, kan? Anak orang kaya kok jadi ojol?” Juli ikut tertawa. Romi meringis saja.

   “Kamu sendiri kan juga gitu. Bapak kamu kontraktor besar di Malang, Ibu kamu punya bisnis kuliner, tapi malah memilih tinggal di kota kecil ini, kerja jadi pemandu lagu pula!” Balas Romi.

   “Mamaku sudah meninggal ya, yang ada sekarang istri papaku!” Juli memukul helm Romi pelan.

   Mereka makan nasi gorengnya di dalam kamar kost Juli. Maunya makan disana tadi, di kedai Nasgor Bang Taslim, tapi karena ada kejadian itu, akhirnya tidak jadi makan di tempat. 

   “Bungkus saja, kang, dua yak!” Kata Romi tadi.

   “Kita ini berdua sama ya nasibnya.” Tiba tiba Juli nyeletuk, ketika saling diam menikmati makannya

   “Mirip bagaimana?” Romi melipat dan meremas kertas bungkus nasi gorengnya. Cepat sekali dia makan. Nasi Juli masih sisa beberapa suapan lagi.

   “Sama-sama pergi menjauh dari keluarga, sama-sama punya masalah dengan orang tua.” Jawab Juli. “Tapi aku belum mendengar cerita sepenuhnya dari kamu.” Lanjut Juli tersenyum penuh arti. Senyuman yang berkata, “ceritakan sekarang!”

   “Kamu gimana?” Romi meneguk air mineral dari botolnya.

   “Gimana bagaimana? Apa maksudnya?” Juli menautkan alisnya. Romi mesem.

   “Kan aku sudah pernah cerita dulu, aku pergi dari rumah di Malang karena aku tidak setuju ayahku menikah lagi.” Ujar Juli lagi.

   “Kamu gak ngantuk, capek?” Romi membuang bungkusan nasi gorengnya ketempat sampah.

   “Weeh, malah nyelimur sih!” Juli menyelesaikan makannya, suapan terakhir.

   “Kamu pengen di ceritain apa?” 

   “Ayo dong, aku nanggung tidur jam segini…” Juli semakin memaksa. Romi tertawa pelan.

   “Aku bikinkan kopi ya...nanti sambil ngopi mendongengnya, hehe…” Juli beranjak bangun.

   “Air panasnya, air dispenser atau mau yang di rebus aja?” Juli menoleh ke Romi.

   “Rebus, biar nendang, haha…”

   “Hmm…” Jari juli iseng membelai pipi Romi ketika lewat di sampingnya, keluar kamar berjalan ke dapur umum. Dapur yang di pakai untuk penghuni kost ini. Gestur tubuh Romi spontan menikmati belaian lembut tangan gadis itu.

   Sekarang kopi sudah mengepul panas. Romi tersenyum sambil menarik sebatang rokok dari kotaknya. 

   “Thankyouu…” Senyumnya, lalu menyelipkan rokok tersebut dan menyulutnya.

   Romi mulai bercerita.

   “ Adalah remaja lelaki yang bersekolah di sekolah menengah umum. Dia pendiam, cenderung menutup diri, dan dia suka menulis.” Romi membuka ceritanya.

   Dia memang tipe laki-laki yang susah bergaul. Bahkan di kelasnya pun dia tidak hafal semua nama kawan-kawannya. Dia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Mendaki gunung adalah kesukaannya, berkemah di dekat hutan, bermalam sendirian di pantai, lalu kepalanya di penuhi dengan mimpi yang sangat ingin di laksanakannya. Keliling Indonesia!

Juli mengangkat alis dan melebarkan matanya. “Sudah kesampaian?” Tanyanya.

   “Dengerin dong..!” Romi berkata geram. Juli mengangkat tangannya seperti penjahat menyerah pada polisi.

   “Dari kegemarannya membaca dan pergi ke alam bebas, akhirnya dia mulai mengabadikannya dengan tulisan-tulisan. Ada yang dia buat menjadi sebuah naskah pendek, ada juga yang dia buat seperti sebuah catatan perjalanan yang dia kirimkan ke media cetak. Majalah-majalah remaja, ke koran-koran. Uang hasil dari tulisan itu dia kumpulkan untuk sebuah keinginan yang menghantui jiwanya. Menjadi backpacker atau avonturir. Keliling Indonesia adalah obsesinya. Dan itu benar-benar dia wujudkan ketika dia beranjak ke masa kuliah. Pada semester ke empat, dia sudah tidak tahan. Akhirnya dia pun mulai menyandang ranselnya, di mulai dengan perjalanan ke Indonesia Timur. 

   Tapi pada masa-masa dia masih SMU, tidak semulus yang dia bayangkan, dan kendala itu justru datang dari Bapaknya. Bapaknya yang seorang pekerja lepas pada projects oil and gas, power plan, sangat tidak setuju dengan keinginan anaknya yang berniat menjadi penulis, dan pernah di ungkapkan ke dirinya. Sangat di tolak dan tidak bisa menerimanya. 

   “Tugas kamu belajar untuk masa depan, yaitu sekolah, mau kamu beri makan kertas kelak keluargamu…!” Suara Bapaknya menggelegar di ruang tengah kala itu. 

Padahal dia sudah memperlihatkan hasilnya dari menulis. Honorarium yang dia dapat tidak sedikit nominalnya dari beberapa media cetak. 

Pertengkaran tidak jarang terjadi antara Bapak dan anak tentang hidup nanti di masa depan. Bahkan laptop hasil dari menulisnya pernah di banting oleh bapaknya karena ketahuan masih menulis serta jarang masuk kuliah karena sibuk melakukan perjalanan kesana kemari untuk membuat tulisan.

Puncaknya adalah ketika dia sudah bulat untuk meninggalkan bangku kuliah, dan memilih berliften ala-ala backpacker berkeliling Indonesia. Dia tidak bilang pada kedua orang tuanya memang.

Setelah hampir empat bulan dia berkelana, terpaksa dia harus pulang ketika kawan kost-nya bercerita tentang ibunya yang datang ke kost, menanyakan keberadaan dirinya.

   “Aku masih berusaha terus berbohong setiap kali keluargamu telpon ke telepon rumah kost ini, Rom.., tapi kali ini ibu kamu datang! Aku sama Fais tidak bisa berbohong lagi! Sori Rom..” Kata Tio kawan kost dia, ketika dia menelpon dari pelabuhan Lembar, di Lombok Barat. 

   “Aku pulang akhirnya.”

   Romi meneguk kopinya yang mulai dingin, mencabut rokok dari bungkusnya dan sekaligus menyulutnya. Jarinya agak gemetar ketika dia menghisap asap tembakau itu. Sebuah kekecewaan tergambar di wajahnya. Sedangkan Juli memandang wajahnya lekat, mencoba menyelami pikiran Romi.

   “Sampai di rumah, bapakku emosinya mungkin tidak terbendung, aku di hajarnya!”

Juli melebarkan matanya. “Kamu di pukulin bapakmu?” Romi mengangguk. 

   “Entah kenapa, aku merasa tidak terima di perlakukan seperti itu. Aku tidak melawan, hanya menghindar dan ketika ada kesempatan, aku dorong bapakku dan aku lari!” 

   Dan dia memutuskan untuk tidak pulang. Dia tidak tahu, ini salah atau benar keputusannya, tapi yang jelas yang dia rasakan saat itu adalah rasa sakit hati dan kecewa yang sangat. 

   “Aku memutuskan untuk tidak pulang saat itu juga, Jul.., aku balik ke kost-ku di Jogja dan pergi ke kota ini.” 

   “Sampai sekarang?”

   “Sampai sekarang! Dan bertemu kamu, pacaran sama kamu.”

   “Emang kita pacaran?” Juli menahan tawa.

   “Kampret!” Romi meneguk kopinya yang tinggal seperempat gelas.

   “Kalau kamu, sepertinya juga menyimpan misteri!” Romi menatap persis ke mata Juli.

   “Kan sudah pernah aku kasih tahu dulu.., aku pernah cerita kan?” Juli memberi isyarat meminta rokok pada Romi. Lelaki muda itu menyodorkan bungkusan itu.

   “Bener itu kamu bertengkar dengan ayahmu dan kamu di usir dari rumah?”

   “Bukan di usir, aku yang pergi.” Balas Juli.

   “Sebetulnya, istri papaku itu orangnya baik sih, tapi hanya saja aku tidak rela dia menggantikan posisi mamaku yang sudah meninggal. Aku pernah pulang kok, waktu aku dengar dari tanteku, adik mamaku, papaku sedang sakit. Perempuan itu, istri papaku itu merawat papaku dengan sangat sayang. Tapi malah jadi aku semakin tidak menyukainya. Bahkan mungkin aku membencinya.”

   “Kamu ada adik atau kakak, Jul?”

   “Adik, aku gak punya, tapi kakak ada satu, perempuan. Dia ikut suaminya di Surabaya.” 

   “Sama juga dengan kamu, tidak setuju ayah kamu menikah lagi?”

Juli menggeleng, “Entah sih, dia tidak terlalu peduli mungkin, dia sudah berkeluarga soalnya.” Juli mengedikkan pundaknya.

Tiba-tiba ponsel Juli berdering. Sebuah nomor asing, tidak bernama. Berarti memang tidak tersimpan di phonebook ponselnya.

   “Heh, di biarin? Angkat itu!” Kata Romi.

   “Siapa ya, apa Bobon?”

   “Makanya terima, biar tahu siapa yang telpon!’

Juli mengambil ponsel dari meja dan menerima panggilan itu. Suara perempuan yang sedang terisak di seberang sana terdengar. 

   “Hallo..., selamat pagi.” Sapa Juli.

   “Juli.., ini aku, maaf menelepon, jangan langsung di tutup yaa…” Suara di seberang membuatnya ternganga dan matanya membelalak. Dia tidak menjawab, tapi dia mulai merasa di jalari perasaan yang tidak menyenangkan, ada hal buruk yang mungkin terjadi pada keluarganya kah?

 Dia kenal suara itu.

   “Juli, aku mohon kamu pulang ya, sebentar saja tidak apa-apa, yang penting papa kamu tahu kamu ada, pulang ke rumah.” Suara di seberang itu menangis tertahan. 

Juli mendengar jelas. Hatinya bergemuruh. Bibirnya terkatup rapat. 

   “Please ya Juli, aku mohon.., papa kamu sedang sakit, kamu di sebut-sebut terus.” 

   “Iy.., iya…” Juli kaget dengan jawabannya sendiri. Dia menutup telepon sebelum suara di seberang bicara lagi.

   “Apa aku memang ingin pulang?” Batinnya.

Romi tidak berkedip menatap Juli, menerka-nerka ada apa gerangan, lewat gerak tubuh dan mimik wajah Juli. Dia bertanya lewat sorot matanya.

   “Istri papaku.”

   “Oh.., ada apa?”

   “Papaku sakit, dia minta aku pulang.” 

Rasa rindu itu datang perlahan, menjalari perasaan hatinya yang terdalam, menekan dinding-dinding ego yang sudah mengeras, yang kini mulai retak.

   “Iya, kamu harus pulang ke Malang, Juli.” Romi mengelus-elus punggung tangan Juli. 

   “Mungkin ini juga jadi jalan ku yang terbuka ya, untuk aku datang ke Malang.” Romi menggumam. Matanya berbinar.

   “Kamu mau nganterin aku?”

Romi menggeleng. “Bukan begitu maksudku.” 

   “Tapi kamu jangan balik ke sini dulu sebelum aku datang ke Malang ya.” Romi tersenyum simpul penuh arti.

   “Sudah, kamu packing dulu sana, mau berangkat kapan? Pagi ini? Oiya, nanti sore aku juga berangkat ke Jakarta, dapat panggilan interview untuk project di Balikpapan.

******

   Juli meletakkan segelas kopi tanpa gula di meja dekat Romi duduk. Suaminya itu baru tiba dari tempat kerjanya di ladang minyak dan gas Attaka di lepas pantai, dua belas mil jaraknya dari pantai Kalimantan Timur. 

   “Itu dia, ayah sudah dataang…!” Seorang laki-laki usia lima puluh tahun lebih, muncul dari pintu depan bersama perempuan yang juga tidak jauh usianya dengan laki-laki itu, Papa dan Mama tiri Juli. Romi tertawa melihat anaknya yang ada di gendongan Papanya Juli, dia mendekat dan menyalami keduanya. Rupanya mereka baru pulang jalan-jalan pagi.

   “Lo kalau besanku kapan datangnya, Jul? Katanya bulan ini mau datang ke Malang?” Papa Juli menyerahkan cucunya pada Romi.

   “Bapak sama Ibu? Dua hari lagi katanya, ya kan Rom?”  

   “Kamu itu mbek suamimu kok Ram Rom…mbok pakai mas, atau bang, ngono loo...” 

   Semua tertawa


SELESAI


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)