Cerpen
Disukai
0
Dilihat
504
KejutanNya Selalu Ada
Religi

Romi menepikan motornya di depan warung yang sudah tutup, ini pukul 1.35 dini hari. Udara kemarau pagi dingin menggigit, terasa menembus ke badan. Lelaki muda itu membetulkan resleting jaket ojol-nya. Baru saja dia menyelesaikan order pesanan makanan di nasi goreng dekat gedung PLN jalan Katamso. Biasanya selalu berdua dia beristirahat di sini dengan Awan, kawannya sesama driver ojol. Tapi kali ini Awan tidak ada. Kawannya itu sedang pulang kampung ke Malang karena saudaranya hajatan.

Sekarang dia sedang termenung di bangku warung. Di kepalanya terasa seperti ada lalulintas kota besar yang macet dan semrawut. 

Kakak perempuan satu-satunya sedang berada di rumah sakit. Dan sudah di nyatakan sembuh serta bisa pulang dari rumah sakit. Tapi tidak bisa pulang begitu saja karena administrasi belum di selesaikan. Kakaknya hanya punya sisa di rekening tabungan tidak lebih dari satu juta limaratus ribu rupiah. 

   “Mbak tidak usah berpikir soal biaya, nanti aku usahakan.” Romi mengelus lengan kakak perempuannya. Dua hari kedepan adalah hari kakaknya keluar dari rumah sakit. Siang tadi dia menanyakan ke bagian administrasi. Dan total biaya yang harus di bayar tadi lumayan banyak juga.

   Romi menghitung hasil ojol sampai saat ini ketika mulai dari pagi. “Tiga ratus saja gak ada, ya Allah...” Dia menggumam. Masih kurang banyak untuk mendapatkan jumlah yang harus di bayarkan. Di rekeningnya hanya ada tujuh ratus ribu rupiah.

   “Kamu ke toko gih, bilang pada Ci Mey untuk pinjam uang. Nanti bayarnya di potong dari gajiku berapa kali setiap bulan.!” Tadi kakaknya sempat memberi solusi untuk meminjam uang ke tempat kakaknya bekerja sebagai kasir sebuah toko. Tapi Romi tidak mau, bahkan ketika kakaknya hendak menelepon majikannya yang pemilik toko itu, dia mencegahnya. 

   “Lalu kita mau membayar bagaimana, Rom?” 

   “Aku bisa kok mbak, kan nanti di perbolehkan pulang dua hari lagi, insya Allah, aku bisa ngumpulin dari onbid-ku sampai waktunya mbak Rima pulang besok...” Romi tersenyum menepuk punggung tangan kakaknya sebelum dia pergi lagi dari rumah sakit. Di dekat pintu, di sebuah kursi plastik seorang remaja SMP sedang sibuk membaca. Dia menoel pinggangnya. Remaja SMP itu terlonjak geli dan tertawa.

   “Jangan kemana-mana ya, jagain mama kamu. Om mau ngojek lagi!” Kata Romi.

   Dia menguap kesekian kalinya, rasa lelah begitu terasa. Lunglai sekali tubuhnya. Dia keluar dari selepas subuh tadi sampai dengan sekarang. Kelopak matanya terasa berat. 

“Aku memang harus pulang nih.” Batinnya. Matanya melirik jam pada ponsel itu. “Sudah hampir jam dua.” Dia menggumam.

******

   “Om, bangun.., sudah adzan subuh!” Gadis remaja itu menepuk pundak Romi, membangunkannya. 

   “Jam berapa ini, Ratih?” Romi menggeliat, badannya terasa pegal dan kaku. Dia melepas jaket ojolnya. Lalu bangkit mematikan kipas angin besar yang berada di langit-langit ruangan. 

   “Sekarang sudah hampir jam lima, Om.” Keponakannya itu menggelar sajadahnya untuk sholat di ruangan itu, ruang tengah yang tidak terlalu besar. Ada kursi panjang yang besar dan empuk, sebuah sofa tua yang masih bagus dan terawat. Di depannya ada sebuah televisi lumayan besar yang menempel pada braket yang terpasang di dinding berwarna abu terang. Sebuah foto besar berada dalam pigura di dinding sisi lain, potret kedua orang tuanya yang sudah tidak ada. Mereka meninggal ketika sedang ada wabah penyakit yang mendunia lima tahun yang lalu. Meninggalkan dua anak mereka, Romi dan kakak perempuannya, Rima. Dan tidak berapa lama, sekitar tiga bulan kemudian suami kakak perempuannya menyusul. Mas Budi, seorang lelaki pekerja keras, sayang pada keluarga, tidak suka neko-neko. Dia bekerja pada perusahaan contractor dan supplier. Sering di tugaskan ke proyek-proyek minyak dan gas, ataupun power plan ke seluruh wilayah Indonesia. Sama dengan mertuanya. Ayah istrinya, yang juga bekerja di berbagai proyek di Indonesia bahkan keluar negri, sebagai praktisi health safety environment. Bedanya dia pekerja tetap pada perusahaannya, sedangkan ayah istrinya, pekerja lepas. Dan Romi juga sama dengan almarhum ayahnya. Freelancer di proyek-proyek sebagai praktisi health safety environment. Tapi ketika sedang kosong, tidak ada proyek, dia mengisi waktunya menjadi ojol.

******

      Romi menyelesaikan doanya selepas sholat. Hatinya masih gelisah. 

Ini hari waktunya kakaknya untuk pulang, keluar dari rumah sakit. Uangnya masih belum cukup. Masih kurang satu juta lebih. Dan sekarang sudah lepas Dhuhur. 

Jam tiga sore nanti kakaknya harus keluar.

   Allah, apa Engkau memang tidak mau menolongku? Batinnya. Aku sudah berusaha sebisaku, tapi kenapa tidak Engkau mudahkan usahaku. Harus seperti apa doa dan usahaku agar kakakku bisa pulang hari ini? 

Romi bersandar pada tembok teras masjid. Sedih dan bingung, sekaligus marah dan kecewa, tidak tahu pada siapa.

   “Maaf mas.., permisi.” Seorang bapak melewatinya, sebentar dia berhenti di dekat kotak infak, merogoh saku celananya dan memasukkan uang kedalam kotak itu. Tiba-tiba pikiran gila mencengkeram otaknya. Dadanya berdebar-debar kencang. Hatinya bergemuruh sambil memandang punggung bapak tadi. Dia menoleh ke dalam masjid. Sudah kosong, sudah tidak ada orang di dalam ruangan masjid. Dia bangkit memakai sepatunya dan berjalan di lingkungan masjid komplek perumahan yang memang sepi. Matanya nyalang menyelidik kesana kemari.

   Romi menenangkan hatinya, yang sudah tertutup rencana buruk. Seperti ada dua sisi suara yang saling berebut memberinya tekanan. Waktu sudah merangkak semakin sore, terbayang Rima yang sedang menunggunya di rumah sakit.

Dia duduk tak jauh dari kotak infak itu, memandangnya lekat dan meneliti apakah tertanam pada meja penyangganya atau hanya di letakkan begitu saja. Ternyata hanya tergeletak saja di meja kecil tersebut. Kotak sebesar dus mie instan itu bila di letakkan di depan, di bawah dekat kaki, pada motor matiknya pasti bisa dan aman.

   “Ah, persetan!” Batinnya putus asa.

Dia melepas jaket ojolnya serta berjalan tergesa mendekati kotak itu.

   Dering ponselnya seperti sebuah petasan yang membuatnya terperanjat. Jaketnya sudah hampir menutup dan membungkus kotak itu. Di lipatnya lagi lalu mengambil ponselnya. 

Ada nama Farid terbaca di layar ponsel itu. Farid? Ada apa menelepon? Dia ingat kalau Farid adalah kawan satu project kala itu di Jawa Timur dulu, kawan satu kamar di mess dulu. Delapan tahun yang lalu.

   Gambar gagang telepon itu di gesernya ke atas dan mengucap salam. Suara di seberang terdengar gembira.

   “Waalaikumsalam..., bro Rom, alhamdulillah, sehat kawan?” 

   “Sehat bro, alhamdulillah.., sedang dimana nih?

   “Alhamdulillah..., saya di Kalimantan ini. Bro kalau sedang off, aku mau nawarin slot buat supervisor HSE ini. Bisa gitu?” Kentara sekali logat Sundanya Farid.

   “Alhamdulillah..., boleh dong, mau banget saya!” Romi berseru gembira.

   “Kalau gitu, kirim CV nya dulu ya, sekarang. Engke berangkatnya saya kabarin lagi, ga sampai seminggu lah, berangkat. Sama ini nih, nomor rekening bank kirim ya!” 

   “Noreknya buat apa? Kirim uang transport?”

   “Bukaan...! Maneh teh lupa? Waktu di Bojonegoro dulu kan saya pernah pinjem uang dua juta buat ongkos pulang mendadak, waktu bapak saya meninggal.” Farid tertawa.

   “Ohh...iya, hehehe..” Romi merasa seperti di siram air badannya, dingin tapi segar. Dia menelan ludah agak susah. Napasnya tidak beraturan.

   “Halo.., Rom.., halloo...” Suara di seberang memanggil-manggil karena tidak ada respon suara.

   “Iya Rid, aku dengar kok...terimakasih yaa! Norek aku kirim langsung nih.” 

   Sesudah berbasa-basi dan bertukar cerita, mereka menyelesaikan obrolannya.

   Romi benar-benar gembira, air mengambang di kedua matanya, dia memandang kotak infak itu, lalu mengusap matanya. 

   “Maafkan saya ya Allah...” air matanya masih tidak terbendung, berkali-kali di usapnya. Jaket ojolnya ia lipat dan disimpan dalam bagasi motor.

Ponselnya berdering lagi, panggilan dari keponakannya. Menanyakan kapan Mamanya bisa di ajak pulang.

   “Iya, kita ajak pulang mama kamu sekarang yaa...” 

SELESAI


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)