Flash
Disukai
3
Dilihat
10,175
Ide-Ide Pak Edi
Drama

Pak Edi selalu punya banyak ide. Banyak orang telah sukses karena ide-idenya. Namun, banyak orang berusaha menghindar bila bertemu dengannya. 

Usianya sekira 60 tahun. Secara resmi, seperti yang tertera di KTP, pekerjaan Pak Edi adalah petani. Tapi sawahnya hanya sepetak, warisan orangtua. Sawah itu ia sewakan ke orang lain, dengan harga sewa tak seberapa. 

Pak Edi lebih senang berkelana bersama ide-idenya. Sesekali ia mendapatkan uang, yang konon, pemberian orang yang telah sukses melaksanakan ide darinya. 

Dua anak lelakinya sudah menikah dan merantau ke luar daerah. Setiap bulan anak-anaknya mengirim uang ke kampung, walau tak seberapa banyak. Isterinya buruh cuci pakaian. Pak Edi merasa isteri dan anak-anaknya sudah mandiri. Pak Edi punya banyak waktu luang untuk memasarkan ide-idenya.

***

Suatu hari Pak Edi bertemu Pak Sarminto, kawan masa kecil. Pak Sarminto bercerita tentang anak bungsunya yang baru lulus SMA yang ingin buka usaha, tetapi usaha apa? Gayung bersambut. 

“Siapa nama anakmu?” tanya Pak Edi.

“Sutirto.”

“Sutirto?” sahut Pak Edi dengan kening berkerut. “Tirto berarti air. Hmm, kukira anakmu lebih cocok buka usaha yang berhubungan dengan air. Kamu tahu, sekarang ini banyak orang memiliki motor, tapi mereka tak punya waktu atau malas mencuci motor. Kamu suruh anakmu buka usaha tempat cuci motor. Itu bisnis yang bagus.”

Pak Sarminto mengangguk-angguk.

“Kebetulan saya punya lahan di tepi jalan. Tidak begitu luas, tapi saya kira cukup untuk tempat cuci motor,” kata Pak Sarminto.

“Suruhlah anakmu secepatnya buka usaha itu.”

“Ya, Pak. Terimakasih atas ide Pak Edi,” Pak Sarminto merogoh saku celana, lalu menjabat tangan Pak Edi.

Pak Edi tersenyum karena mendapat uang limapuluh ribu dari idenya.

***

Pak Edi bangga. Lagi, salah satu idenya telah diwujudkan orang lain. Pak Edi mendapat kabar dari Pak Sarminto, bila Sutirto telah membuka usaha tempat cuci motor. Tidak terlalu luas, tapi cukup untuk mencuci dua motor sekaligus. Sutirto bekerja dibantu seorang temannya. Baru tiga bulan buka, pelanggannya sudah banyak. 

Sesekali, Pak Sarminto berkunjung ke rumah Pak Edi membawa oleh-oleh dan amplop. Pak Edi memberikan oleh-oleh dan amplop itu pada isterinya.

“Kamu tahu, zaman sekarang bekerja tak harus dengan otot. Orang yang banyak ide sepertiku ini sangat dibutuhkan,” kata Pak Edi.

Isterinya diam. Kalau diladeni, Pak Edi bisa semalaman menggelontorkan ide-idenya. Isterinya masuk kamar. Tidur.

Hari-hari berikutnya, Pak Edi sering mampir ke tempat cuci motor itu, menemui Pak Sarminto. Teman lamanya itu membuka warung kopi di dekat tempat cuci motor. Seperti biasa, Pak Edi mengeluarkan ide-idenya, kadang juga meminta sesuatu.

“Kamu ada seratus? Aku membutuhkannya. Aku kembalikan seminggu lagi.”

Sebagai orang yang tahu balas budi, Pak Sarminto memenuhi permintaan itu. “Ambil saja, Pak. Tak perlu dikembalikan.”

“Kamu memang teman yang baik, Minto.”

Di hari yang lain, Pak Edi datang lagi. Setelah seratus ribu, lalu dua ratus ribu, dan seterusnya.

“Kamu ada satu juta? Aku membutuhkannya. Aku kembalikan dalam satu bulan.”

“Banyak sekali, Pak?”

“Anggaplah sebagai royalti. Kamu tahu, harga ide sangat mahal?”

“Ya, Pak. Tapi saya harus membicarakannya dulu dengan Tirto.”

Pak Sarminto menemui Sutirto. Mereka tampak serius bicara. Pak Edi melihatnya dari pintu warung. Beberapa saat kemudian, Pak Sarminto kembali ke warung.

“Ini, Pak. Kebetulan Tirto punya satu juta. Tapi janji ya, Pak, satu bulan harus kembali.”

“Kamu memang teman yang baik, Minto. Satu bulan lagi, aku kemari,” Pak Edi tersenyum gembira.

Satu bulan kemudian, Pak Edi tidak datang. Pak Sarminto menduga, mungkin Pak Edi sedang sibuk. Dua bulan, Pak Edi belum datang juga. Bulan ketiga, Pak Edi muncul. Tapi warung Pak Sarminto tutup.

Sutirto menemui Pak Edi. Anak muda bertubuh tegap itu mengajak bicara Pak Edi. Wajahnya tampak seperti memendam marah.

“Ke mana bapakmu? Aku perlu sesuatu dengannya,” tanya Pak Edi.

“Bapak saya sakit,” sahut Sutirto.

“Sakit?”

“Bapak saya pinjam satu juta pada saya, untuk diberikan pada njenengan. Katanya, njenengan janji mau mengembalikan dalam satu bulan. Tapi nyatanya? Bapak saya merasa bersalah dan terus memikirkannya hingga sakit.”

Pak Edi terdiam.

“Sekarang saya minta, njenengan jangan lagi menemui bapak saya. Jangan ganggu kami lagi. Tentang utang njenengan, tak perlu dipikir lagi. Anggaplah sebagai balas jasa kami atas ide njenengan. Paham?”

Pak Edi tertunduk. Tak berani menatap Sutirto yang menatapnya tajam.

“Maaf,” ucap Pak Edi lirih.

“Ingat. Jangan ganggu kami lagi. Atau njenengan akan saya laporkan ke polisi!”

***

Pak Edi selalu punya banyak ide dan selalu punya ide untuk menyalurkan ide-idenya. Suatu sore ia melihat sekerumunan anak sedang bermain kelereng. Ia menepuk tangan. Anak-anak menoleh.

“Kemarilah!” Pak Edi melambaikan tangan.

Anak-anak mendekat.

“Kalian mau mendengarkan ide-ideku?” tanya Pak Edi.

Anak-anak itu saling bersitatap, lalu menggeleng.

“Kabuuurr!” seorang anak berseru.

Anak-anak itu berlarian dan tertawa meninggalkan Pak Edi. Lelaki tua itu tertegun dan tiba-tiba merasa sangat kesepian. 

***SELESAI***

*Njenengan: (Jawa: anda)

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)