Cerpen
Disukai
1
Dilihat
5,321
Hiraeth
Slice of Life

Langit sudah petang. Aku harus pulang. Iya, pulang. Melangkah riang menuju tempat sinar bahagia yang disebut rumah. Tidak sabar untuk menghempas beban lelah seharian. Tidak sabar mencium bau lezat masakan Ibu, menyaksikan Bapak menata alat makan di meja makan, atau bahkan mendengarkan rengekan lapar Adik menunggu makanan cepat matang.

Tidak, tidak. Itu dulu. Sebelum langit petang menjadi suram. Sebelum kejadian itu membuat sepi malam-malam yang panjang. Sampai aku memutuskan aku tidak suka pulang. Aku lebih suka berkelana tanpa tujuan dibanding rumah yang menjanjikan harapan. Sampai di sinilah aku, warung nasi goreng di tikungan jalan dekat pasar.

"Mas, nasi gorengnya satu porsi pakai telur ceplok."

"Saya juga pesan satu porsi ya Mas, pedas, pakai telur dadar. Oh, iya, yang tadi pesan sebelum saya nasi gorengnya enggak pedas ya Mas." Suara yang begitu familier terasa halus terdengar. Suara yang sudah lama tak aku dengar lagi.

Seseorang muncul sambil menarik kursi mendekat ke arahku. Tersenyum hangat. Ah, senyumnya masih sama ternyata. "Sudah lama, ya? Kamu apa kabar?"

Kuamati dia terlihat gugup, sorot matanya menandakan kebingungan. "Aku tahu, kalau 'apa kabar' terlalu klise. Kalau sekarang aku bilang 'everything will be okay' kayaknya percuma. Kalau aku bilang 'I feel you' itu bodoh banget, tahu apa aku tentang kamu, karena sebetulnya yang paling paham kamu ya diri kamu sendiri. Ini kebetulan banget ya? Maksudku bukan pertemuannya yang membingungkan, tapi memang waktunya datang dari ketidakterdugaan."

Aku hanya membalas, "Baik."

"Aku cuma mau tahu gimana kabarmu, itu saja. Kalau kamu berpikir pertemuan ini sebagai beban, tolong jangan dipikirkan ya, Na."

"Aku baik. Aku berusaha tetap baik, Ben."

"Syukur deh. Aku baik juga."

"Kayaknya kamu deh yang punya pikiran pertemuan ini sebagai beban," ujarku, menatap sinis dia yang merasa tidak nyaman.

"Gimana ya Na. Soalnya bikin hari-hariku ter-distract mulu."

"Siapa?"

"Kamu."

Dia mengambil sesuatu dari saku kemejanya. Oh, rokok? Tapi, sejak kapan? Bentara yang aku kenal dulu, bahkan tak sengaja menghirup asap rokok saja ia akan batuk-batuk. Ingin sekali rasanya aku bertanya alasannya. Tapi, seseorang bisa berubah 'kan?

"Na," panggil dia.

"Iya?"

"Segitu bencinya ya kamu ke aku?" Dia menghisap rokok, membuang asapnya ke samping agar tidak mengenaiku.

"Kok tiba-tiba?"

"Dulu kamu kalau beli nasi goreng pakai telur dadar, kenapa sekarang jadi suka telur ceplok?"

Dasar, bodoh.

"Ya karena aku suka."

"Masa?"

"Dasar enggak percayaan."

"Bukan aku enggak percaya, aku cuma ragu aja."

Sebetulnya aku juga ingin bertanya banyak hal padanya. Sejak kapan ia merokok? Jaket yang ia gunakan pun warna biru, jelas sekali itu warna yang paling ia tidak suka. Lalu kini ia memiliki rambut gondrong, padahal dulu setiap minggu ada saja pertanyaan seperti, "Na, rambutku sudah mulai gondrong ya? Na, ini aku harus potong rambut kapan ya? Na, kamu suka enggak kalau punya pacar rambutnya gondrong? Na, ini rambutku masih rapi 'kan ya? Na, nanti antar aku potong rambut ya?"

"Sesuatu enggak akan pernah jadi ragu kalau kamu memang membuatnya menjadi ragu, Ben."

"Iya, iya, aku baru ketemu kamu sebentar. Maaf, kalau aku membuat perasaanmu enggak nyaman."

Aku sedikit cemberut kesal. Untung saja nasi goreng sudah disajikan. Jadi, aku bisa menghiraukannya dan memilih fokus makan. Sebetulnya warung nasi goreng ini merupakan tempat makan favorit kami dulu. Di dekat sini juga ada pasar malam kecil-kecilan yang ada setiap malam Selasa saja. Dulu dia sering membawaku ke sana, seperti remaja yang sedang hangat-hangatnya dibubung asmara.

Ah, bertemu dengannya kembali seperti bertemu orang asing yang sudah pernah membaca buku rahasia milikku sendiri. Tanpa diminta, Ben langsung membuka topik obrolan. Dulu saat bersamanya, dia tidak akan membiarkanku dalam kesunyian. Apapun yang bisa dia ceritakan, bahkan itu merupakan hal kecil sekalipun, tidak akan dia lewatkan untuk menceritakannya padaku.

"Tere Liye merilis novel baru, judulnya Hello. Kamu sudah baca?"

Dia masih sama. Masih tahu kesukaanku. "Belum, tapi aku sudah lihat beberapa review-nya. Kayaknya seru."

Ben mengeluarkan sebuah buku dari tas ranselnya. Oh, astaga. Dia punya.

"Ini hanya boleh dipinjam, enggak boleh pindah kepemilikan."

Aku mengerti maksudnya. Jika dipinjam, berarti harus dikembalikan. Kalau ingin mengembalikan berarti perlu pertemuan. Ben menantikan pertemuan selanjutnya. Iya, itu keinginnnya. "Enggak usah repot-repot, aku mau beli juga di waktu dekat ini."

"Yes, asyik!"

"Asyik apanya?"

"Aku punya novelnya, kamu pun akan punya. Jadi, kita sama-sama punya. Asyik!"

Dia memang aneh.

"Oh, iya, Bapak sama Ibu apa kabar? Adik sekarang pasti udah SMA ya? Sekolah di mana sekarang?"

Nasi goreng lezat yang kukunyah mendadak hambar.

Aku berpikir sejenak, menepis sedikit demi sedikit sesak yang mulai datang. "Kamu pernah dengar berita kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 rute Jakarta-Pontianak pada Januari 2021 lalu?"

Kuamati air mukanya berubah, seolah menahan napas menungguku berbicara kembali. "Ketiganya korban kecelakaan itu."

"Kamu juga harus tahu, kabar buruk itu datang dua hari setelah kamu memutuskan hubungan. Hubungan yang aku pertahankan empat tahun lamanya. Perkara sesederhana cintanya sudah hilang. Akhir yang sebenarnya bisa diperbaiki tapi justru kamu memilih pergi. Dua tahun tanpa kabar, membiarkanku tanpa tempat pulang. Sendirian. Kamu jahat, Ben." Di saat seperti ini, dialognya hanya bisa kusampaikan dalam hati. Menyebalkan.

Dia mendekapku erat. Terdengar suara giginya bergemeletuk. Tangannya bergetar mengusap puncak rambutku. Aku diam. Rasanya sudah terbiasa. Orang akan merasa iba dan sedih karena keadaanku sekarang. Aku takut. Aku takut semua hal yang sudah kami hentikan, akan kembali dimulai. Aku takut semua hal yang sudah dia patahkan, akan tumbuh dari puing-puing retakan. Aku takut sesuatu yang hilang darinya datang dengan pengertian. Aku takut terbawa perjalanan waktu–yang mungkin saja dia punya Time-Turner seperti di film Harry Potter–untuk mencuri setiap kenangan-kenangan.

Aku harus bisa lepas darinya. Iya, aku harus mencegah ketakutan itu. "Aku enggak apa-apa, aku bukan Ana yang dulu. Aku sudah cukup tabah, Ben."

Dia melepas dekapan. "Na, kalau ada kata selain maaf yang punya makna lebih tinggi dari sekedar maaf, sudah pasti kukasih untukmu."

"Iya, aku tahu."

"Apa?"

"Kamu jelek dengan rambut gondrongmu," jawabku tidak nyambung, aku tidak ingin topik pembicaraan ini semakin larut.

Ben tertawa. Untuk pertama kalinya setelah pertemuan hari ini, kulihat tawanya lepas dan tanpa beban. "Besok mau menemaniku ke barbershop?"

Aku antusias. Bukan karena Ben. Bukan. Senyum di balik helm yang aku yakini, lelaki dengan Vespa biru yang baru sampai di seberang warung nasi goreng.

"Besok aku acara dengan dia," kataku menunjuk lelaki yang girang melambaikan tangan ke arahku. "Dia Isa, pacarku."

Ini bagian yang dalam sekejap dapat menghapus tawamu, Ben.

Maaf.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)