Cerpen
Disukai
2
Dilihat
9,266
Hari Keseratus Satu
Romantis

Kepada Kinasih,

Saya juga seperti mereka dan hatinya, sengaja atau tidak, menyimpan kisah itu pada sebuah ingatan khusus di pikirannya. Saya pernah terselamatkan seseorang ketika saya begitu kacau. Kamu datang seperti cahaya mercusuar di langit malam. Kamu berhasil merawat saya sebagai tumbuhan yang hampir layu. Kamu baik sekali mau belajar dan mengerti saya. Mengenalmu menjadikan saya jumantara yang kerap disinggahi bintang-bintangnya. Mudah saja untuk semesta saya menerima setiap hal tentangmu, ain’t nothing better than that.

Ada satu puisi karya Johann Wolfgang von Goethe yang judulnya Marienbad Elegy. Puisi terbaik dan pribadi yang beliau buat setelah ditolak pujaan hati, Ulrike von Levetzow. Ada satu bait yang paling saya ingat, “Mir ist das All, ich bin mir selbst verloren”. Saya yakin kamu tahu artinya dan biarkan saja kepalamu ingin mengartikan seperti apa. Dan, itu, sedikit dari banyaknya maksud yang ingin saya utarakan tapi sangat susah untuk dijelaskan.

Kina, saya mencintaimu sampai saya merasa takut tidak akan bisa lagi mencintaimu di masa depan. Saya sendiri tidak tahu sampai kapan kamu tidak lagi menyebut nama saya, sebab jika itu berubah maka itu akan menjadi hal lain yang menimbulkan masalah. Saya tidak berhenti berharap untuk memberikanmu satu-satunya rumah yang saya punya, bukan bumi dari semesta yang saya punya. Karenanya, sungguh saya berharap bisa menjadi rumahmu seutuhnya—saya tidak akan pernah membuatmu mempertanyakan apakah saya sungguh selalu ada bersamamu.

Kina, andai saja kamu bersedia mengenali saya sekali lagi, seperti kamu mengenali saya dahulu; sebagai tokoh fiksi yang tiba-tiba muncul di duniamu, dengan rasa sayang dan menyenangkan—atau bahkan kamu anggap menyebalkan. Saya akan berhenti mengirimkan surat-surat meski selama ini tidak ada balasan yang saya terima. Jika dalam seratus hari masih tidak ada balasan dari surat ini, saya pastikan kita akan bertemu tepat di hari keseratus satu.

Selalu bersamamu,

Basama


Aku berharap beberapa orang lebih paham jika asal masuk pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu itu benar-benar sesuatu yang tidak sopan dan menjengkelkan. Ketika suara derap langkah seseorang semakin dekat, kuusap bulir air mata yang tersisa di sudut mata kanan. Surat yang sudah lebih dari seratus kali kubaca tanpa bosan, refleks kuremas lalu kumasukkan ke saku blazer.

“Joey, aku ‘kan udah bilang. Kalau mau masuk harus ketuk dulu, apa susahnya sih!?” dengusku, mencoba menetralkan suaraku yang agak serak sebab membaca surat yang membawaku kembali ke lorong waktu masa lampau.

Aku bangkit dari kursi dan langsung membalikkan badan. Bersiap untuk menghunus Joey dengan cercaan karena kebiasaan buruknya itu. “Bisa nggak sih, se—”

Intonasiku turun dengan sendirinya, tenggorokkanku tercekat seolah ada duri-duri di sana yang menghalangiku untuk bersuara. Dia bukan Joey temanku, melainkan lelaki yang wajahnya tertutupi buket bunga tulip putih kesukaanku. Hampir sepuluh tahun yang lalu, banyak hal terlewatkan begitu saja, tapi ternyata tidak banyak hal yang berubah darinya. Kecuali rambut yang lebih tertata rapi dan dua kancing kemeja teratas yang dibiarkan terlepas hingga membuatnya lebih berwibawa.

Dia menjulurkan buket bunga tulip putih untuk kugapai. Persis seperti adegan pertemuan pertama kita, dia menawarkan tangannya untuk kujabat, “Basama.”

Ternyata ini hari keseratus satu setelah surat itu datang kepadaku. Aku bahkan tidak membayangkan bila benar aku sangat merindukannya, aku mungkin tidak akan melakukan apa pun kecuali menahan tangis seperti sekarang ini. Aku tidak sanggup menatap manik mata hitam bak jelaga miliknya, kutundukkan kepala dalam-dalam dengan mata terpejam. Aku menggigit bibir bagian bawah, menahan isakan kesedihan.

“Kinasih, apa kabar?”

Cara dia mengucapkan namaku masih sama, sangat lembut menelisik indra pendengaran. Tanpa dia tahu, aku sudah lama meninggalkan sepenggal kisah itu nan jauh di masa lampau. Sepuluh tahun. Sepuluh tahun aku tidak lagi menyebut namanya, sepuluh tahun aku tidak lagi menerima ucapan selamat tidur darinya, sepuluh tahun aku sudah melewati hari-hari berat tanpanya.

“Kina, kamu boleh menangis.” Dia menjatuhkan buket bunga tulip yang sedari tadi tergantung di udara sebab aku tidak bisa untuk menerimanya. Dia mendekapku erat. Terdengar suara giginya bergemeletuk. Tangannya bergetar mengusap puncak rambutku. Hangat sekaligus membuatku takut. Aku takut semua hal yang sudah kita hentikan, akan kembali dimulai. Aku takut sesuatu yang hilang darinya datang dengan pengertian. Aku takut semua hal yang sudah dia patahkan, akan tumbuh dari puing-puing retakan. Aku takut terbawa perjalanan waktu—yang mungkin saja dia punya Time-Turner seperti di film Harry Potter—untuk mencuri setiap kenangan-kenangan.

“Bas?”

“Iya?”

Rasanya baru kemarin aku mengenalnya. Seragam putih abu-abu yang selalu kotor dan terdapat robekan kecil di beberapa bagian akibat pertarungan di jalanan, jantungku yang sering dibuatnya tak karuan sebab menemukan wajahnya yang lebam, senyum tanpa dosanya meski diakhiri ringisian karena luka robek di sudut bibirnya. Basama, si bedebah gila yang tahu cara menyenangkan orang lain tapi tidak dengan dirinya.

“Dulu, aku nggak tahu rasanya jatuh hati sejatuh-jatuhnya. Sampai kamu datang, aku jadi bisa merasakannya, pun merasakan kehilangan sehilang-hilangnya.”

Basama melepaskan dekapan, dia memandangiku cukup lama. “Kina, saya nggak ke mana-mana, selalu bersamamu.”

“Kamu memang suka seperti itu ya?”

Basama mengambil tangan kananku lalu menyimpannya ke pundak tegap yang dia punya. Tangan kiriku dibawanya bergerak di udara. Tanpa menggunakan musik, dia menuntunku gerakan dansa dengan anggun. “Seperti itu yang bagaimana?”

“Menyepelekan rasa khawatir orang di sekelilingmu.”

“Kamu merasa begitu? Saya seperti itu, justru saya nggak mau orang yang mengkhawatirkan saya benar-benar merasakan khawatir yang sebetulnya nggak usah repot-repot mereka lakukan. Saat kita mengkhawatirkan sesuatu, pikiran kita menjadi penuh dan fokus pada hal yang kita khawatirkan, padahal di depan sana ada kebahagiaannya yang perlu kita rayakan.”

“Kekhawatiran itu pencuri kebahagiaan. Siapa juga yang bisa memikirkan kebahagiaan di tengah kekhawatiran?”

“Saya.”

Aku memindahkan posisi tangan kanan yang semula bertengger di bahunya menuju rambutnya. Kuusap surai berwarna kecokelatan itu, hidungku menangkap aroma woody khasnya. “Memang apa yang kamu khawatirkan?”

“Kina, saya khawatir kamu tidak ingin menjalani hidup tanpa saya meski hanya satu detik.” Aku pikir itu hanya gurauan, namun saat kuselami manik matanya, seolah tidak ada kehidupan di sana. Kosong. Lalu Basama menggenggam kedua tanganku erat.

“Kina, dulu saya selalu ingin membuatmu bahagia.Tapi untuk kali ini, menangislah. Menangislah untuk setiap sedih yang kamu rasa. Jangan sekalipun kamu simpan kesedihan dalam kotak yang bahkan kamu lupa kuncinya simpan di mana. Saya sungguh mencintaimu hingga lebih baik melihatmu terluka, daripada melihatmu seperti ini. Sekali lagi, saya mencintaimu, dan akan selalu begitu.”

Gelang hitam. Gelang itu mengganggu pandanganku. Dari dulu Basama memang suka mengenakannya. Tatapanku menerawang, gelang hitam yang dari dulu kupikir hanya gelang hitam polos ternyata salah. Ada ukiran kecil di sana yang bertuliskan Nāve. Berasal dari Bahasa Latvia yang berarti kematian.

“Basama? Bas?”

Basama menghilang seperti debu yang tertiup angin.

Buket bunga tulip putih. Iya, dia sempat menjatuhkannya. Pasti Basama masih ada di sini, masih bersamaku. Buket bunga tulip putihnya juga tidak ada? Harusnya masih di sekitarku, tapi tidak ada. Aroma woody khasnya juga ikut menghilang. Dia membuatku bingung. Aku seperti orang linglung. Aku tidak ingin merasakan kehilangan kembali. Basama mencintaiku, dia bahkan khawatir jika aku tidak ingin menjalani hidup tanpanya.

Seseorang muncul langsung mendekapku erat. Joey. Tidak, aku tidak boleh seperti ini. Basama pasti keluar melalui jendela dan aku harus segera mengejarnya. Aku memberontak, Joey justru mengucapkan sesuatu yang langsung membuaku terperenyak.

“Kina, sadar! Basama sudah meninggal sebulan yang lalu!"

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)