Cerpen
Disukai
2
Dilihat
3,953
Hidupmu
Slice of Life

Pagi ini aku pergi ke sekolah dalam keadaan terburu-buru. Beruntung aku berhasil sampai sebelum gerbang sekolah benar-benar ditutup. Tanpa pakai basa-basi, segera ku masuki kelas sebelum tertangkap oleh guru, bisa-bisa diomeli aku. Hari ini; di les pertama adalah mapel sejarah, sialnya aku malah terlupa mengerjakan tugas rumah.

Terkadang aku lupa, atau terkadang dibeberapa situasi aku telah mengingatnya tetapi tidak termotivasi untuk menyelesaikannya.

“Sudahlah, tamat sudah riwayat ku! Habis lelah kakiku bakal kena hukum berdiri sama Bu Aya ...,” pikirku panik. Aku ingin meminta tolong pada teman sebangku, tapi sayangnya dia juga tidak datang lagi hari ini.

Alina. Belakangan ini ..., dia tidak masuk sekolah lebih dari seminggu. Begitu masuk pun, dia dalam keadaan yang tak ku ‘kenali’. Hubungan kami mulai merenggang semenjak pertengahan semester. Aku mungkin juga ikut salah dalam pertengkaran kecil itu, tapi entah kenapa dia meresponnya dengan serius.

“Ria ....” Bisik seseorang di belakang.

“Eh Ayu? Iya, kenapa tuh?” Tanya ku.

“Kamu belum mengerjakan tugas kan? Ini lihat punyaku. Cepat selesaikan, sebelum Bu Aya datang.” Ujarnya.

Aku terharu. Bisa-bisanya aku lupa, minta tolong pada malaikat kelas yang tiada-duanya ini. Ah … tak perlu juga, tak diminta tolong saja sudah sering Ayu membantu, tak enak kalau aku menerima bantuannya tanpa memberi sesuatu. Aku pikir memberikan permen akan membuatnya senang. Aku kemudian menerima buku Ayu. Langsung ku menyalin tugas secepat kilat.

Sekitar 5 menit menyalin tugas, aku telah selesai.

“Makasih yah Ayu, Love you~” Kataku sembari memberi permen dan mengembalikan bukunya.

Setelah itu, aku memfoto tugas yang sudah disalin untuk dikirim ke Alina. Aku tak ingin ia ketinggalan pelajaran. Yah, walau begitu dia sendiri tetap tak pernah membalas pesan-pesan dari-ku. Sesaat setelah selesai mengirim pesan ke Alina, seseorang mengajakku berbicara.

“Hai Ria. Aku duduk disebelah kamu boleh? Tempat dudukku panas; tidak terkena kipas angin, mumpung tempatmu ada kursi kosong, aku duduk disini yah?” Pintanya dengan sopan, suaranya terdengar lembut dan teduh. Aku hanya menganggukkan kepala tanda mempersilahkan.

Aku anak yang pendiam. Diriku bahkan tak begitu dekat dengan siapapun dikelas kecuali Alina dan Ayu, itupun dengan Ayu bukan teman berstatus dekat. Jadi ketika ada orang baru mengajak ngobrol, aku canggung untuk merespon. Apalagi …, jika yang mendekati adalah anak laki-laki. Aku malah jadi takut.

“Aku tidak ingat nama siswa lelaki disebelahku ini. Siapa yah namanya? Rian kah? Atau Andan? Ah … tak tahu sudah, yang penting dia tidak mengajakku ngobrol. Akan sangat menguras energi kalau dia mengajak basa-basi.” Pikirku cemas.

Tapi aku menyadari gestural darinya yang seperti ingin membicarakan sesuatu.

“Apa aku harus bertanya apa yang mau dia katakan?” Pikirku mempertimbangkan.

Pada akhirnya aku hanya melirik dan memperhatikan gerak-gerik anak lelaki itu dari sudut mataku. Mungkin karena tidak nyaman, dia akhirnya memberanikan diri untuk memulai percakapan, “ Alina bagaimana kabarnya, Ria?”

“Aku … tidak tahu. Kami sudah tidak saling berhubungan sejak beberapa minggu kebelakang,” jawab ku dengan perasaan murung.

“Tapi, bukankah kamu barusan mengirim pesan ke Alina? Cobalah tanya bagaimana kabarnya,” Anak lelaki itu memberi saran.

Aku terdiam sejenak. Bimbang. Aku memang sangat ingin memulai percakapan dan menanyakan kabar Alina. Tapi aku takut pesan itu hanya dibaca olehnya. Apalagi jika mengingat terakhir kali aku bertengkar dengannya, pasti dia sangat tidak ingin bicara denganku.

“Coba saja dulu, Ria. Dibalas atau tidak itu urusan belakangan. Yang penting ia tahu kamu peduli.” Lanjutnya meyakinkan-ku.

Setelah ku pikir-pikir ada benarnya. Aku rasa tidak ada salahnya kalau dicoba, wajar aku khawatir. Alina kembali tidak masuk sudah hampir 2 mingguan.

“Alina, kamu sehat ga? Ria hari ini ke rumahmu ya.”

Baiklah, aku sudah mengirimkan pesannya. Aku harap dia tidak mengabaikan ku. Tapi ada yang aneh, kok anak lelaki ini bertanya soal Alina yah. Alina dan aku tipe anak yang takut jika dekat dengan lelaki, jadi tidak mungkin dia berteman dekat dengan lawan jenis atau bahkan pacaran. Apalagi dengan teman sekelasnya. Itu bukan Alina.

“Sebenarnya dia ini siapa sih?” Batinku penasaran.

Aku mau bertanya siapa namanya, tapi akan aneh kan? Sudah hampir naik kelas dan aku tidak banyak mengenal atau mengingat teman sekelas sendiri. Tapi mungkin wajahku menunjukkan ekspresi bingung. Dia lalu berkata, “ Namaku Esa, salam kenal yah. Ini pertama kali aku ngobrol denganmu Ria. Jadi aku rasa lebih baik berkenalan lebih dulu.”

“Anak lelaki yang peka ….” Puji ku dalam hati.

Aku pun juga memberanikan diri untuk bertanya padanya, “Salam kenal Esa. Bolehkah aku tahu? Tumben bertanya soal Alina. Apa kamu ada masalah dengannya?” Raut wajahnya sedikit menegang sepersekian detik.

“Aku khawatir padanya sebagai teman, itu saja Ria.”

Bohong.” Insting ku merasa.

“Kalau begitu, maukah kau menjenguk Alina bersama? Itu akan lebih mampu menghilangkan rasa khawatir mu,” jelas ku menantang.

Dia sedikit terkejut dengan ajakan itu. Tapi kemudian tersenyum serta menjawab, “Terimakasih atas ajakannya, akan aku antarkan kamu setelah pulang sekolah. Tidak masalah kan?”

Aku heran, “Kamu tahu Rumah Alina dekat dengan rumahku?” Tanyaku mulai menginterogasi.

“Semua orang dikelas tahu kalian sudah berteman sejak SD, Ria. Alamat rumah kalian kan juga dijalan yang sama,” jelasnya dengan wajah full senyum.

Mendengar itu, ku rasa panas menyembur tipis diatas pipiku. Aku tidak tahu apa wajahku merona atau merah padam. Tapi Esa nampak tertawa tipis setelahnya. Memalukan. Aku selalu saja berburuk sangka pada kebaikan orang disekitar. Aku menyadarinya, tapi selalu mempertanyakan dan merasa segan dengan kebaikan-kebaikan itu.

“Baiklah Esa, maaf mencurigai kamu. Dan terimakasih juga mau memberi tumpangan untuk pergi kerumah Alina.” Kataku sembari menahan malu.

“Ya Ria, tidak perlu sungkan begitu. Salah paham dan sifat waspada itu manusiawi,” jawabnya memaafkanku.

“Lagipula kalau kamu tidak berbicara begini denganku, aku tidak tahu harus ditemani siapa untuk menjenguk Alina,” lanjut Esa dengan malu-malu.

“Ah … dia menyukai Alina.” Batinku menangkap sinyal rasa suka.

Tiba-tiba terdengar suara notifikasi dari teleponku. Seketika ku alihkan perhatian ku kepada benda itu. Dan … yang ditunggu akhirnya menjawab.

Alina!” Seruku girang didalam hati. Segera aku membuka kotak pesan Alina, terasa gemetar karena senang menyelimuti kedua tanganku.

“Tumben kau peduli. Kemarin-kemarin seperti bersaing denganku. Apa sekarang kau dijauhi makanya menge-chat ku?”

Deg.

Sesaat setelah aku membuka kotak pesan itu, terasa pisau dingin menusuk ke jantungku. Esa nampak menyadari perubahan hatiku. Dia hanya diam menunggu respon dariku selanjutnya. Tapi aku tidak mau bicara lagi setelah melihat pesan Alina. Rasanya seperti ada gelombang laut yang berseliweran tak beratur dalam diriku.

“Kau boleh datang tapi jangan bawa siapapun. Urus dulu masalah kita. Kau selalu menganggap permasalahan kita selesai begitu saja. Itu terasa melelahkan berteman dengan mu, Ria.”

Aku tertegun, sedikit lega terasa dalam diriku. Tapi disisi lain aku menyadari, Alina masih marah padaku. Aku bingung harus bilang apa ke Esa, apa minta izin saja ke Alina? Tapi dia itu tipe anak yang kalau sudah bilang sekali yah tidak bisa dibujuk.

Sebelum bisa bertanya, guru telah datang. Jadi bertanya kepada Alina aku undur dulu. Singkat cerita, waktu sudah menunjukkan jam pulang sekolah. Aku kembali mengirim pesan kepada Alina, kali ini izin untuk memperbolehkan Esa datang.

“Untuk apa dia datang? Siapa dia hah? Pacarmu?”

Aku terheran. Berarti Alina juga tak dekat dengan si Esa ini.

“Dia bilang khawatir padamu, makanya ku ajak ikut menjenguk bersama, Alina.” Balas ku lewat pesan.

Lonceng pulang sekolah berbunyi, aku dan Esa berjalan dan berbincang bersama sampai menuju ke parkiran. Kami berangkat ke Rumah Alina bersama. Di jalan aku masih terus berkirim pesan dengan Alina. Aku membujuknya untuk memperbolehkan Esa datang. Pada akhirnya dia menyetujuinya.

Aku senang, tapi pasti rasanya akan canggung nanti, jadi aku berinisiatif membeli jajanan kesukaan Alina. Supaya dia tak terlalu masam saat berjumpa nanti. Aku dan Esa berhenti sejenak di pasar. Di sana secara kebetulan, aku bertemu dengan ibu Alina.

“Eh, sudah lama ga ketemu Bibi. Bibi sehat?” Sapaku bersikap ramah. Dia melirik wajahku dengan agak malas.

“Sehat … Yang ga sehat tuh Alina. Samperin sana.” Balasnya ketus. Aku terkesiap, sepertinya Alina telah bercerita masalah kami kepada ibunya.

“Alina cerita apa ke Bibi?” Tanya ku hendak mengerti situasi.

“Dia tak cerita apa-apa. Tapi kalau sudah bersikap seperti itu, sudah pasti gara-gara kamu. Kalian berdua sudah SMA loh, bertemannya dari SD pula. Masa kamu ga ngerti maunya Alina apa?” Jelas Bibi sembari mengurus dagangan nya. Aku terdiam.

Aku tak akan menyangkal, kalau aku tidak tahu apa yang Alina inginkan, tapi yang aku dengar dari Alina langsung, semua masalahnya belakangan ini berasal dari keluarganya. Aku benar-benar ingin menemaninya, sungguh. Tapi itu terhalang oleh tembok keluarga Alina yang bersikap ketus padaku.

“Ini Ria mau kerumah Bi. Sekalian beli jajanan buat Alina. Permisi yah Bi.” Aku pamit kepada Ibu Alina dengan perasaan campur-aduk. Esa yang sedari tadi hanya mendengar percakapan itu, hanya bisa tersenyum tipis kepada Ibu Alina. Kami berdua lalu melanjutkan perjalanan dalam diam.

“Jadi Ria, apa kamu sudah tahu mau membahas apa dengan-nya? Kau terlihat bingung dan lelah. Kalau tidak mau menjenguk Alina, aku akan langsung mengantarkan kamu ke rumah jika kamu mau.” Saran khawatir Esa memecah keheningan.

Aku tertegun sejenak. Lalu menjawab dengan yakin, “Aku tak apa Esa. Kita tetap akan menjenguk Alina. Nanti aku juga bisa pulang sendiri.”

Esa hanya diam setelahnya. Kalau dipikir-pikir, Esa nampak menyadari perubahan hubungan pertemanan aku dan Alina sedari awal. Esa menjawab mengiyakan, kemudian kami lanjut berbincang santai disepanjang perjalanan.

Tak terasa kami telah sampai. Aku sedikit gugup dan canggung. Aku kemudian mengetuk pagar Rumah Alina. Beberapa saat ku tunggu, Alina masih belum keluar dari dalam rumah. Kuberanikan diri membuka pagar yang tak dikunci itu, lalu bergegas masuk.

Aku menyuruh Esa masuk dan menunggu di teras, sembari aku masuk ke dalam rumah Alina untuk mencarinya. Sambil memegang jajanan oleh-oleh untuk Alina, aku masuk ke dalam kamarnya. Di dalam kamar kulihat Alina sedang tidur sembari meringkuk di bawah selimut. Ku ketuk pintu kamarnya tiga kali, lalu aku duduk di sebelah kasurnya, hendak mengajaknya bicara.

“Alina,” panggilku dengan lembut.

“Alina, ini ada jajanan untukmu. Esa sudah menunggu di depan. Ayo keluar,” ajakku.

Alina hanya diam, terdengar sayup-sayup suara tangis dari bawah selimut. Aku bingung harus bagaimana, apa sejahat itu aku di pertengkaran lalu, sampai dia jadi seperti ini? Aku tak tega melihatnya seperti ini. Ku katakan dengan lembut, sedekat mungkin ke kepala Alina, “Maafkan aku Alina. Waktu itu aku keterlaluan, aku tidak tahu itu menyakiti hatimu, karena menurutku itu yang terbaik untukmu. Tapi sepertinya aku tidak mencoba untuk mengerti situasimu. Maafkan aku, kita damai yah ...,”

“Suruh dia pulang. Aku tak mau dia ada di sini, cuma kau saja yang boleh.” Ujarnya lirih di bawah selimut. Aku mengangguk dan pergi menemui Esa.

Esa nampak kecewa ketika ku katakan Alina tak mau menemui siapa pun selain aku. Tetapi pada akhirnya, setelah ku yakinkan bahwa Alina baik-baik saja, Esa pun pulang.

“Aku sudah menyuruhnya pulang, Alina. Apa ada lagi yang kau butuhkan?” Tanyaku kembali, cemas masih menyelimuti diriku.

Alina mengeluarkan tangannya dari bawah selimut, lalu memberikan isyarat padaku untuk duduk di sebelahnya. Aku duduk di sebelahnya, kemudian dia meletakkan kepalanya di atas pahaku. Kurasakan basah wajahnya di atas permukaan pahaku, dengan tubuhnya yang gemetar sesegukkan akibat menangis.

“Sebenarnya kamu kenapa Alina?” Tanya ku dengan penuh khawatir.

“Kamu sudah tutup semua pintunya?” Tanya Alina lirih padaku.

“Sudah. Pintu depan dan belakang, juga pintu kamar, sudah ditutup.” Jawab ku dengan lembut. Waktu itu aku benar-benar heran. Dia seperti benar-benar tidak ingin ada orang lain yang masuk.

Aku ingin menanyakan apa yang terjadi, tetapi yang aku dapati hanyalah tangisan sesegukan Alina di bawah selimut. Aku hanya bisa mengelus-elus kepalanya. Aku hanya bisa menemaninya saat itu, tidak tahu apa yang menjadi tangisan dari sahabatku. Tapi aku tahu, yang dia butuhkan saat ini adalah aku yang menemaninya tanpa menghujatnya. Aku benar-benar merasa bersalah.

“Kau jahat, Ria. Kau tak mengerti, dan yang kau lakukan adalah meninggalkan ku. Yang aku butuhkan hanya kamu menemaniku. Kamu tidak tahu betapa takutnya aku sendiri. Tidak ada yang menemaniku di rumah ini. Keluargaku seperti musuh dalam selimut. Aku terus bermimpi buruk, mimpi yang sama terus-menerus. Mimpi dimana aku terus ditarik oleh banyak tangan. Tubuhku dicengkram kuat-kuat, sakit sekujur tubuhku. Aku minta tolong, tapi tidak ada yang peduli. Aku takut Ria, aku takut. Aku selalu menemani dan membantumu di setiap saat sulit dalam hidupmu, tapi kenapa ketika aku butuh kamu tidak ada? Melelahkan untuk terus bernafas di sekitar orang-orang yang menyakitimu. Kamu mengerti 'kan maksudku?” Jelasnya sesegukan penuh lelah.

“Aku sudah tidak mau lagi percaya dengan orang-orang di sekitar. Setiap mereka melakukan kebaikan, rasanya seperti mereka merencanakan sesuatu untuk memanfaatkanku. Bukankah aku aneh Ria? Kamu bukan salah satu dari mereka 'kan? Aku takut. Ibuku sok-sok mengerti soal perasaanku, tapi sebenarnya dia juga salah satu dari penyebab kenapa aku begitu sedih saat ini. Apa menurutmu ... aku pantas menerima perlakuan buruk dari orang-orang? Apa menurutmu ... aku akan selalu seperti ini walau baik ke orang lain? Jawablah aku Ria ..., aku tidak tahu harus bagaimana .... Aku takut.” Lanjutnya gemetaran.

“Alina ....” Air mataku mulai menetes.

Oh tuhan ... apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatku? Aku tidak mau melihat dia seperti ini. Aku memeluk tubuhnya erat erat. Dalam hening pelukan kami menangis bersama-sama, satu sama lain tenggelam dalam sesegukan. Aku tak dapat mengerti apa yang terjadi padanya, tetapi satu hal yang pasti.

Sesuatu yang benar-benar buruk telah terjadi padanya, sampai dimana dia tidak bisa memberitahukan apa itu pada orang tuanya. Jadilah aku, satu-satunya orang yang bisa ia jadikan tempat menumpahkan semua perasaannya itu. Setelah menangis bersama, kami tertidur. Baru sesaat aku tertidur, aku terbangun karena merasakan getaran tubuh Alina yang gemetar hebat.

Dia melindur. Sepertinya dia sedang merasakan mimpi buruk yang dia ceritakan. Aku benar-benar ingin tahu apa kebenarannya dari Alina, dia kelihatan begitu menderita, tapi sepertinya akan sangat sulit untuk dia memberitahuku. Karena membujuknya untuk memaafkan ku saja, sudah perlu waktu berminggu-minggu.

Aku keluar kamar perlahan-lahan, menyiapkan air panas untuk ku kompres ke tubuh Alina. Dia demam. Sembari menunggu, aku menyajikan beberapa jajanan yang ku beli untuk dimakan kami berdua. Setelah beberapa saat, dia terbangun. Nampaknya dia tidak bisa tidur nyenyak.

Orang tua Alina belum pulang, biasanya mereka pulang di malam hari dari pasar. Alina satu-satunya anak tunggal. Walau begitu, dia tetap tidak di pedulikan seperti kebanyakan anak tunggal lainnya. Dari mana aku tahu? Kalau dipedulikan, pasti dia tidak akan begini.

Aku harap Alina mampu bersekolah kembali. Dia benar, aku dijauhi. Aku tak jauh berbeda dengan kamu, Alina. Skeptis dan pesimis pada kebaikan orang lain. Aku bahkan berperilaku buruk padamu, sahabatku sendiri. Terasa aneh kalau aku mengutarakan; aku hanya ingin menjadi teman yang baik bagimu, Alina, tapi itu kenyataannya.

Keesokan harinya aku bangun di kamar Alina. Aku menginap semalam. Alina benar-benar tak ingin kutinggal. Aku juga paham dengan kondisinya. Kami menghabiskan waktu bermain bersama seharian; pergi jalan-jalan dengan bersepeda, mengikuti keinginan membawa.

Benar, hari ini kami berdua memutuskan bolos sekolah. Aku mengayuh sepeda ke jalan persawahan yang biasa kami lalui semasa kecil dulu. Kami berdua tertawa dengan riang, aku dan Alina tak ingin meninggalkan momen kebersamaan bernostalgia itu. Setelah kami bersepeda cukup lama, kami lalu memutuskan untuk beristirahat di warung Teh Ita. Ibu-ibu tukang gosip kecintaan kita.

“Eh?! Dek Alina! Dek Ria! Ayo sini duduk! Udah besar-besar yah sekarang, sombong, pada jarang singgah!” Seru Teh Ita menyambut ramah.

Kami melepas rindu satu sama lain dengan berbincang-bincang dan bersenda gurau. Mulai dari candaan, lama-kelamaan berujung ke curhatan. Tentunya ini membahas masalah Alina. Aku pikir dia akan bercerita panjang lebar, tapi ternyata dia bercerita versi yang sama dengan yang aku dengar.

“Walah neng, jangan hilang percaya sama orang. Karena kita itu manusia. Se-kaya apapun tetap butuh manusia lain, apalagi orang susah, lebih butuh lagi. Percayalah neng, Tuhan kasih seseorang yang berbuat baik sama kita itu bentuk wujud pertolongan-Nya. Urusan udang dibalik batu itu belakangan neng. Yang penting kita tahu batasan dan tahu yang namanya balas budi. Pasti berkah dan tenang,” ujar Teh Ita menasihati.

Alina hanya terdiam terpaku, entah nasihat itu memukul kuat dirinya atau karena ia merasa disakiti sekarang.

“Tapi walau kita sudah disakiti?” Timpal ku bertanya.

“Tergantung kepada orangnya, tapi kalau memang lingkungan tempat kalian cenderung mengarah menyakiti, tinggalkan.” Perkataan Teh Ita seperti memberi jawaban sendiri untuk Alina. Aku menatapnya, menunggu respons selanjutnya.

“Makasih yah teh, kami pamit. Udah sore nih.” Katanya sembari tersenyum, tangannya menarik lenganku keluar dari warung.

Sesaat sebelum kami berdua pergi, aku mengatakan hal yang benar-benar ingin ku utarakan.

“Alina, tak apa-apa kalau kamu mau pergi. Yang penting ..., kamu bahagia. Karena pada dasarnya ...,"

"Ini hidupmu.”


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)