Masukan nama pengguna
Namaku Theo, seekor tikus yang mengarungi kehidupan di lingkungan manusia. Bangsaku ini rumit, ruang hidupnya sangat terbatas. Jika di sawah, aku musuh para petani dan makanan para ular. Dan jika hidup di atap rumah manusia, lem pada sebidang kardus atau jebakan berisi keju siap menjeratku.
“Ahay! Kena juga kau!”
“Hush, pergi sana!”
Sesekali, aku merasa para manusia yang katanya punya akal dan hati itu seperti neraka jahanam. Bangsaku yang terjerat pada jebakan mereka tidak sekedar dijebak. Kami dipukul, ditimpa, ditusuk, seolah dosanya setara para koruptor negara. Hingga pada akhirnya, wujud bangsaku dijadikan simbol itu.
Rasanya benar-benar pelik. Bangsa manusia yang mengaku bertuhan itu ternyata sadis. Disaat tuhan memberikan simbol kasih sayang dengan banyak firman-Nya, ciptaan yang diberi amanah akan bumi itu ternyata banyak melakukan ingkar. Padahal pelan saja, beritahu kalau makanan kalian belumlah sisa. Bangsaku akan pergi, mencari sisa pada tumpukan sampah.
Suatu hari, saat air selokan naik oleh derasnya hujan, sarangku kemasukan air. Aku keluar sejenak, menunggu tuhan menghentikan deras air atas kehendak-Nya.
“Ya ampun, ini pasti lama surutnya.”
Lalu aku berlalu lalang ke jalanan. Terlihat beberapa temanku, Lukas dan Moreo, sama terdampak.
“Hey, sarang kalian masih banjir?” aku sedikit berteriak sambil menghampiri mereka.
“Iya nih, mana tinggi lagi airnya.” jawab Lukas.
Moreo juga mengeluh, “Aduh, susah banget mau hidup santai.”
Sambil menunggu surut, aku mengajak mereka jalan-jalan sejenak. Ditengah lintasan transportasi manusia, kami berhati-hati dalam melangkah. Namun perjalanan ini tidak tahu harus kemana.
Tiba-tiba, Lukas membisu. Dia melihat bangunan putih bercahaya di seberang jalan raya. Bangunan itu bertingkat, diatapnya terlihat ada antena pemancar sinyal.
“Guys, kesana yuk!” ajak Lukas sambil terus memandang bangunan itu.
Akupun tertarik, “Ada apa ya? Jadi penasaran.”
Kami berdua hendak melangkah, namun Morea menunjukan raut wajah pucat.
“Aku enggak ikut ya?”
Kami berdua melihatnya, lalu saling memandang.
Lukas membujuknya, “Lah kenapa? Ayo main, kapan lagi bisa coba ke gedung itu. Mumpung manusia masih sepi karena air belum turun.”
Moreo mengangguk, mamun wajahnya masih pucat. Seperti orang trauma oleh sesuatu pada masa lalu.
Kami menyebrangi genangan air serta hujan yang masih deras. Lorong bawah menuju bangunan itu terlihat dibawah semak-semak. Aku belum pernah kesana, jadi tidak tahu apa yang akan aku hadapi.
Lorong itu gelap, tanpa cahaya dan titik terang apapun. Hanya suara arus air yang entah hulu dan hilirnya dimana.
“Teman lihatlah ke arah jam 2, ada saluran air yang sepertinya terhubung keatas.” ucap Lukas.
Aku melihatnya sambil terdiam sejenak. Dan itu memang pipa air.
“Kau ingin melewati itu untuk sampai kedalam gedung?” tanya Moreo.
Lukas menjawab, “Intuisiku begitu, ayo!”
Kami melangkah memasuki saluran pipa itu. Namun lubangnya lebih sempit. Kami perlu berbaris untuk bisa masuk. Lukas paling depan, Aku dan Moreo dibelakangnya Selang beberapa menit berjalan, pipa sudah buntu. Namun terlihat sebuah cahaya dari atas. Tapi itu bukan masalah. Bangsaku hewan pengerat yang ahli dalam memanjat.
“Aku tunggu diatas ya,” ucap Lukas yang sudah hampir menonjolkan wajahnya dalam cahaya itu.
Perlahan kami berdua ikut memanjat, dan akhirnya berhasil sampai. Namun saat kami memandang Lukas, dia melihat sesuatu dengan tatapan kosong.
“Bro, ada apa?” tanyaku.
Dia masih diam, seperti baru dikutuk jadi patung. Aku dan Moreo ikut melihat ke arah tatapan Lukas. Dan Ternyata, kami turut membisu.
“Itukann…. Aaaa Takutt!!” teriak Lukas ketakutan.
Kami melihat bangsaku, beberapa tikus sedang dibelah tubuhnya. Bukan hanya tikus sawah seperti kami, beberapa tikus putih dan hitam juga turut di beredel.
“Kan aku bilang juga apa!” kata Moreo.
Aku mencoba tenang, melihat sekeliling ruangan untuk menemukan jawaban tentang apa sebenarnya ruangan ini. Lalu tulisan di arah jam 4 menarik perhatianku. Disana tertulis “Science Laboratory”.
“Oh my god,” ucapku dalam hati.
Semua manusia diruangan ini seperti sama, menggunakan jas putih dan penutup kepala. Mereka memegang suntikan, gunting, sampai jarum. Aku jadi takut, Lukas dan Moreo juga terlihat begitu. Lalu kami bergerak mencari tempat sembunyi sejenak dibalik botol-botol yang berisi air dengan berbagai warna. Tidak lama kami bersembunyi, ada dua orang meletakan beberapa peralahan bedah itu, persis dihadapan botol tempat kami sembunyi. Dan aku melihat kedua nama di dada mereka. Yang perempuan bernama Bella, dan Laki-laki itu bernama Alex.
“Ternyata tuhan benar-benar adil ya,” ucap Alex.
Bella heran, “Maksudmu?”
“Tikus yang selama ini kita anggap hewan menjijikan, ternyata memang punya manfaat juga.”
“Oh itu, pasti dong. Mereka sangat berguna untuk bahan percobaan,”
Mendengar itu, aku naik pitam. Ingin rasanya menggigit wanita itu.
“Bukan itu bel,” sanggah Alex.
“Lalu?”
Alex menjelaskan, “Mereka menjadi satu faktor kestabilan alam. Tikus memang terkenal hama buat sawah, namun mereka banyak berjasa dalam penyebaran benih tanaman secara tidak langsung. Para hewan pengerat itu sering konsumsi berbagai hasil tanaman. Hasilnya, biji buah yang tadinya diam mampu bergerak ke tempat lain.”
“Tapi mereka musuh para petani lex,” sanggah Bella kembali.
“Tidak masalah, dunia ini butuh konfrontasi bukan untuk menggerakan perekonomian? Haha. Kalau tidak ada mereka, roda produksi dari pabrik obat hama tidak akan pernah ada. Keilmuan juga akan mandek, tidak ada kebaharuan yang akan menggerakan pemberdayaan kita para manusia. Bahkan, Film animasi Ratatouille karya Pixar tidak akan pernah ada.” ucap Alex.
“Iya juga ya.”
Jam menuju angka 15.00. Bella dan Alex melepaskan kedua jasnya.
“Mau istirahat bareng?” tanya Bella.
“Ayo!”
Mereka berdua pergi bersama. Dirasa sudah aman, kami bertiga berjalan ke depan botol.
“Kalian dengarkan pembicaraan kedua manusia tadi?” tanya Moreo.
“Jelas sekali,”
“Iya denger banget,”
“Aku kira selama ini kita tidak berguna. Tanpa disadari, aku punya dampak juga ya buat bumi ini.” ucap Moreo.
Aku terdiam, merenung sejenak dengan percakapan kedua manusia tadi. Di satu sisi aku senang ada orang yang melihat manfaat dari bangsaku yang terkenal merugikan manusia. Namun disisi lain, rasanya geram mendengar bahwa kami menjadi objek konfrontasi agar industri obat hama bisa berjalan. Padahal kalau bangsa manusia tahu, dengan memberikan kami ruang hidup dan sisa makanan mungkin tidak perlu kami mencari sumber makanan yang sebenarnya bukan milik kami.
“Guys, pulang yuk!” ucap Moreo.
“Mau apalagi, sepertinya disini tidak aman.” Sahut Lukas.
Aku tidak merespon apa-apa. Aku hanya terbayangkan rutinitas baru, terinspirasi dari percakapan manusia bernama Bella dan Alex. Mungkin benar bangsaku rendah, fisik dan tempat tinggalnya sangatlah kotor. Namun menebar manfaat tidak ada syarat apapun kan? rasanya aku jadi ingin membantu bumi ini. Planet tempatku hidup ini semakin panas, pohon-pohon banyak digugurkan tanpa ditanam kembali. Namun saat nanti aku makan buah-buahan sisa, mungkin aku bisa memabawa bijinya ke berbagai tempat. Dan semoga tuhan akan membantu, lewat kehendak-Nya melalui hujan yang lebih tenang.~