Masukan nama pengguna
“Ra, makan dulu!” seruku sembari mengetuk pelan daun pintu dari kayu jati yang terkunci sejak semalam. Tak terdengar sahutan. Dia tengah merajuk. Tak kupenuhi keinginan yang diutarakannya dengan wajah penuh permohonan. Agak egois memang. Namun ini semua demi kebaikannya.
“Rara, nanti maagnya kumat,” bujukku lagi. kembali mengetuk sedikit lebih keras. Dari dalam masih senyap. Kuhela napas kesal. Pasti anak itu pura-pura tidur. Sengaja mendiamkanku hingga keinginannya kululuskan. Dan itu tidak akan pernah.
***
“Mak, Rara dapat beasiswa di fakultas kedokteran,” kata Rara pagi itu. Memelukku dari belakang. Wangi samponya menyeruak mengalahkan wangi tumis yang sedang kuaduk di atas wajan.
Gerakan tanganku yang memegang sudip terhenti. “Beasiswa?”
“Iya Mak. Di ibukota. Kuliah gratis sampai lulus,” Rara berseru girang. Sekejap membuatku teringat bocah kecil yang dulu melonjak-lonjak karena kuhadiahi boneka pikachu berwarna kuning terang. Warna kesukaannya.
Gadis kecilku? Akan mengembara sendirian di ibukota? Ah, terlalu berat itu untuknya.
Kutatap mata berbinar kekanak-kanakkan itu. Lantas menggeleng.
“Di sini banyak universitas, Ra. Nggak perlu jauh-jauh,” kilahku. Memangkas semangatnya seketika.
“Tapi di sini nggak ada fakultas kedokteran Mak,” dia keukeuh membujuk.
“Kuliah apa juga, ujung-ujungnya ‘kan pasti cari kerja. Nggak perlu tinggi-tinggi jadi dokter. Yuli anaknya Bude Tanti, yang cuma lulusan FKIP, sekarang sukses dagang online sambil ngajar. Buka les juga.”
Wajah itu merengut. Pelukannya terurai, lantas berlalu dalam bisu.
Rara menjadi pendiam seharian itu. Masih melakukan tugasnya memang. Membersihkan rumah, mencuci piring bekas makan siang, lantas sore harinya menyapu halaman rumah yang lumayan luas. Hanya saja dia membisu. Tak satu kata canda pun terlontar dari mulutnya. Tak pula ada gaya jenakanya yang seringkali membuatku tertawa terpingkal-pingkal, seperti ketika dia piawai menirukan gaya Rhoma Irama memainkan gitar dengan gagang sapu.
Salahkah aku? Mungkin Iya. Tapi bagaimana aku sanggup melepas gadis kecilku di belantara ibukota dengan tingkat kejahatan tinggi seorang diri? Apapun bisa terjadi padanya. Aku bergidik ketika membayangkan beribu kemungkinan.
Lantas kuteguhkan hati. Semarah apapun Rara, suatu hari dia akan mengerti. Aku hanya melakukan tugasku sebagai ibu. Memastikan dia baik-baik saja.
***
“Ra, Ndak ikut temenmu daftar kuliah?” tanyaku ketika di hari ketiga akhirnya dia keluar kamar. Kulihat sembab di matanya. Malang nian. Sedikit rasa bersalah menggelitikku.
Rara hanya menggeleng. Beranjak ke kamar mandi tanpa berkata apa-apa.
‘Maafkan Emak, Nak. Maaf! Emak cuma ingin menjagamu’. Tidak lebih. Kuusap ujung mata yang basah tanpa kusadari. Perih rasanya menyaksikan penolakannya. Kenapa dia tak kunjung mengerti? sampai kapan mendiamkanku begini?
“Ini Ra. Emak masakin mie pangsit kesukaanmu. Makan ya,” kataku begitu ia keluar dari kamar mandi. Mengenakan kaos oblong lengan pendek. Rambut pendeknya yang basah tersisir rapi, menguarkan aroma shampo favoritnya.
Lagi-lagi dia hanya menggeleng. Kalau tak cukup panjang kesabaranku, sudah kuomeli dia karena sikap tak sopannya. Tapi bukankah ini gara-gara aku?
“Mau kemana?” tanyaku begitu ia keluar kamar lagi, mengenakan switer dan tas punggung.
“Daftar kuliah kayak yang Emak suruh. FKIP ‘kan? Biar kayak Mbak Yuli!” katanya ketus. Aku tahu ia tengah menyindirku. Sebelum sempat kucegah, gadis itu telah berlalu. Lupa atau sengaja tak mencium tanganku seperti kebiasaannya.
Aku menggeleng. Anak itu masih teramat marah. Kutengok kamarnya yang berantakan. Selimut tergeletak di lantai, meja belajar berantakan. Pantas semalam kudengar bunyi benda-benda dibanting. Rara meluapkan kekesalan dengan mengacak-acak kamar.
Mumpung orangnya tidak ada, kusempatkan membereskan segala kekacauan itu. Melipat rapi selimut, mengembalikan buku-buku ke tempatnya. Tak sengaja kutemukan tumpukan piagam penghargaan atas segudang prestasinya. Aku tersenyum bangga menatap salah satu piagam kemenangan olimpiade matematika.
Di bagian belakang pigura yang membingai piagam kutemukan tulisan kecil yang seketika membuatku terpana.
‘Untuk Emak yang selama ini maksa belajar. Terimakasih Mak. (23 April 2017). Setahun yang lalu.
Senyum kecil terbit di bibirku. Teringat betapa seringnya aku membentak-bentak menyuruhnya belajar. Memarahinya bila nilainya jeblok atau terlalu banyak kegiatan yang mengurangi waktunya belajar. Aku bahkan pernah memaksanya berhenti dari ekstrakurikuler PMR yang terlampau menyita waktu. Haruskah kuabaikan semua kerja kerasnya sekian tahun demi sebuah kekhawatiran? Entahlah.
Kumasukkan piagam berbingkai itu ke dalam lemari. Tak sengaja kutemukan buku kumpulan puisi milik Kahlil Gibran. Buku yang kuhadiahkan padanya saat berhasil di terima di SMA favorit tiga tahun silam. Buku yang teramat diinginkannya karena banyak quote yang bisa dipajangnya di media sosial. Kubolak-balik secara acak sembari memutar memoar bersama Rara dari ia masih bayi merah hingga menjadi gadis cantik kebangganku seperti sekarang. Alangkah cepatnya lesatan waktu.
Anak-anakmu, bukanlah milikmu
Mereka adalah putra-putri kehidupan
Yang rindu akan diri mereka sendiri
Sajak itu ...
Kenapa rasanya sajak itu seperti menyindir?
Putriku, adalah putri kehidupan. Yang rindu akan dirinya. Ingin mencari jati diri. Mataku kembali basah. Kutatap kembali deret-deret medali dan piagam yang berjajar rapi di dinding. Seragam PMR yang tergantung di dekat pintu masuk. Sejak SMP, Rara getol mengikuti kegiatan PMR. Cita-cita menjadi dokter telah mendarah daging sejak ayahnya meninggal karena kanker semasa Rara SD. Sayangnya tak ada universitas kedokteran di kota Ini. jahatkah aku merusak impiannya?
***
Senja menjelang ketika Rara pulang. Peluh membanjir di wajah ayunya.
“Dari Mana Ra? Kok jam segini baru pulang?” tanyaku lembut, meraih puncak kepala untuk membelai rambutnya. Rara berkelit kemudian melangkah mundur. Membuatku tertegun sesaat.
“Ra capek, Mak. Mau ke kamar,” katanya hambar. Lantas berjalan pergi. Beberapa langkah sesudahnya, dia berhenti.
Kupikir ia akan berbalik dan menyesali sikapnya. Nyatanya ...
“Ra udah makan tadi di rumah temen. Mak makan sendiri dulu ya.”
Rasanya, saat itu juga aku kehilangan putriku. Dia membenciku. Tak terbayang bagaimana perihnya. Dia, masih ada di sini bersamaku namun membentengi diri sehingga tak dapat kusentuh.
“Ra, belum tidur?” tanyaku begitu tengah malam menyapa. Kutemukan ia duduk termenung sendiri di teras yang gulita. Tak dinyalakannya lampu depan. Sejak dulu, Rara memang menyukai kegelapan. Masih kuingat jelas celoteh riangnya acapkali duduk di teras ini, memandang bintang-bintang di langit yang gemerlapan dalam peluk pekat gulita di langit sana.
Rara terkejut mendengar kemunculanku. Sigap diusapnya air mata. Ah, lagi-lagi ia menangis. Aku memang ibu yang buruk. Tega sekali membiarkan seseorang yang dulu kehadirannya begitu kunantikan menitikkan air mata. Ia berusaha menyembunyikan sebuah bingkai foto ukuran 3R yang tadi didekapnya. Foto almarhum ayahnya.
“Ra masih marah sama Emak?” tanyaku, duduk canggung di hadapannya. Rara menatapku sekilas kemudian menggeleng.
“Ra nggak berhak marah ‘kan Mak? Cuma Emak yang Ra punya sekarang. Ra tau kok, Mak cuma ingin yang terbaik buat Ra. Ra Cuma kesel sama diri Ra. Kenapa nggak bisa ikhlas,” katanya serak menahan tangis. Ia ingin terlihat tegar di depanku. Putri kecilku sudah dewasa.
Kupandangi bintik-bintik yang merajai malam di angkasa. Demi tak lagi menatap sendu di mata itu. Dia tahu ternyata. Bahwa keputusanku adalah semata demi dirinya. Tapi benarkah demikian? Bagaimana bila itu hanya kekhawatiranku yang berlebihan? Sebenarnya akulah yang tak cukup percaya diri mampu melepaskannya dari genggaman. Tak cukup percaya bahwa aku sanggup menanggung rindu berbilang masa hingga dia kembali dari perantauan. Segala alasan dan kekhawatiran hanya benteng buatanku untuk menahannya tetap di sisiku?
Ah bintang gemintang, sebegitu runyamkah urusan merantau ini?
***
“Maafin Ra, Mak,” Rara memelukku erat. Seolah menebalkan kasih sayang sebelum beranjak pergi.
“Jangan lupa kabarin Emak sering-sering. Kalo Nggak, Mak bakalan nyusul kamu,” kataku sembari menowel hidung mbangirnya. Ra mengacungkan dua jempol. Binar gemintang kembali di kedua bola matanya. Mataku berkaca hingga nyaris tak terlihat senyum manis sarat terimakasihnya.
Akhirnya, aku mengalah. Menepis ego, membuang kekhawatiran dan menyemayamkan ribuan doa perlindungan untuk Rara kecilku. Demi binar mata itu. Demi bertahun-tahun kerja kerasnya untuk menjadi yang terbaik di mataku. Tak berhak kuhancurkan mimpi mulianya.
“Ra pamit. Doain cepet lulus dan jadi dokter ya Mak,” Ra mencium tanganku khidmat lantas beranjak pergi meninggalkan rumah kayu yang telah menemainya tumbuh besar hingga hari ini. Kutatap punggungnya yang kian jauh.
Melangkahlah, Nak.
Kaki-kaki kecilmu yang dulu tertatih melangkah kini telah sanggup berlari. Emak bangga.
Berlarilah yang jauh mengejar noktah impiamu. Noktah yang dulu kau tunjuk dengan telunjuk mungil beriring celoteh ria.
Pulanglah bila kau rasa lelah melangkah. Akan selalu ada dekap rindu buatmu di sini.
THE END.